Flashback 20.00
Bastian baru saja menyelesaikan rapat dengan klien yang tempo hari gagal ia temui di restoran. Lalu Bastian juga menghadiri rapat yang tempo hari tertunda karena ia buru-buru ke rumah sakit mendengar Kirana akan lompat dari atap gedung.
Di sampingnya Adi sedang mengucek-ngucek mata lelah. Maklum, Adi begadang membuat presentasi untuk klien dan harus menemani Bastian rapat hingga malam. Kantung matanya sudah mulai menghitam.
Meskipun sering membuat Bastian emosi, harus diakui bahwa Adi adalah sosok yang bertanggung jawab pada pekerjaan. Adi juga sosok yang bisa dipercaya. Belum pernah Adi gagal melakukan tugas. Itulah sebabnya Bastian masih mempertahankan Adi di sisinya.
"Di, mobilnya sudah siap?" tanya Bastian sambil memasukkan dokumen-dokumen ke tas kerjanya.
"Sebentar lagi, Tuan. Supir sedang mengambil mobil di parkiran," jawab Adi sambil membantu Bastian membereskan dokumen.
Kring kring. Ponsel Bastian berbunyi.
"Halo, Bas," sapa kakek di ujung ponsel
"Iya, Kek. Ada apa?" tanya Bastian heran. Tumben sekali kakeknya menelpon malam-malam.
"Bas, tolong mintakan resep obat ke Dokter Kirana lagi. Obat kakek sudah habis," kata kakek sambil pura-pura batuk.
Bastian menghela napas. "Kakek emangnya sakit?"
"Iya. Uhuk uhuk," batuk kakek semakin kencang. Pasti hanya akal-akalannya saja, batin Bastian.
"Daripada merepotkan Dokter Kirana kenapa gak telpon dokter pribadi keluarga aja, Kek? Apa perlu aku yang menelponkan?"
"Gak usah, Bas. Kakek cuman perlu obat dari Dokter Kirana aja. Kalau minum obat dari Dokter Kirana kakek bisa cepet sembuh," bohong kakek. "Pokoknya kalau kamu gak bawain kakek resep obat, kamu cucu durhaka, Bas."
Sekarang kakek mengancam Bastian. Bastian hanya bisa geleng-geleng kepala. "Oke oke. Aku bakal ke rumah sakit sekarang. Nanti aku antar resepnya ke rumah kakek ya."
Klik. Telepon terputus.
Bastian tersenyum kecil. Ada-ada saja trik kakeknya untuk mendekatkan dirinya dengan Kirana. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan rasa suka kakek pada Kirana. Tapi ia menyadari kenapa kakeknya begitu menyukai dokter satu itu. Berada di dekat Kirana membuat hatinya hangat.
Tiba-tiba ia kembali bersemangat. Ia akan segera menemui Kirana. Ia tidak sabar melihat senyum dan mata gadis itu. Membayangkannya saja semua rasa lelah dan penat Bastian memudar.
"Di, kamu nanti pulang sama supir aja ya. Aku mau bawa mobil sendirian," kata Bastian pada asistennya ini.
"Lho, Tuan mau kemana?"
Bastian tersenyum lebar. "Rumah sakit."
…
Bastian turun dari Mercedes Benz hitamnya. Semua mata ikut memandang setiap langkah kaki Bastian yang berjalan masuk ke rumah sakit. Seluruh penghuni rumah sakit sudah tahu kalau Bastian sering mengunjungi rumah sakit hanya untuk bertemu Kirana. Mereka berbisik betapa beruntungnya Kirana.
"Sus, apa Dokter Kirana masih di rumah sakit?" tanya Bastian pada salah satu perawat di lobby rumah sakit.
Perawat itu terperanjak melihat wajah tampan Bastian. "Ah, Dokter Kirana tadi sudah pulang. Barusan saja."
Bastian mengangguk kepala berterima kasih.
Ketika hendak pergi, samar-samar ia mendengar perawat berkata "beruntung banget ya Dokter Kirana dicariin dua cowok ganteng sekaligus."
Bastian berpikir sejenak. Dua orang cowok ganteng? Siapa yang mereka maksud, batinnya.
Ia berjalan menuju halaman depan rumah sakit sambil mencari-cari keberadaan Kirana yang mungkin belum jauh. Bastian berusaha menelpon Kirana. Tapi gadis itu tidak mengangkat telponnya.
Bastian terus mengelilingi lokasi sekitar rumah sakit sambi masih mencari keberadaan Kirana. Lalu ia melihat dua orang laki-laki menyeret seorang perempuan masuk ke sebuah mobil van.
