Gelapnya malam digantikan dengan terik sinar matahari yang menembus tirai kamar Athanasia. Ia terbangun dari tidurnya dan melihat bahwa Beti sedang mempersiapkan pakaian yang hendak akan ia kenakan.
"Nona sudah bangun?" Ujar Beti yang menyadari bahwa tuannya telah bangun dari tidurnya dengan sapaan yang hangat.
"Haruskah kita berkeliling?" Tanya Athanasia kepada Beti yang melihatnya dengan senyuman.
Mendengar pertanyaan Athanasia, Beti terlihat antusias. "Kalo begitu saya akan menyiapkan air mandi nona terlebih dahulu." Ujarnya segera bergegas ke tempat permandian khusus.
Athanasia tersenyum melihat tingkah Beti yang selalu antusias menjalani hari-hari bersamanya.
**
Setelah bersiap, Athanasia dan Beti berjalan-jalan di sekitaran kota Dadu. Pasar yang sangat ramai dengan banyaknya pedagang-pedagang yang sedang melakukan transaksi.
"Oh ya, di mana Emely? Aku tidak melihatnya dari tadi." Kata Athanasia kepada Beti, sambil melihat-lihat keramaian kota.
"Ah, dia dan Dinand pergi ke pantai. Mereka akan mencari tahu keberangkatan kapal selanjutnya untuk pergi ke kota Sameru." Ujar Beti santai.
Langkah kaki Athanasia terhenti saat melihat kerumunan yang gaduh yang ada di depan mereka.
"Ada apa nona?" Tanya Beti yang tidak menyadari kegaduhan yang terjadi.
"Ayo kita melihat ke sana." Kata Athanasia menunjuk ke arah kegaduhan.
Beti menjadi panik ketika melihat kegaduhan yang terjadi di depan mereka, "Nona tidak boleh ke sana. Kita kembali saja!" Ujar Beti yang takut akan terjadi sesuatu kepada Athanasia jika dia akan ikut campur.
Tidak mendengarkan saran Beti, Athanasia melangkah ke arah kegaduhan yang terjadi kurang lebih 300 meter dari tempat mereka berdiri sebelumnya.
"Nona...." Beti memanggil Athanasia yang sama sekali tidak menghiraukan perkataannya. Maka dengan terpaksa Beti berlari mengikuti Athanasia yang keras kepala.
Ditengah-tengah kegaduhan Athanasia menyelinap masuk. Ia memicingkan matanya tajam dan berlari ke arah pak tua yang hendak memukuli seorang anak kecil, yang telah penuh dengan memar di seluruh tubuhnya.
Melihat tubuh memar anak itu, Athanasia kembali teringat akan sikap Duchess yang selalu mengganggunya.
Athanasia lalu mengepalkan tinjunya dan bersiap untuk membela anak kecil yang sedang terkapar lemah di atas tanah.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Athanasia, menghentikan pak tua itu memukuli anak laki-laki yang terlihat berusia sekitaran 7 tahun.
Anak laki-laki itu tergeletak di tanah, ia menundukkan kepalanya dan tak berdaya untuk bangkit berdiri.
Kerumunan orang-orang di sekeliling mereka mulai berbisik-bisik.
"Siapa wanita itu! Dia berani sekali mencapuri urusan tuan dan budak yang sedang dihukum..."
"Bukankah dia terlalu berani?"
Ujar orang-orang disekitar...
Mendengar bisikan-bisikan dari orang-orang, Athanasia tetap teguh ingin menghadang pak tua itu, agar dia tidak melanjutkan aktivitasnya untuk memukuli anak kecil yang bahkan sudah tak berdaya menerima pukulan.
"Dasar wanita kurang ajar... Siapa yang berani-beraninya menentang ku!" Pak tua tersebut mendorong Athanasia hingga jatuh ke tanah...
"Ah, Putri..." Teriak Beti tanpa sadar memanggilnya dengan sebutan kehormatan dari pelayan untuk tuannya.
Mendengar Beti yang memanggilnya dengan sebutan Putri, orang-orang kembali berbisik-bisik...
