webnovel

Lucas dan Mawar

"Sudah ku duga Kau akan memakai gaun itu. Apa Kau suka hadiah dari ku, Tuan Putri?"

"LUCAS!"

Lucas menyeringai sambil melipat tangan di depan dada. Aku berlari menghampirinya dengan girang. Kapan Lucas pulang? Bukannya masih dua hari lagi? Tepat saat aku sampai di hadapannya, Lucas berdiri dan memukul pelan dahi ku dengan jari telunjuknya.

TUK!

Eh? Tubuh ku terasa lebih ringan. Apa yang Lucas lakukan barusan?

"Apa yang Kau lakukan?"

"Mengambil daun di kepala mu."

Sehelai daun ada di tangan Lucas. Aku melongo, begitu juga Seth. Kenapa bisa ada daun di kepala ku? Kalau memang ada dari tadi, Seth pasti sudah mengambilnya kan? Sudahlah, masa bodoh.

"Kapan Kau pulang?" aku dan Lucas duduk bersebelahan.

Lucas menyuruh Seth untuk duduk dihadapan kami. Dengan segera, Seth duduk. Kue dan teh sudah tersedia di meja, artinya ini sudah direncanakan.

"Tadi pagi. Ternyata tugas ku selesai lebih cepat," Lucas menyeruput tehnya.

"Sebenarnya Tuan Lucas pulang tengah malam, Tuan Putri. Tuan Lucas sangat khawatir dengan Anda karena hari ini Tuan Putri akan bertemu Tuan Muda Alphaeus. Jadi beliau pagi ini memberi saya briefing tentang rencana hari yang lalu. Beliau menyuruh saya untuk menjaga Anda dengan benar Tuan Putri."

"Seth!" Lucas setengah berteriak dan meletakkan cangkirnya.

Aku menatap dua orang itu sambil terbengong-bengong. Mereka sangat akrab, ya. Tadi maksudnya Seth apa? Lucas khawatir dengan ku sampai-sampai Seth kena briefing pagi? Benarkah? Aku menoleh ke arah Lucas, dia menatap ku datar sambil bertanya, 'apa?' pada ku. Ada semburat merah di wajahnya, aku salah lihat kan?

Aku menepuk pelan bahunya, "ternyata fosil berjalan ini menghawatirkan ku ya?"

"Siapa yang Kau panggil fosil berjalan?" ucap Lucas kesal.

"Tentu saja Kau."

Perempatan muncul di dahi Lucas. Aku berdiri dan segera duduk di sebelah Seth. Seth tertawa lepas melihat tingkah kami. Aku dan Lucas terdiam sejenak, lalu kami pun ikut tertawa.

Siang ini kami bertiga menghabiskan waktu bersama. Aku menceritakan tentang pembicaraan ku dengan Izekiel. Seth sesekali menginterupsi, membicarakan ekspresi tidak nyaman ku saat berbincang dengan Izekiel. Anehnya adalah Izekiel tidak menyadarinya dan lanjut berbincang. Aku terkekeh geli mengingat itu.

Aku tidak tahu itu murni ketidaktahuan Izekiel atau dia ingin mengambil hati ku seperti perintah Roger Alphaeus.

***

Sore harinya

"Papa!"

Aku berlari menghampiri papa yang sudah duduk di kursi paling ujung meja makan. Aku melompat tanpa aba-aba ke arah papa. Dengan sigap, papa menangkap ku. Nice catch, papa!

Aku tersenyum tanpa dosa pada papa yang kini memandang ku sedikit kesal. Aku yakin dia sangat kesal, tapi wajahnya yang datar menyembunyikannya. Aku terkekeh pelan.

"Papa pasti sudah hafal dengan tingkah Athy, kan? Sampai-sampai papa sudah berdiri bahkan sebelum Athy melompat."