Kenapa perempuan itu mirip Kirana?
…
Kirana masih tidak percaya pria di depannya adalah Bastian. Ia masih berpikir Bastian hanyalah sebuah mimpi. Kirana memberanikan diri memegang kedua pipi Bastian. "Apa ini mimpi?"
Kalaupun itu mimpi ia tidak ingin bangun, batinnya.
Bastian menatap kedua mata cerah Kirana sambil tersenyum. "Ini bukan mimpi."
Memandangi wajah Bastian membuat semua rasa takut Kirana menghilang. Ia merasa semua kegelapan yang menyelimutinya digantikan dengan perasaan hangat. Perasaan dimana ia merasa aman dan tidak perlu khawatir akan apa yang terjadi karena Bastian di sini. Ya, Bastian bersamanya.
"Kita harus segera pergi dari sini," kata Bastian membuyarkan lamunan Kirana.
Tanpa menunggu lebih lama Bastian menggandeng tangan Kirana melewati lautan menusia yang asyik berjoget di lantai dansa. Mereka mencari jalan keluar klub malam.
Sayangnya klub malam ini begitu luas dan sesak dengan pengunjung. Entah berapa kali Bastian dan Kirana harus bilang "permisi" agar diberi jalan oleh pengunjung lainnya.
Mereka berdua hampir sampai di pintu keluar utama klub malam. Namun langkah kaki mereka harus berhenti ada 3 pria bertubuh besar menghadang mereka. Kirana semakin takut karena ketiganya membawa pisau dan balok kayu.
"Tangkap dia," kata salah satu pria bertubuh besar yang membawa balok kayu. Ia menatap Kirana dengan bengis.
Bastian menghalangi pria itu. Ia menendang pipi pria bertubuh besar pertama hingga tersungkur ke lantai. Sementara itu Kirana hanya meringkuk di dinding memandangi perkelahian Bastian. Tangan dan kakinya seolah lumpuh karena terlalu takut.
Dua pria lainnya meyerang Bastian dengan beringas. Mereka berusaha menusukkan pisau ke wajah Bastian. Untunglah Bastian dapat menghindar dengan gesit. Ia memukul wajah dan menendang kedua pria bertubuh besar lainnya.
Kirana memperhatikan pria pertama yang dipukuli Bastian sudah bangkit berdiri. Ia meraih sebuah balok kayu. Kirana seolah bisa membaca pikiran pria tersebut. Sepertinya ia akan …
Karena terlalu fokus menghajar dua pria bertubuh besar, Bastian tidak sadar ada sosok pria yang akan memukulnya dengan balok kayu besar. Tetapi sebelum semua itu terjadi, Kirana sudah berdiri tepat di belakang Bastian. Memeluk pria itu erat.
Bastian tidak sadar apa yang sedang dilakukan Kirana. Ia hanya bisa merasakan hangat tubuh gadis itu ketika memeluknya erat. Ia tidak tahu kalau Kirana telah menjadikan dirinya sebagai tameng untuk melindungi Bastian dari pukulan balok kayu. Bastian baru sadar ketika tubuh kurus Kirana tergeletak di lantai dan darah mengalir dari kepala belakang Kirana.
Bastian langsung memeluk tubuh Kirana. "Kiranaaaaaa!!!!!"
Melihat Kirana terjatuh ke lantai, ketiga orang itu kabur.
Dengan menahan sakit, Kirana menyentuh pipi Bastian dengan kedua tangannya.
"Syukurlah kamu baik-baik aja. Kamu gak terluka," katanya lirih. Lalu ia mulai menutup matanya.
"Tidak! Kirana bangun. Kamu gak boleh menutup matamu," Bastian meraung.
Ia mengguncang-guncang tubuh Kirana. Sayangnya Kirana tidak bergerak.
"Plis, plis jangan tinggalkan aku. Plis buka matamu. Kirana, buka matamu! Aku mohon. Aku mohon jangan tinggalkan aku," air mata meluncur bebas dari kedua mata Bastian.
Tubuh Bastian bergetar hebat. Ia tidak bisa mendengar apapun selain teriakan semua pengunjung yang kaget melihat tubuh Kirana terjatuh di lantai yang dingin dan bersimbah darah.
"Panggil ambulans. Ada gadis yang terluka," pengunjung berusaha memanggil ambulans.
….
Tak jauh dari tempat Bastian memeluk tubuh kurus Kirana, Victor terduduk lemah di lantai. Gadis yang dicintainya terluka. Berdarah. Dan semua itu karena perbuatannya.
Di saat itulah Victor hanya bisa menangis dalam diam.