webnovel

Isolation

Yangnim-dong, Gwangju

2 Mei 2016

16.49 P.M KST

Doyoung memparkirkan SUV hitam yang dikendarainya didepan sebuah rumah tradisional Korea. Rumah itu dibangun dengan kayu, dan didepannya berdiri sebuah kedai kecil bertuliskan 'Kedai SeYoung'. Hujan mengguyur daerah Gwangju sore itu, membuat udara terasa sangat dingin.

"Hujannya deras sekali," ujar Yugie begitu selesai melepas seatbeltnya.

Doyoung melihat ke bangku penumpang, tampak Luika yang tengah tertidur pulas, "Apakah dia baik-baik saja? Wajahnya sangat pucat,"

"Setahuku dia masih sangat membutuhkan istirahat panjang karena mengalami shock parah, namun apa daya, kami harus membawanya," respon Yugie.

Doyoung mengangguk paham.

"Sebenarnya, tempat siapa ini?"

"Ini rumah teman lamaku," jawab Doyoung, "Dia seorang yang berhasil kabur dari Korea Utara," lanjutnya.

Yugie membulatkan mulutnya, "Wah, bagaimana bisa Kau ... "

"Tenang saja, Aku sangat mengenalnya, kami bersahabat sejak usia 4 tahun,"

Yugie mengangguk, "Baiklah."

"Kau tunggu disini," titah Doyoung. Ia kemudian membuka dan pintu mobil dan berjalan keluar.

Doyoung berjalan sembari berhati-hati memilih jalan yang bisa dilalui agar sepatunya itu tidak basah. Halaman rumah teman lamanya itu adalah tanah merah, yang basah dan licin ketika ditimpa air hujan. Doyoung berjalan ke arah kedai kecil di beranda rumah itu.

Doyoung tersenyum melihat sosok wanita berambut panjang yang tengah sibuk melayani beberapa pelanggannya. Tampak para pelanggannya itu ada pria dan wanita paruh baya berpakaian khas petani desa. Mungkin mereka singgah di kedai sembari menikmati semangkuk ramyun karena terjebak hujan saat perjalanan pulang.

Doyoung berlari ke arah pintu kedai itu, "Sejeong!" panggilnya. Wanita berambut panjang dengan apron itu menoleh padanya lalu tersenyum.

"Doyoung! Astaga, Aku menunggumu dari pagi, Kau tahu?" serunya girang sembari berpelukan ringan dengan Doyoung. Dua sahabat itu sudah tidak bertemu setelah sekian tahun. Ya, karena Doyoung yang semakin sukses dengan pekerjaannya, harus pindah ke Seoul.

Sementara itu, Sejeong hidup sendirian semenjak ibunya, yang membawanya kabur dari Korea Utara itu meninggal lima tahun lalu. Beruntungnya Sejeong adalah seseorang yang mandiri. Ia bertahan hidup dari bisnisnya membuka kedai dibeberapa titik di kota Gwangju. Namun, pilihannya untuk menetap adalah ditempatnya saat ini. Rumah itu terlalu memiliki banyak kenangan untuk Sejeong lupakan, termasuk masa kecilnya bersama Doyoung.

Selesai dengan kegiatan reuni mereka, dan para pelanggan Sejeong telah pulang, mereka segera menghampiri Luika dan Yugie.

"Yugie, kenalkan, ini Sejeong, teman lamaku," ujar Doyoung.

Sejeong mengulurkan tangannya, "Kang Sejeong," ujarnya memperkenalkan diri.

"Shin Yugie," respon Yugie membalas uluran tangan Sejeong.

"Ini dia, orang yang ingin kutitipkan padamu, dia orang Rusia," ujar Doyoung sembari menunjuk Luika yang sudah mulai tersadar dari tidurnya itu.

"Rusia?"

"Ya, dia bisa berbahasa Inggris, tenang saja," ujar Doyoung.

"Oh baiklah. Kalian bisa membawanya ke dalam, tampaknya Ia kedinginan, apakah dia sakit?"

"Kurang lebih begitu," jawab Yugie.

Doyoung dan Yugie kemudian memapah Luika kedalam rumah Sejeong. Sejeong dengan cekatan mempersiapkan kasur di kamar tamu, tak lupa dengan segelas minuman hangat dan semangkuk sup untuk menghangatkan tubuhnya.

"Mengapa dia tidak kunjung sadar?" tanya Doyoung pada Yugie.

"Aku rasa Ia sangat kelelahan, perjalanan kami cukup panjang, dan Ia belum sepenuhnya pulih dari perawatan," ujar Yugie.