Ya, tadi setelah aku memanggil papa, dia langsung berdiri dan menghadap ke arah ku. Aku memang berniat melompat memeluk papa, sudah kebiasaan. Tapi aku tadi baru beberapa langkah dari pintu lho, papa langsung tahu kalau aku akan melompat. Disebut apalagi coba kalau bukan hafal?

"Omong kosong," papa mendudukkan ku di kursi sebelah kirinya.

Hahahaha. Aku tahu papa sudah hafal. Aku terkekeh pelan melihat papa. Papa menaikkan sebelah alisnya kebingungan.

"Papa. Apa besok pagi papa mau menemani Athy?"

"Hm?"

"Temani Athy di taman bunga mawar besok pagi. Mau kan? Mau kan?" aku memasang puppy eyes dan tersenyum sejuta watt.

Papa menatap ku datar. Ayolah terima saja! Aku tahu papa tidak ada jadwal besok pagi. Tentu saja aku tahu itu dari Felix. Terima kasih Felix! Jadi? Papa tidak mau menerimanya? Kita sudah jarang bermain di luar karena kau sibuk sekali lho.

"Baiklah."

Aku terdiam sejenak kemudian senyum ku kembali merekah. Aku berdiri dan mencium pipi papa. Setelah mengucapkan terima kasih, aku duduk kembali. Makanan mulai dihidangkan. Aku melirik ke arah papa, dia tersenyum simpul. Tanpa sadar aku juga tersenyum.

Bodoh sekali aku pernah bilang tidak butuh keluarga ataupun kasih sayang. Ternyata, mereka itu terasa sangat hangat ya.

***

Keesokan harinya

Seperti janji kemarin, aku dan papa kini berada di taman bunga mawar. Kali ini tidak ada meja ataupun kursi, tetapi sebuah tikar. Aku dan papa duduk di tikar menikmati semilir angin ditemani teh, susu, dan kue, sesekali kami bercerita. Tentu saja aku yang bercerita, modelan seperti papa mana mau cerita panjang lebar.

Aku melirik bunga mawar yang bermekaran, cantik sekali. Felix yang berdiri di belakang papa bertanya apakah aku mau diambilkan bunga mawar. Aku mengangguk dan memintanya untuk mengambil yang banyak sekaligus sebuah kawat kecil dan beberapa barang. Papa hanya menatap bingung ke arah ku yang ku balas senyum tipis.

"Athy mau membuat sesuatu dari bunga mawar ini," ucap ku ketika Felix kembali dengan barang pesanan ku.

Aku berterima kasih pada Felix dan berkutat sendirian. Papa dan Felix memerhatikan aku. Selang beberapa menit, benda yang ku buat telah jadi. Aku mengangkatnya tinggi-tinggi, menunjukkan pada papa dan Felix.

"Ah, mahkota bunga!" Felix berseru.

"Benar."

Aku berdiri dan mendekati papa, ku letakkan mahkota bunga ini di atas kepala papa. Aku dan Felix menatap papa kemudian kami saling tatap dan terkekeh geli. Papa menaikkan sebelah alisnya seolah berkata, 'ada apa?'. Aku menggelengkan kepala pelan dan tersenyum.

"Papa tampan!"

HAHAHA! Jujur mahkota bunga itu membuat papa terlihat seperti raja peri di buku-buku dongeng. Aku ingin tertawa lepas saat ini! Tolong aku! Mungkin Felix membaca raut wajah ku atau apa, dia tiba-tiba meminta mahkota bunga juga. Aku mengangguk dan membuatnya lagi.

"Siapa yang mengajari mu?" papa bertanya kemudian menyeruput tehnya.

"Lily!"

Papa mengangguk pelan dan suasana hening. Beberapa menit kemudian, mahkota bunga kedua selesai. Aku menyuruh Felix untuk berlutut dan memakaikannya mahkota bunga. Felix berdiri lagi dan diam di belakang papa. Aku menatap kedua orang itu bergantian.

