webnovel

Chapter 18

***

Suara kaca yang dipecah membuatku terbangun dari tidurku. Dengan mengantuk kuedarkan pandanganku ke keadaan di sekelilingku, setelah beberapa kali mengerjapkan kedua mataku aku baru menyadari aku tidak berada di kamar apartemen Alex lagi. Rasa panik mulai membuat jantungku berdebar lebih keras, tapi tidak ada suara yang keluar dari mulutku hanya ada suara nafas yang memburu dan detang jantungku yang terdengar.

Aku mendongak memandang kanopi tempat tidur yang berwarna biru muda dengan motif bulu angsa, dari sudut mataku aku bisa melihat kuda poni kayu yang berdiri di sudut ruangan dalam kegelapan. Beberapa lukisan berantakan khas anak kecil dipajang di tembok yang berwarna senada dengan kanopi tempat tidur ini, mainan balok kayu antik berceceran di karpet sebelah tempat tidur.

Tempat ini terlihat seperti kamar anak kecil yang bergaya vintage. Bahkan jendelanya pun terlihat antik, dan entah mengapa juga terasa familiar. Sinar bulan memberikan sedikit terang di tengah kegelapan malam ruangan ini.

Suara keheningan malam diganggu oleh suara pintu yang dibanting dari luar. Lalu aku mendengar gumaman marah beberapa orang pria sebelum kembali hening. Mataku terpaku pada pintu yang tertutup rapat di seberang tempat tidur, menunggu seseorang datang.

Tiba-tiba suara teriakan wanita membuatku terlonjak dari tempat tidurku, aku tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan wanita itu tapi teriakannya terdengar mengerikan.

Seolah-olah badanku bergerak sendiri, aku turun dari tempat tidur dan berlari ke sudut ruangan di balik kuda poni kayu. Sebuah tangan kecil meraba lantai kayu dengan panik hingga menemukan kenop kecil yang menonjol di atas lantai kayu lalu menariknya. Aku melihat sepasang kaki kecil yang pucat turun ke dalam lubang lantai itu, lalu kusadari bahwa aku lah anak kecil itu.

Tangan kecilku menarik pintu rahasia itu hingga menutup lalu meringkuk di dalam lubang kecil rahasia, memeluk kedua kakiku di dada. Suara barang-barang yang di lempar dan beberapa teriakan marah membuat rasa panik dan marah menyusupiku hingga membuatku gemetaran. Kedua mataku terpaku pada kuku jari tanganku yang mungil berubah menghitam lalu perlahan memanjang hampir seperti cakar. Suara teriakan wanita itu kembali terdengar membuatku terlonjak di tempat lagi—

***

Tiba-tiba tubuhku terlonjak bangun, kembali berada di kamar Alex. Keringat membasahi keningku yang terasa dingin, mimpi barusan terasa sangat nyata. Kutarik nafasku dalam-dalam untuk menenangkan nafasku yang memburu hingga kembali teratur lalu melirik ke arah Alex yang masih tertidur di sebelahku.

Entah mengapa melihat wajah rileksnya yang tertidur pulas membuat perasaanku lebih tenang. Rambut coklatnya yang berantakan menutupi sebelah matanya yang terpejam, sesaat Ia terlihat seperti anak kecil yang sedang tertidur.

Kujatuhkan kembali kepalaku di atas bantal lalu menarik selimutku hingga ke dagu, saat itulah mataku menangkap sesuatu yang ganjil. Kedua tanganku yang baru saja menarik selimut sudah berubah. Kuku-kuku berwarna hitam dan panjang menghiasi kesepuluh jari tanganku, persis seperti kuku tangan anak kecil dalam mimpiku.

Dengan nafas bergetar dan jantung berdebar keras kupejamkan kedua mataku erat-erat lalu menghitung hingga sepuluh sebelum membukanya lagi perlahan. Jari-jari tanganku sudah kembali seperti semula. Itu semua hanya halusinasi, pikirku sambil menenangkan jantungku yang masih berdebar keras.

Setelah setengah jam berusaha kembali tidur dan gagal kuputuskan untuk bangun, kulirik jam digital saat aku melewati pintu kamar Alex. Saat ini masih pukul 3.40 pagi. Mungkin segelas susu hangat bisa membantuku kembali tidur.

Dapur apartemen Alex lebih kecil daripada dapur di rumah, tapi Alex mempunyai peralatan masak yang lengkap. Dan terlihat mahal... Aku harus bertanya padanya lain kali darimana uang membeli tempat ini, Dad tidak mungkin memberikan Alex apartemen semahal ini.

