Angin silir berganti menerpa wajah gadis berusia 16 tahun yang duduk termenung. Gadis itu bernama Kirana. Ia memandang ke sekeliling dan melihat dirinya sedang berada atap terbuka rumah susun berlantai 5 di daerah pinggiran Jakarta. Bisingnya suara motor dan bunyi bel mobil terdengar hingga di lantai atas.
Kirana ingat betul dirinya dan Keenan kerap bermain di atap terbuka rumah susun sambil menunggu sang ibu pulang bekerja. Biasanya sang ibu pulang kerja setiap pukul 5 sore. Entah mengapa suasana ini sangat ia rindukan. Dari umur 10 tahun ia sudah hidup di rumah susun sederhana ini bersama ibu dan adik laki-lakinya, Keenan.
Dalam ingatannya, ibu adalah wanita paling tegar di dunia ini. Kirana selalu bangga akan ketabahan ibunya menghadapi setiap masalah. Entah berapa banyak masalah yang selama ini ibunya hadapi.
Ditambah sang ibu adalah satu-satunya orang yang percaya pada mimpi-mimpi Kirana. Ibunya percaya Kirana akan menjadi dokter yang hebat suatu hari nanti.
Kirana tersenyum. Ia ingat betul sang ibu amat menyukai warna putih. Ibunya kerap memakai setelan gaun putih sederhana di rumah. Rambut ibunya juga indah. Ibu selalu mengikat rambutnya menjadi sebuah sanggul kecil yang dihiasi jepit bunga mawar.
Lalu pandangan Kirana tertuju pada sebuah sosok berbaju putih dengan rambut disanggul yang tengah berdiri di pinggir atap terbuka. Tunggu… bukankah sosok itu adalah ibunya?
Kirana berjalan mendekat memastikan apakah sosok itu adalah ibunya. Dan… ternyata itu betul. Itu ibunya yang tercinta. Tapi kenapa wajahnya bercucuran air mata?
"Ibu," panggil Kirana.
Ibunya menoleh dengan wajah sembab. "Maafkan ibu ya, Anakku."
Otak Kirana berusaha memproses perkataan sang ibu. "Kenapa minta maaf…"
Ibunya menangis. "Maaf kalau ibu tidak bisa terus menemanimu dan Keenan. Jaga adikmu ya, Kirana"
Tunggu sebentar. Ibunya sedang berdiri di pinggir atap terbuka. Di tempat yang berbahaya sambil menatap tanah dengan wajah sendu. Apakah ibu akan meloncat bunuh diri?
"Ibu, ibu jangan loncat. Plis, Bu. Kami sangat membutuhkan ibu. Aku dan Keenan…" sebelum Kirana menyelesaikan kata-katanya, sang ibu sudah melompat terjun dari lantai paling atas rumah susun.
Kirana menjerit. Sedetik kemudian ia melihat tubuh ibunya sudah tergeletak di tanah. Gaun putihnya sudah berlumuran darah. Semua penghuni rumah susun turun sambil berteriak "cepat panggil ambulan. Ada orang bunuh diri."
Lalu pandangan Kirana menjadi gelap. Tubuhnya lemas seolah melayang di udara.
....
Kirana terbangun dari tidurnya. Napasnya tersenggal-senggal dan keringat dingin meluncur dari dahinya.
"Apa Anda baik-baik saja, Dok?" seorang perawat memegangi bahu Kirana dengan cemas. Perawat membantunya bangun dari sofa keras yang dipenuhi kertas-kertas catatan medis.
Mata Kirana menelusuri sekitar. Bau obat-obatan menyeruak ke hidungnya. Masker, perban dan stetoskop tergeletak tak karuan di meja dekat sofa. Syukurlah. Semua kejadian tadi hanya sebuah mimpi buruk. Ia sekarang tidak lagi berada di atap terbuka rumah susunnya. Kirana sedang berada di ruang istirahat tenaga medis Rumah Sakit Amerta.
"Gapapa kok, Sus. Saya hanya mimpi buruk aja," katanya sambil meneguk segelas air putih. Jantungnya masih berdetak kencang.
Ada raut kelegaan di wajah perawat yang menemani shift jaga Kirana malam ini. Kekhawatirannya bukan tanpa alasan. Kirana terus menginggau dan berteriak "ibu" dalam tidurnya.
Ketika Kirana masih berusaha mengumpulkan kesadarannya, telpon di ruang istirahat tenaga medis berdering kencang. Perawat itu mengangkatnya.
"Dok, gawat! Gawat! UGD bilang baru aja kedatangan pasien korban kecelakaan mobil. Katanya si pasien sedang kritis," kata perawat.
Tanpa menunggu instruksi lebih lanjut Kirana langsung menyambar stetoskopnya dan berlari ke Unit Gawat Darurat (UGD). Kejadian tak terduga seperti ini selalu ia jumpai seminggu sekali.
