Kirana berjalan cepat dan tergesa-gesa. Ia mendengar dari perawat lantai 2 kalau Bastian akan meninggalkan rumah sakit pagi ini. Kondisinya sudah pulih sehingga diperbolehkan pulang oleh Yudhistira.
Entah kenapa ada dorongan yang kuat dari otaknya untuk menemui Bastian sebelum ia pergi. Kirana merasa khawatir kalau ini akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan pria itu.
Kirana membuka pintu ruang pemulihan. Di depannya Bastian sedang berdiri gagah. Kirana baru saja menyadari kalau tinggi Bastian sekitar 185 cm. Penampilannya juga jauh berbeda dari satu minggu terbaring di ranjang rumah sakit. Bastian sedang mengenakan kemeja hitam yang kedua lengannya dilipat sehingga memperlihatkan bisepnya, celana panjang coklat susu dan rambutnya sudah disisir rapi ke belakang.
"Halo, Dokter Kirana," sapa Bastian pada gadis mungil di depannya.
"Halo, Bastian," sahutnya. "Aku dengar Anda akan pulang pagi ini."
Bastian tersenyum. "Ya begitulah. Kondisiku udah pulih seperti yang Dokter Kirana lihat."
"Oh, syukurlah. Aku harap Anda gak kembali kecelakaan mobil lagi." Kirana berusaha membuat guyonan sayangnya itu tidak lucu.
"Dan sepertinya ini bakal jadi pertemuan terakhir kita," kata Bastian tersenyum lemah.
Kirana hanya menggangguk. "Sepertinya begitu. Aku pamit dulu ya. Semoga sukses di luar sana, Bastian."
Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Kirana tidak ingin hari ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Bastian. Ia merasa ada suatu ikatan aneh yang tidak bisa dijelaskan. Ikatan antara dirinya dan Bastian. Bukan, itu bukan cinta tentunya.
Kirana hendak berbalik keluar ruangan ketika Bastian menghentikannya.
"Tunggu," kata Bastian.
Pria itu berjalan mendekat ke arah Kirana. Jantung Kirana berdegup kencang tiba-tiba. Tanpa ia sadari kakinya melangkah mundur.
Kirana hanya bisa mendongak menatap Bastian yang tinggi menjulang di hadapannya. Ia tidak bisa mengeluarkan suara. Dari jarak sedekat ini Kirana bahkan bisa mencium campuran aroma tubuh dan parfum mint Bastian. Kalau boleh jujur, aroma Bastian sungguh memikat dan membuat jantung Kirana semakin deg-degan.
Bastian memegang tangan kanan Kirana. Kirana bisa merasakan hangatnya telapak tangan Bastian. Apa yang pria ini mau lakukan, batinnya bingung.
Tangan Bastian lainnya merogoh saku dan mengeluarkan kertas berwarna emas mengkilap. Bastian memberikan kertas itu ke tangan Kirana yang sedang ia genggam.
Kirana mengerjap. Matanya terfokus pada lima lembar kertas seukuran tiket bioskop berwarna emas mengkilap.
"Apa ini?" tanyanya bingung.
Bastian tertawa kecil. "Kupon."
Kirana mendongak memandang Bastian heran. "Buat apa kupon-kupon ini?"
"Dokter Kirana udah menyelamatkan nyawaku tempo hari. Sejujurnya aku gak tahu gimana membalas semua kebaikan itu. Jadi aku pikir harus memberi sesuatu sebelum kita berpisah. Aku juga kalo tahu kupon-kupon ini gak ada apa-apanya dibandingkan pertolongan, Dokter," kata Bastian.
Kirana masih tidak memahami perkataan Bastian.
"Kupon-kupon ini bisa Dokter Kirana tukar dengan apapun yang dibutuhkan. Dokter bisa tukar kupon ini dengan uang, rumah, mobil bahkan saham di perusahaan saya. Karena jumlahnya ada 5 jadi Dokter Kirana bisa menukarnya dengan 5 hal tadi," jelas Bastian.