"Kalian dengar? ia dipanggil putri oleh gadis itu!"
"Apakah dia anak dari bangsawan Baron?"
Kata mereka penasaran dengan sosok Athanasia yang baru mereka lihat di sekitar kota.
Athanasia melirik Beti tajam. Ia memainkan matanya agar Beti bersikap sebagai saudara saat di keramaian. Menyadari kode yang diberikan Athanasia, ia kemudian berdiri tegak dan meniki pinggangnya, sambil berkata lagi: "Siapa yang berani menyakiti adikku sampai seperti ini?" Ujarnya dengan berani.
"Aku... memangnya kau siapa?" Pak tua membalas dengan wajah yang seram nan menantang.
Bulu kuduk Beti terangkat. Rasa takut tiba-tiba menghampirinya hanya dengan melihat tatapan pria tua tersebut. Tapi, ia bertekad dan memberanikan dirinya untuk berkata lagi: "Minta maaflah!" Katanya dengan sorot mata yang tajam.
"Hahahaha" Pria tua tertawa terbahak-bahak...
"Lihat kedua kakak beradik yang masih kecil ini...! Berani-beraninya kalian mengacau di daerah kekuasaan ku!" Suasana semakin panas.
Orang-orang yang melihat, merasa kasihan dengan nasib kedua gadis yang nampak tak mengerti sistem kasta.
"Kasihan mereka..."
"Siapa juga yang menyuruh mereka ikut campur!"
"Iya, seharusnya mereka melihat saja..."
Ujar warga yang menyaksikan kegaduhan yang sedang terjadi, ketika pak tua itu mulai memanas....
Pak tua itu berjalan mendekati Beti. Di samping kiri pinggangnya ada sebuah belati. Diambilnya lah belati itu, dan dimain-mainkan nya di depan Beti untuk menggertaknya.
"Apa yang mau kau lakukan pak tua?" Tanya Beti yang mulai gemetaran.
"Hiyaaa..." Pria tua berlari dan hendak akan menodong Beti dengan belati yang ada di tangannya.
Beti menutup matanya dan bersiap menghadapi amukan dari pak tua tersebut. Namun Athanasia yang melihat hal tersebut, berlari ke arah Beti untuk melindunginya.
Crakkk....
Darah terpancar di wajah pak tua dan mengenai tanah...
Orang-orang pun mulai histeris berteriak...
Ketika Athanasia membuka matanya, ia bergeming. Mata Athanasia melebar saat melihat Dinand yang berdiri di hadapan Athanasia, menerima hantaman keras pada punggung belakang tangannya, yang menyebabkan darah terpancar di sekitar mereka.
Pria paru baya itu tertegun gemetar. Ia mundur selangkah demi selangkah dan matanya membelalak melihat pria yang telah ia lukai menggunakan belatinya tersebut.
Emely dengan sigap menundukkan pria tua yang gelagatnya seperti bangsawan rendahan, yang dengan berani mau melukai tuannya.
"Pu..." Ujar pria tua dengan ketakutan mendalam. Namun ketika ia melihat mata Dinand, ia tahu bahwa ia tidak boleh menyebutkan gelar Dinand di depan umum. Kemudian ia tertegun diam kembali dan menunduk.
"Nasia, apa yang harus kita lakukan dengan pria ini?" Tanya Emely.
"Lepaskan saja. Tapi buat dia minta maaf ke anak kecil itu dan melepaskan anak kecil tersebut dari perbudakan! Jika kau melakukannya, aku tidak akan mempermasalahkan hal ini lagi..." Kata Athanasia dengan penuh karisma.
Mendengar hal itu, pria paruh baya tersebut melihat ke arah Dinand ragu-ragu. Namun Dinand menatapnya dengan tajam dan memberikan ia isyarat untuk menyetujui permintaan Athanasia.
"Baiklah nona. Saya akan melakukan semua yang nona perintahkan!" Ujar pria tua tersebut yang langsung ciut dihadapan Athanasia.