Kuhangatkan segelas susu di atas kompor lalu menunggunya sambil duduk di atas counter dapur yang terbuat dari batu granit berwarna hitam, kedua mataku memandang langit di luar masih terlihat sangat gelap dengan pandangan kosong. Kegelapan di luar membuatku kembali teringat pada mimpi barusan yang terasa sangat nyata, rasanya hampir seperti kejadian yang pernah kualami sebelumnya. Seperti memori yang—

"Cara!"

Dengan setengah terlonjak aku menoleh menatap Alex yang berdiri di samping counter dapur, rambutnya yang masih berantakan menjuntai ke segala arah. Kedua mata coklatnya tidak terlihat seperti baru saja bangun tidur, matanya membesar menatapku dengan pandangan aneh.

"Oh. Maaf, apa aku membangunkanmu?" tanyaku. Mungkin Ia terbangun saat aku berjalan keluar kamar.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan nada heran bercampur marah.

"Aku tidak bisa tidur jadi aku membuat susu hangat." Gumamku sambil melempar wajah cemberutku. Alex menatapku dengan pandangan aneh sekali lagi sebelum menggelengkan kepalanya.

"Maksudmu itu tadinya adalah susu?" tanyanya sambil menunjuk panci di atas kompor. Aku membalasnya dengan anggukan kecil lalu mengikuti arah pandangannya. Panci yang sebelumnya berwarna silver kini sudah berubah menjadi hitam legam. Lalu aku baru menyadari bau sesuatu yang hangus memenuhi dapur.

"Tapi aku baru saja menyalakannya..." gumamku dengan sangat pelan sambil turun dari counter. Alex mengambil panci hangus itu dari atas kompor lalu memindahkannya ke tempat cuci piring sambil menghela nafasnya.

"Jam berapa ini?" tanyaku padanya.

"Tujuh. Cara, aku harus pergi hari ini—"

Aku tidak mendengarkan kata-kata Alex yang berikutnya, kubalikkan tubuhku memandang sinar matahari yang masuk dari jendela dan membanjiri seluruh dapur... sejak tadi.

Aku baru saja melamun selama 3 jam lebih?

"Cara?" Alex memanggilku dari belakangku. "Kau tidak keberatan? Aku bisa mengantarmu ke rumah kalau kau mau, setelah selesai aku akan menjemputmu lagi."

Aku tidak mendengarkan apa yang dibicarakannya sebelumnya jadi aku hanya membalasnya dengan anggukan kecil. Tiga jam... waktu sudah berlalu selama itu dan aku tidak menyadarinya sama sekali. Mimpiku semalam kembali terngiang di dalam kepalaku dengan sangat jelas, bahkan aku bisa mengingat detail kamar itu, aku bisa mendengar suara teriakan wanita itu di dalam kepalaku lagi. Berulang kali.

"Hey." Tanpa kusadari Alex sudah berdiri di depanku, Ia harus sedikit menunduk untuk menatap wajahku. "Ada apa, Cara?"

Aku ingin menceritakan semuanya pada Alex, tapi instingku mengatakan jika aku menceritakannya sekarang hanya akan ada dua respon darinya; Alex akan menganggapku gila atau Ia akan kembali pada teori Leykannya. Jadi aku hanya menggeleng dan tersenyum kecil padanya, "Hanya kurang tidur."

"Kau bisa tidur di rumah seharian ini." Jawab Alex sambil menarik salah satu sudut mulutnya membentuk senyuman yang tidak pernah gagal membuat jantungku berhenti berdetak selama sepersekian detik. Bahkan rambut bangun tidurnya tidak mengurangi efek senyumannya.

"Okay." Balasku sambil membalas senyumannya tanpa bisa kucegah.

***

Mum sedang berada di dapur saat aku mengunjungi rumah, Ia sedang memasak casserole untuk makan malam. Alex akan menjemputku 3 jam lagi, jadi kuputuskan untuk menyibukkan diriku dengan membantu Mum memasak. Sedangkan Dad baru pulang jam 5 nanti.

"Kau baik-baik saja dengan Alex?" tanya Mum sambil memasukkan casserole nya ke oven.

"Hh-mmm." Gumamku. Mum memintaku untuk menyiapkan salad dan sausnya. "Mum, boleh aku bertanya sesuatu?"

Mum berbalik dari ovennya menghadapku, "Tentu, sayang. Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Waktu kalian mengadopsiku... apa kalian tahu informasi tentang orangtuaku?"

Ekspresi wajah Mum tiba-tiba berubah bersalah, "Maafkan aku, Cara. Kami tidak bermaksud menyembunyikannya darimu selamanya—"

"Mum..." potongku dengan lembut, "Aku tidak marah padamu, atau Dad, atau Alex."

Mum terdiam sejenak dengan wajah sedihnya sebelum menggeleng, "Kami tidak tahu. Staff di panti asuhan juga tidak memiliki data tentang orangtuamu... Maafkan aku, Cara."