Buru-buru Kirana menolak. "Maaf, Bastian. Aku gak bisa menerima benda seperti ini. Aku menyelamatkan kamu karena itu kewajiban seorang dokter. Gak lebih dan gak kurang."
"Enggak, Dokter harus menerimanya," kata Bastian meyakinkan Kirana. "Dokter, akan butuh ini suatu hari nanti. Dan ketika Dokter Kirana butuh sesuatu dariku jangan sungkan buat langsung menghubungi ponsel pribadiku."
Bastian mengambil kertas dan menuliskan nomor ponsel pribadinya. Lalu ia menyerahkannya ke Kirana.
"Ini terlalu berlebihan. Aku merasa gak pantas," Kirana tersipu malu.
Bastian tersenyum lebar. "Dokter pantas kok. Pantas karena udah menjadi cahaya yang menerangiku selama ini."
….
Setelah kejadian itu, Kirana memikirkan perkataan terakhir Bastian. "Dokter pantas kok. Pantas karena udah menjadi cahaya yang menerangiku selama ini." Apa maksud dari perkataan itu coba? Sejak kapan ia menjadi sebuah cahaya? Namanya 'Kirana' memang berarti cahaya tapi apa hubungannya dengan menerangi Bastian?
Karena frustasi, Kirana berguling-guling di ranjangnya. Hari ini ia libur menjaga UGD dan ditambah Vero hari ini akan pulang. Vero bilang acara peragaan busana Anne Avantie di tunda karena ada salah satu model ada yang kena virus COVID 19.
Ting Ting!
Suara bel apartemen berbunyi. Kirana bangun dan berjalan ke pintu. Dalam hati ia bertanya-tanya tumben sekali Vero tidak membawa kunci apartemen sendiri.
Kirana membuka pintu. Betapa terkejutnya ia melihat siapa orang di balik pintu. Bukan Vero melainkan Miranda!
"Lama gak jumpa, Kirana," sapanya dingin.
"Mau apa kamu di sini?" tanya Kirana dengan wajah tidak suka.
Wanita di depannya ini adalah adik tirinya. Miranda berusia 25 tahun. Persis setahun lebih muda dari Kirana.
Miranda menyibakkan rambutnya. "Ayah mengundangmu ke makan malam ulang tahun ke 57nya. Karena kamu gak pernah mau mengangkat telpon, Ayah nyuruh aku ke sini. Bener-bener ngerepotin."
"Bilang sama ayah kalau aku gak bisa datang. Aku sibuk jaga UGD," jawab Kirana sambil hendak menutup pintu.
Miranda memandang kesal ke arah Kirana. "Hanya karena aku di sini buat ngasik tahu undangan ayah bukan berarti aku mau jadi perantara pesan di antara kalian. Sampaikan aja sendiri ke ayah!"
Kirana selalu menolak ajakan ayahnya untuk makan malam merayakan ulang tahun selama ini. Semenjak menjadi dokter, ia menggunakan alasan menjaga UGD untuk tidak hadir. Ia bahkan sangat tidak berharap Miranda ataupun ayah menemuinya. Ia tidak ingin bertemu ayah kandungnya sekalipun mereka sudah tidak bertemu selama 8 tahun terakhir.
Bertemu ayahnya sama saja menggores-gores hatinya. Ia tidak sanggup makan satu meja dengan ayah, ibu tiri dan adik tirinya ini. Apalagi setelah ayahnya memilih menikahi wanita yang sudah menghancurkan rumah tangga ayah dan ibu kandungnya.
Kirana ingat betul saat ibunya membawa dirinya dan Keenan keluar rumah. Tepatnya kejadian itu terjadi setelah keputusan perceraian mereka. Ia masih berusia 10 tahun dan Keenan berusia 5 tahun. Mereka angkat kaki dari rumah yang begitu memberi banyak kenangan manis dan kehangatan keluarga. Kalau mengingat kejadian itu Kirana bisa meneteskan air mata.
