webnovel

Chapter 12

Kusandarkan punggungku sementara lift ini turun turun dengan perlahan menuju lobby, apa aku berlebihan tadi? Alex terlihat sangat marah saat aku memberitahunya tentang Vincent. Tapi ia tidak berpikir rasional, Alpha atau bukan. Hanya karena kami adalah 'mate' lalu ia merasa berhak melarangku bergaul dengan lawan jenis. Suara dentingan lonceng berbunyi sebelum pintu lift terbuka, membuyarkan pikiranku. Kulempar senyuman sopan pada security yang berdiri di dekat meja resepsionis saat melewatinya.

"Ms. Caroline?"

Kepalaku menoleh saat namaku dipanggil.

"Mr. Brennan baru saja menelepon, ia memintaku menahan anda sebentar. Katanya ada barang yang tertinggal."

"Oh, terimakasih." gumamku dengan kening berkerut karena aku tidak merasa meninggalkan apapun. Aku berjalan kembali ke arah lift lalu menekan tombol ke atas. Saat aku akan melangkah masuk, pintu lift di sebelah juga ikut terbuka dan Alex berjalan keluar, pandangan tajamnya tertuju padaku seketika. Ia memandangku dengan tatapan marah, aura mengintimidasi memancar darinya saat berjalan ke arahku.

"Oh, tidak. Kau tidak akan kabur dariku." Kedua mata coklatnya berubah semakin keemasan, seperti binatang buas yang sedang mengincar mangsanya. Tanpa kusadari aku sudah melangkah mundur beberapa langkah hingga punggungku membentur dinding lift. Reflek kutekan tombol untuk menutup pintu lift, sebelum pintunya dapat tertutup dengan cepat tangan Alex terulur untuk menahan pintu lift. Jantungku berdebar di dadaku hingga aku hampir dapat mendengar suara debarannya yang keras di telingaku. Alex berjalan masuk ke dalam lift lalu pintu di belakangnya perlahan menutup. Kami berpandangan dalam diam selama beberapa saat sebelum tangannya menekan tombol berhenti, sehingga lift ini sekarang berhenti bergerak. Harus kuakui, aku merasa sedikit takut dengan Alex yang sekarang berada di depanku.

"Alex..." namanya keluar dari bibirku dengan sedikit tercekat. "Stop."

Alex melangkah ke depanku, kedua tangannya diletakkan di kedua sisi kepalaku membentuk kurungan dengan tubuhnya. Aku bisa merasakan kemarahan yang memancar jelas darinya. Karena ia lebih tinggi dariku Alex harus menunduk untuk menatapku. Beberapa helai rambut coklatnya jatuh menutupi matanya tapi ia tidak mempedulikannya.

"Dengar—" aku tidak sempat melanjutkan kalimatku, bibir Alex sudah membungkamku. Ia menciumku dengan penuh kemarahan selama beberapa saat lalu melepaskan bibirnya dariku tiba-tiba. Nafasnya menderu di pipiku, dalam jarak sedekat ini aku bisa merasakan rasa hangat yang memancar dari tubuhnya.

Jadi begini respons yang kudapat saat memancing seorang Alpha.

Kujilat bibirku sekilas, membuat kedua matanya kembali fokus pada bibirku. Kali ini warna kedua matanya sudah hampir kembali menjadi coklat seperti biasanya. Ia menempelkan keningnya pada pundakku, lalu menarik nafasnya dalam-dalam. Aku sendiri masih berusaha mengatur nafasku dan debaran jantungku yang tidak beraturan. Beberapa hari yang lalu Alex masih kakakku, dan sekarang kami sudah berciuman hampir... berkali-kali?

"Cara..." suara Alex yang serak dipotong oleh gerakan lift yang bergoyang tiba-tiba. Lalu lampu lift berkedip mati membuatku melonjak terkejut dengan kegelapan yang tiba-tiba menyelimutiku. Lalu beberapa detik kemudian lampu menyala lagi, salah satu tangan Alex memeluk pundakku saat ia menatap sekeliling lift.