Aku kembali meneruskan memotong lettuce, berusaha menyembunyikan rasa kecewa di wajahku dari Mum. "Tidak apa-apa, aku hanya sedikit penasaran, Mum." Balasku dengan nada senormal mungkin.

"Tapi... aku menyimpan sebuah kalung milikmu. Aku baru mengingatnya sekarang, tunggu sebentar, okay?"

Aku sedikit terkejut sebelum mengangguk padanya, "Oh, baiklah."

Mum kembali membawa sebuah kotak beludru berwarna biru tua yang sudah memudar, Ia meletakkannya di depanku sambil tersenyum. Jantungku sedikit berdebar saat tanganku membukanya, di dalamnya terselip sebuah kalung emas. Dengan hati-hati aku menariknya dari dalam kotak dan mengangkatnya, sebuah liontin berbentuk seperti tetesan air mata berkilat terkena cahaya lampu. "Wow..." gumamku dengan kagum, kalung ini sangat cantik dan terlihat... mahal.

"Lihat ukiran di baliknya." ucap Mum. Aku membalik liontin di tanganku dan menemukan sebaris ukiran di atasnya.

G.R.E.G

"Apa itu nama ayahku?" gumamku lebih pada diriku sendiri. Greg?

"Aku tidak tahu, Cara... Kurasa itu dari orangtuamu. Kau mau aku memasangkannya untukmu?" tanya Mum sambil melepas celemeknya.

"Tidak, tidak perlu. Aku akan menyimpannya saja." balasku sambil tersenyum. Aku masih mengenakan kalung yang diberikan oleh Alex dan aku tidak ingin melepasnya untuk kalung milik orangtuaku. Sangat aneh rasanya, tidak memiliki memori tentang orangtua kandungku sendiri.

Mungkin Greg adalah nama ayahku, mungkin kedua orangtuaku meninggal dalam kecelakaan setelah itu aku harus tinggal di panti asuhan... Atau mungkin mereka tidak menginginkanku? Kuenyahkan pikiran terakhirku jauh-jauh dari dalam kepalaku. Orangtua kandungku tidak mungkin membuangku.

***

Alex tidak menjemputku malam itu, jadi kuputuskan untuk menginap di rumah. Lagipula besok pagi aku harus kembali ke sekolah dan semua barang-barangku ada di rumah.

Pukul 2 pagi kurasakan tempat tidurku yang bergerak saat Alex menjatuhkan tubuhnya di sampingku. Aku bisa mendengar suara tarikan nafas Alex yang perlahan berubah menjadi teratur.

"Hari yang berat?" bisikku sambil membuka kedua mataku yang mengantuk.

"Cara..." suara seraknya terdengar sedikit terkejut. "Maaf, apa aku membangunkanmu?"

Aku membalikkan badanku hingga menghadapnya, walaupun tempat tidurku tidak sebesar miliknya yang ada di apartemen tapi aku lebih menyukainya karena aku bisa semakin dekat dengan Alex. "Hari yang berat?" ulangku tanpa menjawab pertanyaannya yang sebelumnya.

Alex membenamkan kepalanya di bantalku yang berwarna pink, Ia sudah mengganti pakaiannya dengan kaos dan celana piyamanya.

"Yeah. Aku bermaksud meneleponmu tadi... tapi tidak ada sinyal."

"Hh-mmm... apa yang kau lakukan seharian?" tanyaku sambil menatap kedua mata Alex yang terpejam.

"Hanya urusan pack. Seseorang melihat rogue beberapa hari yang lalu, jadi aku dan Jake harus menyusun jadwal patroli baru di wilayah kita."

"Rogue...?" Rasa penasaran mengalahkan rasa kantukku.

"Werewolf yang tidak memiliki pack." Alex membuka kedua matanya, walaupun hanya diterangi cahaya dari bulan yang masuk lewat jendela kamarku aku masih bisa melihat warna matanya.

"Apa yang mereka lakukan?"

"Ah... Werewolf adalah mahkluk yang membutuhkan kawanan, seperti pack. Dan kadang-kadang tidak memiliki pack bisa membuat werewolf sedikit frustasi hingga gila, rogue sering menyerang anggota pack, bahkan melukainya. Mereka berbahaya, Cara. Bahkan kadang-kadang mereka membentuk kawanan sesama rogue untuk menyerang pack." Alex menguap saat selesai menjelaskannya padaku, wajahnya terlihat sangat lelah.

"Oh..." jawabku sambil ikut menguap, "Aku harus ke sekolah besok, kurasa aku harus melanjutkan tidurku."

"Aku akan mengantarmu besok." Balas Alex sambil memejamkan matanya dan menarik selimutku.

"Aku bisa ikut Dad." Gumamku.

"Aku akan mengantarmu, Cara." Setengah menit kemudian aku mendengar suara dengkurannya.

Chương tiếp theo