"Aku heran kenapa sih ayah selalu mengundangmu makan malam di perayaan ulang tahunnya?!" Miranda memandang jijik ke Kirana. "Membuat suasana jadi gak nyaman aja kalau kamu datang. Tapi syukurlah gadis sepertimu tahu diri. Seenggaknya kamu gak seperti ibumu yang memalukan itu."
"Tutup mulutmu!" kali ini Kirana benar-benar marah. "Mulut kotormu gak pantas menghina ibuku seperti itu. Seenggaknya ibuku terhormat. Dia gak pernah merusak rumah tangga orang lain!"
Miranda hilang kesabaran. Ia berniat menampar Kirana. Tapi sebelum itu terjadi ada sebuah tangan yang menghentikan tangan Miranda. Vero.
"Hei, Perempuan Jalang! Singkirkan tangan kotormu dari sahabatku!" Vero menghempaskan tangan Miranda. Gadis itu sedikit terhuyung.
Kirana tidak menyangka Vero datang disaat yang tepat.
"Astaga kamu rupanya masih tinggal sama model murahan ini? Ckckck," Miranda ganti menghina Vero.
"Siapa yang kamu sebut model murahan hah?! Aku?" mata Vero melotot.
"Kamu emang mu-ra-han," ada penekanan disetiap kata.
Vero menghela napas kesal. "Seenggaknya aku bukan artis yang menggantungkan uang dari ayah yang kaya. Seenggaknya aku bukan artis yang jauh-jauh ke Amerika Serikat cuman untuk main peran kecil yang gak penting. Seenggaknya aku bukan artis yang kerjanya cari pria kaya untuk dinikahi!!"
Kirana melihat awan perkelahian melingkupi dua orang di depannya. Mata Vero dan Miranda sejajar. Mereka saling pandang tajam ke satu sama lain.
Kirana akui bahwa dirinya dan Miranda jauh berbeda. Miranda terlahir dengan tubuh setinggi 170 cm, rambut hitam panjang dan kaki yang jenjang. Tidak seperti dirinya yang hanya setinggi 160 cm, berambut ikal sebahu dan tidak memiliki bentuk tubuh seksi.
"Udah cukup! Jangan bertengkar. Suara kalian bisa membangunkan semua tetangga," Kirana melerai sahabat dan adik tirinya ini. "Miranda, sebaiknya kamu segera pergi dari sini."
"Siapa juga yang mau berlama-lama di tempat menjijikan kayak ini?!" katanya ketus.
"Hei, Bitch! Apartemenku juga gak sudi menerima kehadiran artis murahan di sini. Lagipula uang pribadimu gak akan mampu membeli apartemen seperti ini. Kamu gak akan sanggup kalau gak merengek minta uang ayahmu." Vero selalu punya kalimat pamungkas untuk bertengkar dengan orang lain.
Dengan hati dongkol, Miranda pergi meninggalkan apartemen Kirana. Sebelum pergi ia mengancam, "awas saja kamu, Kirana! Akan kulaporkan pada ayah semua kejadian hari ini."
Vero masuk ke dalam apartemen dengan kesal.
"Bisa-bisanya si jalang itu bilang ibumu memalukan dan gak tahu diri!" Vero membanting kopernya ke lantai. "Dia sama sekali gak berkaca kalau ibunya lah yang memalukan. Wanita jalang emang selalu menghasilkan keturunan jalang! Lihat sikap Miranda, persis ibunya itu."
"Udahlah, Vero. Jangan marah-marah terus."
Vero berkacak pinggang. "Gimana gak marah? Setiap ketemu dengannya dia selalu menghinamu dan menghinaku. Dia sombong banget, Kirana. Seolah dia itu ratu. Padahal dia gak bisa hidup kalau gak di dukung uang oleh ayahmu!"