"Sepertinya hanya kesalahan teknis." Gumamnya sambil memencet tombol lantai 3, tapi lift sialan ini tidak bergerak sama sekali. Alex memencet tombol itu lagi, berkali-kali. Tidak ada yang terjadi. Ia menggumamkan sesuatu—kurasa umpatan, lalu melepas pelukannya. Tangannya menggeledah saku jeansnya lalu mengeluarkan handphone.  Kutekan tombol emergensi di lift berkali-kali tapi tidak ada respon sama sekali. Kualihkan perhatianku pada Alex yang sedang berusaha menelepon dengan handphonenya.

"Tidak ada sinyal." gumamnya sambil mengangkat bahu. Tentu saja. Dengan lemas aku merosot duduk di sudut lift, hal terakhir yang kuinginkan saat ini adalah terjebak berdua dengan Alex.

"Aku yakin mereka akan sadar lift ini rusak, mungkin sebentar lagi." Katanya sebelum duduk satu meter di sebelahku. Kami terdiam beberapa saat, aku sibuk dengan rasa panikku dan Alex sibuk dengan… entah apa yang sedang dipikirkan olehnya.

"Kedua matamu berubah." kataku tiba-tiba memecah keheningan.

"Cara... Aku tidak bermaksud—maafkan aku, aku tidak bisa menahan kemarahan ini. Serigalaku, ia bisa menjadi sangat posesif." katanya dengan hati-hati.

"Jadi... ketika serigalamu muncul, matamu akan berubah menjadi keemasan?" tanyaku.

Ia mengangguk singkat, pandangannya masih berusaha menganalisa reaksiku.

"Kau terlihat... menakutkan."

Ekspresi Alex seketika berubah, aku memejamkan kedua mataku dan mengumpat dalam hati karena ucapanku.

"Aku sudah berusaha setengah mati untuk menahannya." Alex terdengar sangat menyesal. Kubuka kedua mataku, memandang Alex yang duduk di dekatku. Ia terlihat begitu bersalah.

"Tapi warna matamu tetap coklat saat berubah menjadi serigala."

"Warna mataku bergantung pada siapa yang lebih dominan di dalam tubuhku saat itu. Tapi aku bersumpah, aku tidak akan pernah menyakitimu, Cara."

"Semua ini masih terasa aneh, Alex." gumamku padanya. Alex yang sekarang tidak bisa mengontrol perasaannya jika menyangkut tentangku. Di satu sisi ia masih Alex yang kukenal, tapi disisi lain ia juga seperti orang asing yang posesif dan pemarah. Hubungan ini terasa seperti rollercoaster yang berjalan sangat cepat, memikirkannya saja sudah membuatku lelah.

"Kita selalu bisa memulainya dari awal." katanya.

"Bukan itu maksudku, kau tahu... kau dan aku sebagai saudara. Ini semua terasa aneh, aku selalu menganggapmu sebagai kakak. Lalu kita berciuman." Gumamku.

"Kau tidak menyukainya?" tanyanya sambil mengangkat kedua alisnya. Kedua pipiku bersemu merah mendengarnya, tentu saja aku menyukainya.

"Hanya terasa aneh..." jawabku setengah berbisik.

"Aku juga merasa aneh, Cara." Katanya sambil memandangku dan menelengkan kepalanya sedikit ke kanan.

"Kau juga merasakannya?"

Ia mengangguk, "Aku merasa aneh karena aku tidak melakukannya dari dulu, aku bahkan sudah lupa mengapa aku harus menunggumu hingga berumur delapan belas."

Jawaban yang keluar dari bibirnya benar-benar di luar dugaanku. "Oh."

Alex sialan.

"Kau ingat saat kita pertama kali bertemu?" tanyanya.

"Mmm, tidak?" Tentu saja aku tidak mengingatnya, aku baru tahu bahwa aku adalah anak adopsi beberapa hari yang lalu.

"Mum ingin anak perempuan... tapi Mum tidak bisa punya anak lagi setelah aku—", Alex berhenti sebentar untuk berdeham, "setelah melahirkanku sebagian rahim Mum harus diangkat juga karena tumor."

Aku memandangnya dengan terkejut, "Mum tidak pernah memberitahuku..."