HAHAHAHA! Ini kerajaan peri, ya? Ku mohon siapa pun, tolong aku! Aku menahan tawa sekuat mungkin dan meraih kawat dan bunga yang tersisa. Mungkin kalau sibuk, aku bisa melupakan ini. Aku kembali berkutat pada kawat dan bunga mawar. Suasana hening, hanya semilir angin yang ada sampai papa berbicara beberapa menit kemudian.

"Apa hari ini Kau ada jadwal dengannya?" papa menunjuk dengan lirikan matanya.

Aku mengikuti arah pandangan papa dan terdiam. Ha? Aku tidak punya jadwal atau janji dengannya, bagaimana dia bisa ada di sini? Bagaimana bisa dia masuk ke taman bunga pribadi ku dengan seenak jidat?

Hm?

GAH! KENAPA IZEKIEL ALPHAEUS ADA DI SINI?

Izekiel berjalan seakan-akan mencari seseorang. Tak butuh waktu lama, pandangan kami bertemu. Izekiel berjalan menghampiri kami dengan senyum di wajah. Berbeda dengan papa yang melihat dia dengan tatapan membunuh.

"Segala keagungan dan berkat pada matahari Obelia. Senang bertemu dengan Anda, Yang Mulia dan Tuan Putri."

Izekiel menunduk penuh hormat kemudian tersenyum. Dia tidak bisa baca situasi, ya? Aku tahu dia hanyalah seorang bocah usia sepuluh tahun. Tapi meski begitu, dia seharusnya bisa membaca situasi sekarang dong! Lihatlah dengan jelas! Tepat di samping ku, di hadapan mu, ada orang yang siap membunuh mu kapan saja!

"Izekiel, apa yang Kau lakukan di sini? Ini taman pribadi milik ku."

"Saya ingin bertemu dengan Anda, Tuan Putri," senyum nya merekah bak matahari, menyilaukan.

"Ini kunjungan yang tiba-tiba ya, Izekiel. Aku akan menghitungnya sebagai pertemuan kedua bulan ini."

Setelah aku berkata demikian, wajah Izekiel sedikit sedih. Aduh, aku merasa bersalah. Aku melirik papa, masih menatap tajam ke Izekiel. Aku harus apa? Izekiel bisa-bisa mati di tangan papa, nih!

"Kau kemari dengan siapa, Izekiel?"

Izekiel tersenyum, "saya kemari dengan ayah saya, Tuan Putri."

Tepat setelah Izekiel mengatakan itu, seorang kesatria mendatangi kami dengan menahan tawa. Ah, aku lupa papa masih memakai mahkota bunga. Dia menginformasikan bahwa Paman Putih- aka Roger Alphaeus datang menemui papa. Papa berdecak kesal, tapi sangat pelan.

Felix meminta izin untuk mengambil mahkota bunga papa. Sesaat papa terlihat enggan, tapi akhirnya dilepas juga. Tenang saja papa, aku bisa membuatkan mu yang baru kalau kau mau. Papa berdiri dan menyuruh kesatria tadi untuk mengikutinya.

Felix yang hendak mengikuti langsung disuruh diam dan menemani ku. Aku tersenyum senang. Papa memberi ku perlindungan secara tidak langsung! Good job, papa!

Saat papa sudah semakin menjauh, aku mempersilakan Izekiel untuk duduk. Memang tidak sopan sih menemui seseorang tanpa pemberitahuan atau janji terlebih dahulu, tapi untuk kali ini biarkan saja deh. Mungkin Izekiel dibujuk oleh Paman Putih untuk ikut.

Aku menyelesaikan mahkota bunga yang tadi sempat tertunda dan memberikannya pada Felix. Aku berpesan agar mahkota itu tidak rusak karena itu hadiah untuk seseorang. Yap, seseorang. Ku berikan untuk siapa, ya?