Ia lalu merangkak ke arah anak kecil yang telah ditindasnya, sambil menggenggam tangan anak tersebut dengan gemetar. "Tolong maafkan saya!" Pria itu memelas seperti orang yang tak bisa tertolong tanpa kata maaf dari anak laki-laki tersebut.
Layaknya anak yang masih kecil, ia tampak sangat ketakutan. Ia kemudian berbicara dengan ragu-ragu, "Iya tuan..." Jawab anak itu singkat.
Pak tua kemudian dengan ketidak ikhlasannya pun mulai berkata kembali, "Mulai hari ini kau bebas!"
Anak kecil itu bukannya senang tapi menjadi sangat murung. Melihat hal tersebut Athanasia menjadi sangat bingung dan bertanya, "Mengapa kau terlihat sedih! Bukankah kau seharusnya menjadi senang karena terlepas dari perbudakan?" Ujar Athanasia.
Anak laki-laki itu berkata dengan terbata-bata. Iya berdiri dan menundukkan kepalanya untuk berbicara dengan Athanasia.
"Terimakasih atas kebaikan nona, tapi jika saya benar-benar bisa terlepas dari perbudakan, bagaimana saya bisa dapatkan sesuap nasi? Warga tidak ingin memperkerjakan orang-orang yang dulunya adalah budak seperti saya. Jadi lebih baik saya tetap menjadi budak dari Count Manel!"
Pernyataan anak laki-laki tersebut membuat pak tua tersenyum jahat.
'Iya ternyata budak yang setia... hehehehe... aku tidak rugi memberi makan dia selama ini...' Pikirnya.
Athanasia kaget! Iya tidak berpikir akan kelangsungan hidup budak tersebut, jika ia berhenti menjadi budak pria tua itu (Count Manel).
Athanasia kemudian berjongkok setinggi badan anak laki-laki tersebut dan berkata, "Bagaimana jika kau ikut denganku?" Tanya Athanasia dengan senyuman hangat.
Count Manel yang tadinya senyam-senyum jahat, kemudian kembali memperlihatkan wajahnya yang tegang. Lengkungan yang membentuk senyuman di bibirnya kembali menjadi datar dengan cepat.
Tidak... tiga harus tetap menjadi budak ku! Pikirnya sambil menggigit jarinya.
Anak laki-laki itu memandang Athanasia dengan terkejut! Matanya berbinar-binar melihat Athanasia yang dermawan. "Bolehkah demikian nona?" Tanyanya tak percaya.
"Tentu saja" Jawab Athanasia tenang.
"Bagaimana jika kita pergi sekarang?" Sambungnya lagi berbicara, sambil membawa tangannya menjemput tangan anak laki-laki tersebut.
Anak laki-laki itu kemudian mengikuti perkataan Athanasia tanpa mengkomplain lagi. Iya sangat senang jika Athanasia mau menampungnya.
"Tunggu nona, bisakah saya mengucapkan janji setia saya terhadap anda?" Ujar anak itu.
Athanasia memandanginya dengan hangat. "Kau tak perlu melakukannya!" Ujar Athanasia sambil melangkah keluar dari kerumunan.
Anak laki-laki itu dan Beti mengikuti Athanasia dengan berjalan berdampingan dengannya. Lalu Emely mengikutinya dari belakang.
"Dinand, apa kau tidak ikut?" Tanya Emely yang melihat Dinand masih berada di depan pria tua itu, sambil berbicara hal yang tidak dapat mereka dengar.
"Aku ke sana sekarang..." Kata Dinand sambil berlari menuju ke arah Athanasia dan kawan-kawan.
Count Manel yang adalah penguasa kota Dadu merasa terhina. Namun dia tidak bisa melakukan apapun, karena Dinand ada di sana. Andai kata dia tak ada di sana, para gadis-gadis itu pasti sudah jadi wanita yang akan menghibur dirinya di malam hari.
"Awas saja mereka! Lihat apa yang bisa kalian lakukan selama ada aku yang menjadi penguasa kota ini..." Gumamnya pergi dengan amarah meninggalkan pasar...
***