Setiap minggu ada saja pasien dari korban tabrak lari bus, korban begal sepeda motor, korban pembacokan dan lain-lain. Sepertinya tingkat kejahatan semakin tinggi akhir-akhir ini. Yang membuat dirinya tak habis pikir kenapa kasus-kasus pasien mengerikan seperti ini selalu muncul di tengah malam!
Kirana butuh tidur setidaknya 2 jam setiap malam tanpa gangguan. Tapi itu tidak bisa terwujud satu bulan terakhir ini. Ada saja kasus-kasus gawat yang butuh penanganan cepat. Ya, inilah adalah secuil kisah duka menjadi seorang dokter.
Kaki Kirana berbelok ke sebuah ruang kaca putih yang sudah dipenuhi 3 perawat yang sibuk membersihkan darah dari kepala pasien kecelakaan mobil. Semua perawat sedang panik karena detak jantung pasien melemah.
"Dok, cederanya parah banget. Pasien ini kehilangan banyak darah dan butuh operasi," kata salah seorang perawat bertubuh kecil.
"Oke. Aku paham. Sus, tolong hubungi bank darah tanya apakah mereka punya beberapa kantong darah yang cocok sama pasien ini," Kirana memberi instruksi.
Kemudian, Kirana dan kedua perawat lainnya mendorong ranjang pasien tersebut ke ruang operasi yang terletak di lantai 2. Ketika berada di dalam lift, Kirana samar-samar melihat si pasien membuka matanya sebentar. Tapi Kirana terlalu cemas sehingga tidak memperhatikan si pasien.
Begitu keluar dari lift, perawat bertubuh kecil yang tadi disuruh mengecek kantong darah berlari ke arahnya. "Dok, pasien ini golongan darahnya AB negatif. Tapi bank darah mereka kehabisan golongan darah AB negatif."
Ini dia salah satu dukanya menjadi seorang dokter. Saat pasien yang kamu tangani ada diambang hidup dan mati, ada saja kendala yang terjadi. Disisi lain Kirana cukup memaklumi keterbatasan golongan darah AB negatif karena golongan darah ini memang langka. Cukup sulit menemukan pendonor yang memiliki golongan darah ini.
"Golongan darahku AB negatif, Sus," kata Kirana. "Biar aku aja mendonorkan darah ke pasien ini."
Sambil menunggu para perawat menyiapkan peralatan untuk donor darah, Kirana berdiri di samping ranjang pasien kecelakaan itu. Ia mengamati wajahnya dengan seksama.
Pasien kecelakaan mobil ini cukup tampan. Meskipun wajahnya pucat karena kekurangan darah, Kirana dapat melihat tulang wajah yang tersusun tegas, hidung mancung, bibir mungil, alis yang tebal dan bulu mata yang panjang. Potongan rambutnya rapi mengikuti tren tahun ini. Kirana yakin pasien ini akan sangat tampan bak model jika sembuh nantinya.
Tanpa sadar, Kirana mengulurkan tangannya. Ia mengelus dahi si pasien tampan perlahan. "Kamu akan baik-baik saja. Aku janji."
Setelah puas mengamati, Kirana langsung keluar ruang operasi dan mulai mendonorkan darahnya. "Sus, tolong hubungi Dokter Yudhistira ya. Minta dia yang mengoperasi pasien itu selagi aku mendonorkan darah."
Tak beberapa lama kemudian, orang yang bernama Dokter Yudhistira datang. Ia sudah lengkap mengenakan pakaian steril untuk operasi, penutup kepala dan masker wajah.
"Hei, Kir. Tumben sekali minta aku menggantikanmu operasi," katanya basa-basi.
Kirana menunjuk jarum donor darah besar yang sedang terpasang di lengannya. "Sekali-kali kakak kelas harus membantu adik kelasnya mengoperasi pasien kan?"
Yudhistira tertawa. "Oke, Adik Kelas. Kakak kelasmu ini akan membantu. Kamu istirahat aja ya di sini," katanya menepuk bahu Kirana lalu bergegas menuju ruang operasi.
Kirana menutup matanya. Entah kenapa ia berharap pria itu — maksudnya pasien itu selamat dari operasi. Ia merasa perasaan aneh ketika memandangi wajah pucat pasien tampan itu. Aneh? Memang. Kirana juga tidak tahu persis perasaan apa yang ia rasakan saat ini. Yang jelas dia harus sembuh. Ya, si pasien tampan itu harus sembuh, batin Kirana.
NOTE:
Yuk sharing dan diskusi bareng https://discord.gg/rhVETsZyhZ
Terima kasih sudah mampir di chapter pertama. Jangan lupa vote, kasih bintang dan review novel ini :)