Saat aku sedang melamun, Izekiel tiba-tiba berbicara. Aku menghentikan lamunan ku dan meladeninya. Tidak ada info penting dalam percakapan ini. Aku masih meladeni ucapannya selama tiga puluh menit ke depan. Aku mulai capek tersenyum. Huhuhu...

"Ah, Tuan Putri!"

Kami bertiga menoleh serempak. Lily menghampiri kami dengan sedikit terengah-engah. Apa Lily habis berlari? Kenapa mencari ku?

"Tuan Putri! Tuan Pharthias sudah menunggu Anda!"

"Astaga! Aku lupa!"

Aku segera berdiri dibantu oleh Felix. Aku meminta maaf pada Izekiel karena harus pergi dan meminta Felix menemaninya. Aku dan Lily berbalik dan meninggalkan taman.

Namun langkah ku terhenti, aku berbalik ke arah Felix dan mengambil mahkota bunga yang terakhir tadi. Aku punya firasat kalau ini mungkin dibutuhkan. Aku berbalik lagi dan menghampiri Lily. Kami berdua meninggalkan taman mawar dan menuju ke perpustakaan pribadi ku.

***

"Semoga keberkahan Obelia selalu bersama Anda. Selamat siang, Tuan Putri," Tuan Pharthias membungkuk.

Aku tersenyum sedikit merasa bersalah, "selamat siang, Tuan Pharthias. Maaf karena Anda harus menunggu."

"Tidak apa-apa, Tuan Putri. Saya paham bahwa Anda sedang bermain dengan Yang Mulia."

Tuan Pharthias memang baik. Tidak salah papa memilih guru ini. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktu mu lagi Tuan Pharthias! Aku akan belajar dengan rajin hari ini!

Aku tersenyum pada Tuan Pharthias dan memintanya untuk menunduk. Tanpa ragu, Tuan Pharthias menunduk. Ku pakaikan mahkota bunga di genggaman ku padanya. Dengan wajah terkejut, Tuan Pharthias menatap ku.

"Ini permintaan maaf karena membuat guru sejarah ku menunggu."

Tuan Pharthias tersenyum simpul dan berterima kasih. Segera setelah itu, pelajaran dimulai. Materi hari ini adalah sejarah tentang sihir dan para penyihir. Aku sangat antusias dengan yang satu ini.

Sangat susah untuk mencari buku tentang sejarah sihir dan penyihir. Hanya pengajar bersertifikat yang memiliki buku sejarah ini. Kalau penyihir tentu saja punya, apalagi Lucas. Tapi kalau Lucas, aku tidak tahu dia menyimpannya di mana mengingat setengah dari kamarnya sangat berantakan oleh tumpukan buku dan alat sihirnya.

"Apa Tuan Putri pernah melihat sihir?" Tuan Pharthias bertanya.

"Iya! Athy bahkan punya teman seorang penyihir!"

Aku menjawab dengan jawaban khas anak kecil. Heh, siapa sih di kerajaan ini yang tidak tahu kalau teman bicara ku itu penyihir? Kalau orang luar jelas tidak tahu karena ini bersifat rahasia, tapi para pengajar ku itu orang spesial. Mereka jelas sudah diinfokan tentang insiden sakit ku dan Lucas. Mereka hanya berpura-pura untuk membuat ku senang.

"Wah, pasti Tuan Penyihir ini hebat ya, Tuan Putri."

Aku mengangguk patah-patah. Untung Lucas tidak ada di sini sekarang, bisa sombong nanti dia. Saat kami melanjutkan pelajaran, terdengar ketukan di pintu.

TOK! TOK! TOK!

"Masuk!"

Setelah ku persilakan masuk, pintu terbuka. Tampak seseorang laki-laki masuk. Lucas. Baru juga dibicarakan. Apa yang dia lakukan di sini?

"Semoga keberkahan Obelia selalu bersama Anda. Apa saya mengganggu Tuan Putri?" Lucas memberi salam dan bertanya dengan sopan.