"Tentu saja ia tidak memberitahumu, Cara. Nanti kau akan curiga. Jadi mereka memutuskan untuk mengadopsi anak perempuan, seorang bayi perempuan—"

"Tapi katamu—"

"Biar aku selesaikan dulu." Sebuah senyuman samar muncul di wajahnya setelah aku memotong ceritanya, aku mengangguk kecil. "Jadi mereka mengajakku pergi ke panti asuhan juga, saat itu umurku baru sembilan tahun. Ketika Mum dan Dad berada di kamar bayi... Well, saat itu aku merasa sedikit cemburu karena mereka akan memiliki anak baru. Kau tahu kan menjadi anak tunggal cukup menyenangkan." Alex tersenyum sebentar lalu pandangannya menerawang seperti membayangkan sesuatu, "Jadi kuputuskan untuk kabur sebentar, berjalan-jalan di lorong kamar-kamar sendirian. Lalu, dari tikungan lorong tiba-tiba beberapa apel menggelinding ke arahku, dan kau berdiri beberapa meter dariku berusaha memeluk beberapa apel sambil memungut sisa apel yang jatuh. Kau hampir menangis saat itu." Alex tersenyum padaku dengan lembut, "Jadi aku menolongmu."

Aku terdiam sebentar menunggu kelanjutan cerita Alex, "Itu saja?" tanyaku setelah Alex tidak melanjutkan ceritanya.

"Setelah itu... aku memungut semua apel yang jatuh dan yang ada di tanganmu, membawanya dengan kaosku sebagai wadah. Lalu aku menggandengmu kembali ke ruang bayi dan meminta Mum dan Dad mengadopsimu."

"Kau tahu, saat itu aku tidak tahu tanda-tandanya jika kami menemukan mate. Aku hanya memandangmu beberapa saat, seketika itu juga aku merasakan dorongan yang kuat untuk melindungimu... Aku tidak pernah melihat anak secantik itu, berdiri mengenakan rok berwarna merah sedang kerepotan memeluk apel di kedua tangannya. Dengan rambut yang agak berantakan, dan wajah yang frustasi karena beberapa apelnya jatuh." Alex berkedip beberapa kali lalu meraih tanganku, "Saat itu kau juga memandangku sama seperti sekarang."

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan padanya, karena aku tidak memiliki ingatan itu rasanya jadi seperti mendengar cerita romantis orang lain. Tiba-tiba lift ini bergoyang lagi mengalihkan perhatian kami, lalu melaju ke atas hingga terdengar suara bel berbunyi sebelum akhirnya pintu lift terbuka. Di lorong apartemen Alex. Seorang pria paruh baya yang mengenakan setelah jas berdiri di depan kami dengan terkejut karena masih duduk di lantai lift ini.

"Ah, apa liftnya berhenti lagi? Kemarin aku juga terjebak selama 20 menit." tanyanya sambil memandang kami bergantian. Kurasa ia salah satu penghuni apartemen ini juga. Tiba-tiba aku menyadari bahwa Alex masih menggenggam tanganku saat ia menarikku berdiri.

"Aku akan melaporkannya ke pengurus nanti." Gumam Alex padanya. Lalu pria itu mengangguk pada kami dan masuk ke dalam lift. Alex sudah melepaskan tanganku saat kami berdiri di lorong dengan canggung.

"Kau mau melihat apartemenku lagi atau..."

"Kurasa lebih baik aku pulang sekarang." Jawabku.

"Aku ambil kunci dulu, okay?" katanya sebelum berjalan ke apartemennya. Hari ini benar-benar canggung—pergi ke apartemen Alex, lalu terjebak di lift dengan Alex yang marah… adalah pengalaman yang intens.

"Kau sudah siap?" Tiba-tiba Alex sudah berdiri lagi di depanku, ia mengenakan hoodie tebal berwarna abu-abu. Alex dan hoodie adalah kombinasi yang berbahaya untuk mataku. Posturnya yang tinggi dan tegap membuatnya terlihat sempurna saat memakai hoodie. Yah, sebenarnya ia terlihat sempurna mengenakan apapun. Hidup memang tidak adil. "Ada apa?" tanyanya saat menyadari aku hanya berdiri mematung.

"Tidak ada apa-apa." Jawabku cepat sambil berbalik ke arah lift, ugh, lift yang sama lagi. "Mungkin sebaiknya kita turun lewat tangga darurat."

"Yup." Alex berjalan mendahuluiku menuju tangga darurat.

Chương tiếp theo