Anya menghabiskan cukup banyak waktu di kamar mandi, berusaha menghindar dari Aiden. Ia mengenakan salah satu baju terusannya yang masih cukup bagus dan memoles wajahnya dengan sedikit make-up. Setidaknya, ia harus tampil lebih rapi karena sekarang ia telah menjadi seorang istri.
Setelah selesai bersiap, ia segera menuju ke meja makan, menemukan Aiden sudah duduk di meja tersebut dengan pakaian yang rapi meskipun Anya telah menguasai kamar mandi utama selama sekitar satu jam hari ini. Sepertinya pria itu menggunakan kamar mandi lain. Namun, alih-alih terlihat kesal, senyum tipis terlihat di wajah pria itu saat ia berbincang-bincang dengan Harris dan Hana. Sepertinya suasana hati pria itu sedang baik hari ini.
Dari kejauhan, Anya mengamati Aiden. Pria itu memakai pakaian gelap seperti biasa. Kemejanya berwarna abu-abu gelap, sementara sebuah jas hitam tersampir dengan rapi di belakang kursinya. Rambutnya sudah di tata dengan rapi dan kacamata hitam membingkai matanya.
Ia berjalan menuju kursi di samping Aiden, tempat duduknya kemarin. Harris dan Hana duduk di hadapan mereka, ikut sarapan bersama dengan mereka hari ini. Anya berusaha untuk melupakan rasa canggungnya walaupun senyum di wajahnya masih terasa kaku. Namun, keberadaan Harris dan Hana merupakan bantuan besar untuknya.
Suasana di meja makan itu menjadi lebih harmonis.
Seperti yang dikatakan Anya, Aiden memang sedang dalam suasana hati yang gembira. Ia senang karena bisa melihat Anya sejak ia membuka matanya di pagi hari. Ia berusaha untuk menyembunyikan kegembiraannya itu, tetapi sepertinya rasa senang yang ia rasakan terlalu meluap-luap sehingga orang lain pun bisa merasakannya.
Tidak biasanya Harris dan Hana ikut sarapan dengannya. Tetapi setelah melihat kecanggungan Anya saat makan malam dengannya kemarin, ia rasa ia membutuhkan bantuan Harris dan Hana untuk mencairkan suasana. Apalagi, Hana adalah seorang wanita yang berkepribadian hangat.
Setelah makan pagi selesai, Aiden dan Harris segera bangkit berdiri dan bersiap untuk berangkat kerja.
"Aku akan berangkat ke kantor," kata Aiden pada Anya.
Anya hanya bisa menganggukkan kepalanya untuk menjawab kata-kata Aiden itu. Seperti itu lah perpisahan mereka. Kaku dan canggung …
Hana yang melihatnya hanya bisa geleng-geleng kepala. Setelah Aiden dan Harris menghilang dari hadapannya, ia langsung menggoda Anya, "Pasangan muda seperti kalian seharusnya bersikap lebih mesra."
Anya tersenyum malu-malu saat mendengarkan kata-kata Hana, "Ah! Kami tidak terbiasa seperti itu."
Kata-kata itu yang keluar dari mulutnya, tetapi Anya tidak bisa melupakan betapa mesranya ia dan Aiden semalam …
Anya langsung mengibas-ngibaskan tangannya saat pemikiran itu muncul di benaknya. Apa yang aku pikirkan? Apa aku sudah gila?
Hana hanya terkekeh saat melihat tingkah Anya, seolah mengetahui apa isi pikiran Anya. Ia merasa sangat bersyukur Aiden bisa mendapatkan wanita seperti Anya. Walaupun ia belum mengenal Anya sepenuhnya, tetapi ia bisa merasakan bahwa wanita pilihan Aiden ini adalah wanita baik-baik. Dan selama ini, instingnya tidak pernah salah.
Hana seolah tenggelam dalam kenangan dan berkata pada Anya, "Dulu, Tuan Aiden tidak sedingin ini. Sebenarnya, ia adalah pria yang hangat. Namun, sejak kecelakaan itu menimpanya, ia tidak hanya lumpuh dan buta, tetapi kepribadiannya pun jadi dingin …"
Anya tersentak saat mendengar cerita Hana. Buta?
Hana terlalu terlarut dalam ceritanya, sehingga ia tidak menyadari bahwa Anya menatapnya dengan tatapan tak percaya, "Setelah kecelakaan itu, Tuan Aiden menghabiskan seluruh waktunya untuk melakukan fisioterapi dan meningkatkan kemampuan bela dirinya. Untungnya, ia bisa berjalan kembali. Walaupun matanya tidak bisa pulih, berkat latihan bela diri itu, inderanya menjadi semakin peka."