Gah! Aktingnya terlalu nyata! Tapi untuk saat ini, ladeni dulu saja. Aku menggelengkan kepala dan tersenyum simpul. Lucas mendekat ke arah ku dan meminta maaf sebelum memukul pelan dahi ku dengan telunjuknya.

TUK!

Badan ku terasa ringan lagi. Apa yang Lucas lakukan?

"Apa yang Kau lakukan, Lucas?"

"Mengambil kotoran di rambut Anda, Tuan Putri."

Aku ber oh ria. Ku lirik Tuan Pharthias yang terlihat tidak percaya melihat rupa Lucas. Ha? Kenapa wajah anda begitu Tuan Pharthias? Ku pikir kalian sudah pernah bertemu. Apa Anda pikir penyihir itu sudah tua? Benar sih, hanya saja dia dalam wujud mininya.

"Senang bertemu dengan Anda, Tuan Penyihir. Saya Adon Pharthias, guru sejarah."

Lucas mengangguk dan memperkenalkan diri. Lucas menatap Tuan Pharthias sejenak setelah itu meminta izin untuk pergi ke rak belakang. Seingat ku rak belakang isinya tentang sihir. Apa buku sihirnya Lucas tidak lengkap? Nah, tidak mungkin. Setengah dari kamarnya saja isinya buku sihir.

Tepat saat aku sedang berpikir, Lucas menghilang dari hadapan ku. Tuan Pharthias bilang, dia ada di belakang. Aku mengangguk dan melanjutkan pelajaran.

Selang satu jam, kami istirahat. Ini adalah ide ku menambahkan lima belas menit untuk istirahat setelah belajar. Biasanya lima belas menit ini digunakan untuk minum dan makan camilan sambil berbincang-bincang. Cukup mengasyikkan. Selain hubungan antara aku dan guru ku yang semakin akrab, aku juga menambah pengetahuan dari cerita yang mereka sampaikan pada ku.

***

Tuan Pharthias sudah pulang, kini tinggal aku dan Lucas yang ada di perpustakaan. Aku pergi ke belakang, mencari Lucas. Duh, perpustakaan ini terlalu luas. Mungkin kalau main kejar-kejaran di sini, pasti susah menangkap mangsanya.

Aku terus melangkah sampai ke pojok belakang. Aku terdiam saat melihat Lucas duduk di bawah sambil membaca buku. Tunggu dulu, Lucas sepertinya tidak sedang membaca.

Aku mendekati Lucas, napasnya teratur. Jangan bilang Lucas tidur? Ngapain sih tidur di pojok sini? Di sini kan dingin. Dasar aneh.

Aku berjongkok di sebelahnya dan menepuk pelan pundaknya. Lucas bergeming. Enak sekali dia tidurnya. Ku apakan ya biar bangun? Ketika aku sedang berpikir, seseorang memukul pelan dahi ku.

TUK!

"Jangan berpikir terlalu keras, wajah mu tambah jelek nanti."

Ternyata itu Lucas. Apa katanya tadi? Jelek? HA? JELEK?

BUAK!

"SAKIT, BODOH!"

Lucas berteriak setelah menerima bogem mentah dari ku. Biarin saja, enak sekali dia bilang aku jelek. Dia itu tidak hanya menjelek-jelekkan aku, tapi juga Athanasia yang asli.

"Kau orang pertama yang memukul kepala ku."

"Lantas kenapa? Ha?"

Aku dan Lucas mendengus kesal bersamaan. Kami menatap sengit satu sama lain selama beberapa menit. Lucas mengakhirinya dengan berdiri dan mengambilkan buku yang dipegangnya tadi dengan mengetikkan jari.

Lucas menatap ku lagi, kali ini dengan tatapan datar. Aku memberi tatapan 'apa?' padanya. Lucas tetap diam. Ck. Dia itu kenapa sih?

***

Chương tiếp theo