webnovel

Sebuah Undangan

Alarm di kamar Kirana berbunyi. Sambil masih mengantuk Kirana mematikan alarm. Ia menggeliat di balik selimutnya. Sekarang jam sudah menunjukkan jam 7 pagi. Kirana tersenyum senang. Ini pertama kalinya dalam sebulan Kirana tidur senyenyak hari ini.

Sudah dua hari terakhir pasien di UGD sedikit dan pasien anak demam berdarah sudah banyak yang sembuh. Akhirnya Kirana bisa memanfaatkan waktu senggangnya dengan tidur. Dia juga jarang diomeli Vero semenjak bisa pulang ke apartemen setiap hari.

Kirana berjalan keluar kamarnya. Hidungnya mencium bau aneh dari dapur. Ia berjalan mendekati dapur dan menemukan Vero sedang menuang jus ke gelas.

"Eh udah bangun," kata Vero ceria sambil memindahkan dua gelas jus berwarna hijau ke meja makan.

"Kamu masak? Tumben banget?" tanya Kirana.

Vero menyalakan kompor. "Yup. Aku lagi nemu resep makanan rekomendasi pelatih gymku yang baru."

Mendengar kata "rekomendasi dari pelatih gym" Kirana sudah bisa membayangkan makanan seperti apa yang dimasak oleh sahabatnya ini. Tapi ia diam tidak ingin merusak kesenangan sahabatnya satu ini.

Vero memasukkan minyak zaitun ke dalam penggorengan. Lalu ia memanggang dua fillet ikan salmon dan tak lupa menaburi sedikit garam dan lada. Vero juga menumis brokoli dengan bawang putih. Tanpa garam.

"Nah makanan udah siap," Vero sangat bangga dengan makanan yang ia masak.

Kirana dan Vero duduk di meja makan.

Kirana memperhatikan makanan di depannya. Salmon dengan tumis brokoli dan jus berwarna hijau.

"Kenapa diliatin sih? Ayo coba di makan," kata Vero menunggu Kirana mencoba salmon buatannya.

Kirana pasrah. Dia menyendokkan salmon ke mulutnya. Vero yang memperhatikan Kirana dengan mata berbinar-binar bertanya, "Gimana? Enak?"

"Hambar," jawab Kirana jujur. Salmon Vero benar-benar hambar seperti tidak diberi garam. Seperti tidak di bumbui apapun.

"Masak sih?" Vero tidak percaya dan mencoba salmonnya. "Ini gak hambar, Kirana. Ini ada rasa asinnya kok."

Kirana hanya bisa geleng-geleng kepala. "Itu hambar, Ver. Sumpah."

"Ini gara-gara kamu gak terbiasa makan makanan sehat kayak aku. Makanya kurang-kurangi ayam gorengmu itu. Masak makanan enak gini di bilang hambar?" Vero memanyunkan bibirnya kesal.

Kirana lalu mencoba jus berwarna hijau. Bentuknya mirip smoothies yang biasa ia beli di mall.

"Uhuk uhuk uhuk," Kirana terbatuk-batuk ketika mencoba jus hijau Vero. "Demi Tuhan, apa ini?"

Kirana buru-buru mengambil air putih dan meneguknya.

"Itu namanya chicken breast smoothies," Vero memberi informasi dengan bangga.

"Chicken breast smoothies?"

Vero mengangguk. "Itu minuman sehat tau! Pelatih gymu yang ngasih resepnya. Katanya kalau ingin punya tubuh yang bagus harus minum chicken breast smoothies tiap pagi."

"Apa aja yang kamu masukin ke smoothies ini?" Kirana curiga karena smootiesnya bernama aneh.

"Dada ayam, brokoli, seledri, pisang, madu dan anggur. Kenapa? Enak gak?" Vero menunggu pendapat Kirana.

Benar dugaan Kirana. Bahan-bahan yang digunakan Vero tidak lazim.

"Sumpah, Ver, rasanya bener-bener menjijikan. Jus sayur rasa ayam. Itu yang aku rasain barusan," Kirana memasang ekspresi jijik ke jus hijaunya.

Vero berkacak pinggang. "Itu sehat tau! Kamu tuh kebanyakan minum minuman manis gak sehat. Coba deh minum smoothies kayak gini. Badan kamu bisa langsing, seksi dan bikin cowok-cowok nempel."

"Ogah," balas Kirana. "Kalau demi supaya cowok-cowok nempel aku harus makan beginian tiap hari, mending jomblo aja seumur hidup."

Sebelum Vero mulai mengomel lagi, Kirana sudah berlari ke kamar mandi. Ia tidak sanggup mendengar omelan atau nasihat Vero soal kesehatan dan tubuh yang seksi.

…..

Kirana sedang mengunyah sandwich di UGD. Ia lega akhirnya bisa makan makanan normal. Kalau ia tidak segera berangkat ke rumah sakit mungkin dia harus berakhir makan salmon dan smoothies menjijikan milik Vero.

Dalam hati Kirana kesal dengan sahabatnya itu. Gara-gara gadis sialan itu ia sangat kelaparan. Kirana sangat lapar sampai ia makan tiga sandwich dan susu pisang ukuran besar.

