Kutarik nafasku dalam-dalam untuk meredakan serangan panik yang kurasakan. Aku bahkan tidak memakai sepatu atau jaket saat ini. Paling tidak saat ini siang hari, untungnya aku tidak terbangun saat hari sudah menjelang gelap.
Dengan tertatih karena kakiku terasa pegal dan perih, aku mulai berjalan menyusuri lantai hutan. Tidak terlihat jalur atau jalan kecil yang biasanya digunakan orang-orang untuk hiking atau menyusuri hutan. Itu artinya aku berada jauh di dalam hutan yang jarang dilalui orang.
Kenapa hal ini terjadi lagi padaku? pikirku dengan marah sekaligus takut. Hampir sama dengan kejadian yang pertama, aku tidak melihat satupun binatang yang hidup di hutan ini. Tapi kali ini aku juga tidak melihat bangkai mereka.
Lain kali aku harus tidur sambil mengantongi handphoneku... Alex pasti sedang kalut mencariku saat ini. Langkahku terhenti beberapa saat kemudian, masalahnya aku tidak tahu arah keluar dari hutan ini... bisa saja arah yang kutuju saat ini membuatku semakin masuk ke dalam hutan.
Aku duduk bersandar di salah satu pohon besar yang berdiri di dekatku untuk beristirahat sekaligus memikirkan jalan keluar. Vincent pernah menemukanku sekali saat aku terbangun di Redforest, aku belum sempat bertanya padanya bagaimana Ia bisa menemukanku saat itu.
Sedikit rasa takutku memudar saat memikirkan kejadian itu. Mereka pasti akan menemukanku, cepat atau lambat. Aku hanya perlu menunggu disini. Kubenamkan kepalaku di kedua lenganku yang terlipat di atas lutut.
Alex pasti akan menemukanku.
***
Hingga enam jam kemudian aku masih berada di hutan ini. Langit sudah berubah menjelang sore, dan hutan lebat ini terlihat semakin gelap setiap jamnya. Aku kembali berjalan beberapa jam yang lalu karena haus, untungnya aku menemukan sebuah sungai kecil yang sangat jernih untuk diminum.
Hutan apa ini sebenarnya? Kenapa tidak ada seekor binatang pun yang terlihat?
Seluruh badanku masih terasa sakit dan perih, keringat membanjiri keningku karena aku berjalan sejak tadi, dan sekarang rasa lapar juga mulai menggerogoti perutku. Aku ingin menangis tapi tidak ada air mata yang bisa keluar saat ini karena aku terlalu lelah. Mungkin aku harus tidur sebentar? Tapi bagaimana kalau aku terbangun di tempat yang berbeda lagi? Kuedarkan pandanganku mencari tempat yang nyaman untuk beristirahat, tapi yang ada di sekitarku hanya semak belukar yang terlihat seperti sarang ular atau binatang menakutkan lainnya. Karena tempat ini dekat dengan sungai, aku tidak ingin berpindah terlalu jauh lagi. Aku berdiri di tempatku sambil menimbang-nimbang pilihanku saat ini.
"Apa yang kaulakukan berdiri di tengah semak-semak seperti itu?" suara yang sangat kukenal membuatku membalikkan badan dengan cepat.
Bibirku bergetar saat melihat Vincent berdiri lima puluh meter dariku. Ia terlihat berantakan dan sangat kesal hingga aku yakin yang kulihat saat ini bukan halusinasi. Kubuka mulutku untuk menjawabnya tapi tidak ada suara yang keluar dariku.
"Ayo, pulang." ajaknya masih dengan suara kesal. "Sebelum Alex melakukan hal yang lebih gila lagi." sambungnya sambil mengulurkan tangannya.
Untuk pertama kalinya aku merasa sangat terharu hingga akhirnya air mata yang sejak tadi kutahan mengalir deras dari kedua mataku.
"Ergh. Jangan menangis, Caroline." gerutunya tapi tangannya tetap terulur, "Kau ini benar-benar pembuat onar."
"Aku lapar." balasku sambil menangis sesenggukan lalu berjalan ke arahnya.
"Salahmu sendiri, berjalan-jalan tanpa arah semalaman lalu tersesat sendiri. Kau tahu Alex datang ke rumah Evelyn pukul lima pagi? Ia pikir kau kabur denganku lagi."
"Dimana Alex sekarang?" balasku sambil menghapus air mataku dengan lenganku.
"Dalam perjalanan kesini, kurasa." Vincent menepuk puncak kepalaku beberapa kali. "Dengarkan aku baik-baik, karena jalan keluar hutan ini cukup jauh aku harus berubah ke wujud serigalaku."
"Kau bisa berubah?" tanyaku terkejut.