Buta? Anya tidak bisa mempercayai semua ini.
Aiden sebenarnya buta? Pria itu sama sekali tidak terlihat buta. Ia mengetahui segala sesuatu di sekitarnya seolah bisa melihatnya. Ia terlihat seperti orang normal!
Namun, ia teringat pada kacamata hitam yang selalu bertengger di wajah Aiden.
Ah! Pantas saja ia tidak pernah melepaskan kacamata itu kecuali saat di kamar tidurnya. Ternyata kacamata hitam itu untuk menutupi kelemahannya dari dunia luar yang kejam.
Perasaan bersalah dan kasihan bercampur aduk di hati Anya. Ia merasa bersalah karena tidak mengetahui beban yang dilalui oleh Aiden, sementara itu Aiden selalu membantu menyelesaikan masalahnya.
Ia juga merasa kasihan karena pria yang luar biasa sempurna itu ternyata tidak bisa melihat indahnya dunia ini. Ia merasa nasib Aiden sangat malang sekali sampai harus kehilangan penglihatannya.
Perasaan sedih menyelimuti Anya. Ia merasa bersalah karena ia tidak bisa melakukan apapun untuk membantu Aiden walaupun pria itu telah banyak membantunya. Mulai saat ini, ia bertekad untuk melakukan lebih banyak hal demi Aiden.
Walaupun ia tidak mencintainya, setidaknya hanya ini yang bisa ia lakukan sebagai seseorang yang berhutang budi padanya.
Hana mengelus-elus bahu Anya dan berusaha untuk memberi nasihat sebagai orang tua. "Keberadaanmu sepertinya membuat Tuan Aiden menjadi senang. Bersabarlah dengan kondisinya. Tolong jangan kecewakan dia," kata Hana dengan lembut. Ia merasa khawatir suatu hari nanti Anya akan lelah memiliki pria cacat sebagai suami dan meninggalkannya.
Anya memegang tangan Hana dan meyakinkannya. "Saya tidak akan meninggalkan Aiden. Apapun yang terjadi," katanya sambil tersenyum.
Anya memang tidak mencintai Aiden, tetapi bukan hanya cinta yang dibutuhkan untuk hidup bersama. Mereka bisa hidup berdampingan dan saling membantu walaupun tidak ada cinta di antara mereka.
Setelah itu, Anya membantu Hana untuk membereskan piring-piring kotor. Walaupun Hana menolak bantuannya, Anya tidak bisa diam saja tanpa melakukan apapun. Tidak ada yang bisa ia kerjakan sekarang, jadi setidaknya ia bisa membantu Hana untuk membereskan rumah.
Namun, pada saat mereka sedang mencuci piring, tiba-tiba saja ponsel Anya berdering. Ia segera mengeringkan tangannya sambil berpamitan pada Hana untuk mengangkat panggilan itu sebentar.
Tak disangka, ia melihat tulisan "Ayah" di layar handphone-nya. Rasa terkejut dan gembira langsung memenuhi hatinya.
Deny Tedjasukmana adalah sosok pria yang berwibawa dan dingin. Di dunia ini, hanya harta kekayaan dan kekuasaan yang ia pedulikan. Keluarga seolah tidak memiliki tempat di hatinya, apalagi ia hanya memiliki anak perempuan. Ia tidak memiliki keturunan yang akan meneruskan jejak langkahnya. Hal itu membuatnya semakin merendahkan arti keluarga.
Selama ini, Anya selalu merindukan sosok ayahnya. Ia selalu berusaha untuk mendekatkan diri dengan ayahnya. Terkadang ia akan menelepon atau mendatangi rumahnya, tetapi ayahnya selalu beralasan bahwa ia sedang sibuk. Jika ayahnya bisa menemuinya, pria itu tidak akan meluangkan banyak waktu untuknya. Bagi Deny, 15 menit sudah cukup untuk mengobrol dan berbasa-basi sejenak dengan Anya. Ayahnya juga sama sekali tidak peduli saat ia memberitahu bahwa ibunya jatuh sakit. Bahkan pria itu tidak mau membantu ia dan ibunya selama mereka kesulitan.
Ada perasaan senang yang terbesit di hatinya ketika ia mengetahui bahwa ayahnya sedang mencarinya. Namun, ia tahu betul bahwa ayahnya memiliki tujuan tertentu. Tidak mungkin ayahnya yang jarang sekali menemuinya, tiba-tiba saja mencarinya tanpa alasan.
Tapi mengapa ayahnya itu tiba-tiba mencarinya?