Kirana masih menjaga UGD. Belum ada pasien yang datang untuk berobat. Tak lama kemudian ada yang mengetuk pintu UGD.

"Silahkan masuk," kata Kirana.

Pintu terbuka. Lalu muncul sosok yang sangat familiar. Adi, asisten Bastian.

"Halo, Dokter Kirana," sapa Adi sumringah. Adi berjalan ke meja Kirana dan menjabat tangan gadis itu.

"Wah tumben sekali, Pak Adi ke sini," kata Kirana heran.

Adi tersenyum lebar. "Jangan panggil pak, Dok. Panggil aja Adi. Umur kita gak jauh beda kok."

Kirana mengangguk. "Oh begitu ya. Adi, ke sini ada perlu apa ya? Apa mau minta resep obat untuk kakek?"

Hari ini Adi berpakaian cerah. Dia mengenakan kemeja berwarna oren, celana panjang coklat dan memakai dasi merah. Penampilan Adi yang mencolok terang mengingatkan Kirana pada Vero yang hobi pakai baju-baju berwarna mencolok.

Kirana mempersilahkan Adi duduk.

"Bukan kok, Dok. Sebelumnya saya mau minta maaf kalau datang ke sini gak ngabarin Dokter Kirana dulu," kata Adi sopan. "Saya ke sini karena mau ngasih undangan untuk Dokter Kirana."

Undangan? Deg, undangan macam apa yang mau diberikan asisten Bastian? Apa Bastian akan menikah? Bertunangan? Atau apa. Pikirannya sudah kemana-mana. Bagaimana kalau itu benar-benar undangan pernikahan dari Bastian?

Membayangkan Bastian mengenakan jas hitam dan berjalan di altar bersama seorang gadis kaya cantik membuat Kirana menggigit bibirnya. Pasti mereka akan serasi.

"Undangan apa ya?"

Adi mengeluarkan sebuah amplop. "Tuan Bastian mengundang Dokter Kirana ke acara pembukaan pameran lukisan perusahaan."

Kirana mengerjapkan mata. "Pameran lukisan?"

Adi mengangguk. "Jadi begini, Dok. Tuan mau bikin pameran lukisan. Lalu uang hasil penjualan lukisannya lima puluh persen bakal disumbangkan untuk membiayai anak-anak penderita kanker di Rumah Sakit Amerta."

Mendengar penjelasan Adi, Kirana girang bukan main. Hal pertama yang membuatnya girang adalah undangan itu bukan undangan pernikahan Bastian. Ia sangat lega entah kenapa.

Kedua ia senang karena anak-anak penderita kanker akan mendapat bantuan biaya berobat. Sebagai dokter harus ia akui kalau biaya pengobatan kanker sama sekali tidak murah.

Kirana masih ingat ada pasien anak berusia lima tahun kena leukimia. Sewaktu diperiksa masih kondisinya masih di stadium I. Dokter spesialis kanker sudah menyarankan untuk mulai kemoterapi tapi keluarga pasien anak itu mengaku keberatan dengan biaya. Ayah si pasien hanya seorang buruh bangunan. Tidak mampu membiayai pengobatan anaknya. Plus mereka tidak memiliki BPJS.

Sewaktu mendengar itu, Kirana menitikkan air mata. Ia benar-benar sedih mendengar cerita itu. Kirana sampai memohon ke manajer rumah sakit untuk membantu pasien anak itu mendapat perawatan selagi mengurus BPJS.

Pak Tanjung, manajer rumah sakit setuju dengan imbalan Kirana menambah shift jaga di bangsal anak-anak. Kirana menyanggupi syarat dari manajer rumah sakitnya yang menyebalkan itu.

Suatu hari aku akan membalas si botak satu itu, batinnya.

"Wah, aku senang banget. Aku gak menyangka Bastian bisa peduli pada anak-anak penderita kanker," kata Kirana penuh ucapan syukur.

Kirana merasa pendapatnya tentang Bastian itu benar. Pria itu memang kaya dan terkenal. Namun ia punya hati. Ia peduli dengan kesulitan orang lain. Kalau tidak untuk apa repot-repot membuat pameran amal untuk disumbangkan pada anak-anak penderita kanker bukan?

Bastian tidak seperti pria kaya yang sering dijumpai Kirana di kehidupan nyata. Sombong, tidak punya hati dan sok berkuasa.

Adi balas tersenyum.

"Dok, bukannya mau muji-muji ya. Meskipun Tuan Bastian kelihatan pendiam, dingin dan serius tapi dia itu hatinya hangat banget. Peduli banget sama anak-anak. Apalagi sewaktu tuan tahu kalau Dokter Kirana yang mengurus anak-anak kanker."

Akhirnya Adi punya kesempatan membangga-banggakan tuannya di depan Kirana. Adi sudah menunggu momen ini. Dia sampai menghafal kalimat ini sejak di mobil tadi. Dalam hati Adi yakin Kirana akan tertarik dengan tuannya.

Chương tiếp theo