Vincent menghela nafasnya, "Kau pikir bagaimana aku bisa menemukanmu secepat ini? Tsk, jangan menyelaku dulu. Setelah aku berubah segera naik ke punggungku, aku akan menurunkanmu di jalur terdekat yang akan dilalui Alex, tunggu Ia sampai datang, kau mengerti?"
"Kenapa kita tidak langsung kembali ke rumah Pack bersama-sama?"
"Aku sudah pernah mengatakannya padamu, berubah ke wujud serigala sangat berbahaya. Semua werewolf bisa mencium bau Leykan dariku. Karena itu setiap kali berubah aku harus bersembunyi selama paling tidak satu hari hingga bau itu memudar dari tubuhku." jelasnya. "Tapi kita tidak bisa keluar dari hutan sialan ini dengan berjalan kaki, bisa-bisa kita baru keluar tengah malam nanti." gerutunya dengan kesal.
"Oh..." balasku dengan perasaan bersalah.
"Jangan khawatir." ucap Vincent sambil menepuk puncak kepalaku lagi, "Aku sudah punya tempat persembunyian favorit. Kita harus segera memulai latihan mengontrol kekuatanmu setelah aku keluar dari persembunyian."
"Jadi semua ini karena kekuatanku?" tanyaku.
Vincent terlihat berpikir sejenak, "Errr, iya... dan tidak. Nanti saja penjelasannya, kita harus segera keluar sebelum Alex mengira kau kabur denganku lagi." sergahnya sebelum mulai berjalan, "Tunggu di sana." sambungnya sebelum berbalik dan berlari kecil hingga menghilang dari jarak pandangku ke balik semak-semak dan pepohonan.
Selang beberapa detik kemudian suara patahan yang keras terdengar nyaring dari tempatnya bersembunyi. Aku menunggu hingga lima menit lamanya tapi Vincent tidak kunjung keluar.
Apa... Apa Ia meninggalkanku?! Aku ingat Ia juga meninggalkanku di hutan Redforest setelah menemukanmu. "Vincent?" panggilku dengan keras ke arahnya.
Suara ranting yang diinjak membuatku menoleh ke samping, aku terkesiap saat menatap seekor serigala besar berwarna silver yang berdiri dua puluh meter dariku dan sedang menatapku. Salah satu matanya berwarna violet. Entah kenapa serigala ini memiliki aura yang berbeda dari serigala Alex.
Aku berdiri mematung karena terkesima dengan bulu silvernya yang sangat cantik, hingga Ia menggeram kesal. Di moncongnya giginya sedang menggigit pakaian yang Vincent kenakan tadi.
"Kau sangat... cantik." pujiku dengan kagum yang kembali dibalas dengan geraman kesal. Ah, sepertinya Ia memintaku untuk buru-buru. Serigala Vincent berselonjor hingga Ia menempel rata ke tanah, aku mendekatinya lalu menarik bulu silvernya untuk membantuku naik ke atas punggungnya. Suara dengkingan halus terdengar saat aku mencengkeram lalu menarik bulunya,
"Ah... maaf." kataku sambil meringis. Saat aku sudah aman di atas punggungnya, Ia mulai berdiri lalu mengendus udara di sekitar kami. Aku kembali harus mencengkeram bulunya dengan kedua tanganku saat serigala Vincent mulai berlari... dan Ia berlari sangat cepat hingga hutan disekitarku berkelebat, seperti saat kau sedang naik kereta api. Angin menerpa sebagian wajahku, tapi tubuhku terasa hangat karena tertutup bulunya yang tebal dan panjang. Beberapa kali bulunya juga menyelip ke dalam mulutku hingga aku harus menarik wajahku menjauh agar bulu itu lepas.
Menaiki serigala ternyata rasanya tidak semenyenangkan yang kubayangkan. Tubuhku beberapa kali hampir terlempar dari punggungnya saat Ia berlari terlalu cepat. Dan rasa sakit di tubuhku semakin parah karena berkali-kali terbentur punggungnya yang keras.
Aku tidak tahu berapa lama kami berlari, mungkin sekitar dua puluh atau tiga puluh menit hingga serigala Vincent memelankan larinya lalu berhenti di dekat deretan pohon pinus. Ia kembali berselonjor ke tanah, karena badanku yang terasa semakin sakit aku hanya bisa berguling turun dan jatuh ke tanah di sebelahnya. Serigala Vincent menengok ke arahku saat mendengar suara gedebuk yang berasal dari tubuhku.
Aku meringis kesakitan sebelum berusaha berdiri. Saat aku menatapnya kembali, Ia mencondongkan moncongnya ke arah utara lalu menatapku lagi dengan mata anehnya. Aku membalasnya dengan anggukan kepala lalu berjalan ke arah yang ditunjukkannya. Setelah beberapa puluh meter, aku kembali menoleh ke arahnya di belakangku. Tapi serigala Vincent sudah menghilang tanpa bersuara.