"Ah, begitukah. Kalau begitu kita biarkan dia beristirahat dulu saja. Kalian berdua silakan makan, Aku sudah menyiapkannya,"

Ketiganya berpindah keruang keluarga rumah Sejeong. Rumah itu sangat rapi, mungkin karena hanya Sejeong sendiri yang tinggal disana. Yugie dan Doyoung menyantap lahap makanan yang dihidangkan Sejeong. Wajar saja, dua pria itu kelaparan, Doyoung yang belum makan siang, dan Yugie yang belum makan sedari pagi.

"Sejeong, Aku dengar Kau dulu adalah orang Korea Utara," celetuk Yugie.

"Ah, benar. Sejak Aku tiga tahun," jawab Sejeong santai. Ia tampak tak terganggu dengan pertanyaan tiba-tiba Yugie.

"Apakah Kau pernah bermasalah? Selama tinggal di Korea Selatan?"

"Pernah, ketika Aku memasuki usia legal. Sangat sulit untuk mendapatkan kartu identitas Korea Selatan, prosesnya cukup panjang, dan banyak pertentangan,"

"Pertentangan?"

"Ya, terutama dari warga sekitar. Mereka khawatir kalau ... keluargaku adalah penyusup, pengkhianat," ujar Sejeong.

"Maaf Aku tidak bermaksud menyinggung ke arah sana, tapi Aku hanya memastikan Kau aman, karena kami menitipkan seseorang yang sangat penting,"

"Ya, Aku tahu. Doyoung sudah mengatakannya. Aku akan berusaha semampuku menjaganya selama kalian memerlukan bantuanku. Aku sudah sangat berbaur dengan warga sekitar,"

Doyoung menaruh sumpitnya, "Aku sangat berterimakasih dan meminta maaf padamu, Se. Ini sangat darurat, dan Aku tidak bisa mempercayai orang lain selain Kau,"

"Tidak masalah, Aku harap ini dapat membantu kalian menumpas kasus tragis di Daegu itu,"

Yugie mengeluarkan sebuah ponsel dan laptop dari tas ranselnya. Ia juga mengeluarkan sebuah kamera berukuran kecil, ukurannya hanya sebesar tutup botol air mineral.

"Sejeong, tolong gunakan ini jika ingin berkomunikasi dengan Aku atau Doyoung. Lalu, laptop ini tolong Kau aktifkan jika ada instruksi khusus dari Kami. Lalu ini, kamera tersembunyi dan penyadap suara, akan kami pasang di sekitar Luika. Kami harus mengawasinya 24 jam, karena statusnya sebagai saksi belum dapat dipercaya seratus persen," jelas Yugie panjang lebar.

"Baiklah, Aku akan menggunakannya," ujar Sejeong.

"Apakah perangkat itu sudah dipasangkan sistem antiretas?" tanya Doyoung

"Tentu saja, sistem keamanannya sangat tinggi,"

Laboratorium Foresnsik Itaewon

Seoul, Korea

2 Mei 2016

18.15 P.M KST

"Apa?" seru Taeyong keras melalui teleponnya. Kedua asistennya yang berada dalam satu ruangan dengannya itu terkejut mendengar suara atasan mereka itu.

Taeyong menghela nafas, memijit keningnya, "Baiklah, Aku akan bersiap sekarang, terus kabari Aku," ujarnya kemudian mengakhiri panggilan telepon dengan Mark.

"Ada apa dokter?" tanya Na Jaemin, asisten utamanya.

"Kita akan menerima enam jenazah korban luka tembak, siapkan keperluannya sekarang. Mereka akan tiba dalam 15 menit," perintah Taeyong sembari menggulung lengan kemejanya.

Tanpa banyak bertanya, dua asisten Taeyong segera bergegas menyiapkan keperluan penerimaan jenazah.

"Apakah kita akan melakukan autopsi?" tanya Jaemin saat dirinya telah siap dengan alat pelindung diri sesuai SOP.

Taeyong menggeleng, "Tidak, kita hanya akan mengidentifikasi dan mengirimnya ke suatu tempat," ujarnya sembari kembali menghubungi Mark.

"Mark, lewat pintu belakang, pindu depan tidak akan aman, memicu keributan," titahnya, lalu Ia memutuskan sepihak panggilan itu.

"Pastikan tidak ada yang menyaksikan ini. Tutup semua akses masuk," titah Taeyong pada Hani, asistennya yang lain.

"Baik, dokter!" jawab Hani. Ia segera bergegas melaksanakan perintah Taeyong.

"Jam berapa ini?" tanya Taeyong pada Jaemin. Mereka sedang berlari ke arah pintu belakang.

Jaemin melirik jam tangannya, "18.27,"

"Bagus, seharusnya semua orang sudah pulang,"

"Sebenarnya mereka siapa dokter?"

"Terjadi baku tembak antara tim detektif dan beberapa penyerang. Keenam penyerang itu tewas,"

"Lalu kemana kita akan mengirim jenazah mereka?"

"Markas intelijen,"

Chương tiếp theo