webnovel

Masalah Besar

Masalah kemarin berakhir dengan damai. Memangnya mau gimana endingnya?

Tapi ada yang aneh aja sama pihak lawan. Kayaknya kok seneng banget ganggu Bos Kecil. Emangnya apa yang udah dilakuin sama Bos Kecil sampai jadi korban bullying kek gitu?

Kalau kata Jona sih karena Galih and the gang nggak terima kalau Bos Kecil lebih populer dibanding mereka. Memang masih model ya bersaing ketenaran gitu? Tapi ya jelas aja itu Galih sama temen-temennya kalah, orang saingannya aja Angga Narendra gitu.

Secara fisik memang Bos Kecil itu beda. Wajah yang Asia tapi juga ada sentuhan bulenya gitu. Belum lagi kulitnya yang putih dan badannya yang tinggi dan tegap. Ditambah pakaian yang bermerk dan juga pendukung seperti mobil yang berbeda dari kebanyakan orang.

Sepengamatanku sih Bos Kecil juga nggak berbuat sesuatu yang berlebihan. Malah, Bos Kecil itu orangnya pendiam dan tertutup. Jarang hang out sama temen-temennya juga. Tapi nggak bisa dipungkiri kalau Bos Kecil memang punya pesona yang luar biasa dimata kami para orang biasa. Gen-nya siapa dulu dong.

Kata Jona lagi, Bos Kecil itu dipuja dan juga dihujat sama temen-temen kampusnya. Katanya orang yang namanya Angga Narendra itu sombongnya kebangetan. Nggak pernah mau ngobrol sama temen-temen yang lainnya karena merasa nggak selevel sama dia. Dia orang kaya, sedangkan yang lainnya orang miskin.

Trus Angga itu orangnya juga sok banget. Mentang-mentang ganteng, banyak perempuan yang suka sama dia, trus bisa seenak jidat gitu memperlakukan orang lain. Belum lagi gosip tentang Bos Kecil yang adalah simpanan tante-tante kesepian dan emaknya jadi simpanan om-om genit.

Ternyata ya, jadi orang keren itu nggak melulu enak.

"Bos nggak melakukan pembelaan? Macam klarifikasi gitu?" sebenarnya aku udah tahu jawabannya apa.

"Dia kan bos kamu. Harusnya kamu tahu dong dia gimana orangnya." Jona menjeda ucapannya, membasahi tenggorokannya. "Dia mah diem aja, kek nggak ada yang kejadian disekitar dia. Nyebelin nggak sih?"

Nyebelin memang, tapi kan memang itu orang sifatnya gitu. Ibarat disekitarnya banyak orang gegoleran juga diem bae selama nggak ada sangkut pautnya sama dia. Kadang bagus sih sifat kayak gitu, tapi kadang juga nggak bagus. Aku jadi khawatir sama kehidupan sosialnya si Bos Kecil kalo gini ceritanya. Untung banget ada Jona yang mau jadi temennya.

Oh iya, aku lagi makan siang sama Jona. Yah itung-itung traktiran sebagai bayaran udah jagain Bos Kecil. Banyak juga informasi yang disampaikan Jona ke aku tentang Bos Kecil. Juga tentang masalahnya yang ada di kampus yang nggak pernah diceritain sama aku ataupun anggota keluarga lainnya.

***

Nggak tahu kenapa hari ini tuh rasanya nggak tenang banget mau berangkat kerja. Aku malah mondar-mandir keluar masuk rumah, rasanya emang nggak pengen keluar rumah. Kayak udah semacam feeling gitu.

"Kenapa sih, Mas?" seperti biasa, Fara adalah yang paling perhatian sama aku.

"Nggak tenang. Nggak tahu kenapa." jawabku singkat. Tapi mukaku udah jelas nggak bisa dikondisikan.

"Ijin aja kalo nggak enak badan." tumbenan Bapak berkomentar.

"Nggak, Pak. Hari ini ada kerjaan penting."

Setelah meyakinkan diri kalo semuanya baik-baik aja, aku pamit ke semua orang yang ada di rumah. Bahkan Edo yang masih ngorok juga aku pamitin. Perasaan tuh nggak enak banget. Apa mungkin nanti dijalan aku bakal ketiban sial ya? Ah, mikir yang baik aja deh.

Sesampainya di rumah Bos, langsung ke dapur dan bikin kopi. Udah abis 2 gelas dan juga sarapan yang emang selalu disisihin sama Bos, hati rasanya masih nggak tenang.

"What?" cuma itu yang Bos Kecil tanyakan.

Aku mengangkat bahu, "Don't know."

Asli ya, baru 2 tahun lho aku kerja sama Bos Kecil, tapi aku udah ketularan ngomong singkat gini. Gimana kalo aku kerja bertahun-tahun sama beliau? Bisa-bisa cuma pake lirikan mata doang deh ini cara komunikasinya.

Jam 9.30 WIB Bos berangkat ke kampus. Aku tetep stay di rumah, siapa tahu ada telepon dari rumah utama atau disuruh nyusulin apa gitu. Sembari beberes dapur, cuci peralatan masak dan makan yang dipake sama Bos.

Menjelang makan siang, aku makin nggak tenang. Rasanya tuh udah pengen nangis aja karena dada rasanya sesak gitu, tapi bukan sesak napas. Sialnya, ini mata malah langsung menjurus ke lantai 2 rumahnya Mr. Arrael. Ini siang hari lo, tapi si 'mbak' bisa-bisanya nyengir sama aku.

Astaga, apa ini pertanda yang nggak bagus?

Kelar cuci dan beberes, aku langsung tancap gas. Kemana aja pokoknya nggak di dalam rumah. Merinding disko cuy.

Otakku jadi nge-blank. Nggak tahu tujuannya mau kemana, tapi tiba-tiba aja mobil udah ada di parkiran kampus. Mengamati anak-anak kuliahan yang berlalu lalang.

Jam makan siang, kantin rame banget. Maklum aja, semua mahasiswa tumplek disana buat ngisi energi lagi sebelum melanjutkan kuliah. Mataku langsung aja bisa nangkap sosok Bos Kecil. Gampang banget nyari si Bos, karena tingginya yang lain daripada yang lain.

Kebiasaan Bos bawa bekal makan siang tuh emang menolong banget kalo lagi jam sibuk gini. Dia santuy aja duduk di kursi sembari mandangin tablet. Jona disampingnya aja kena bagian dicuekin. Herannya, Jona betah banget gitu ngintilin si Bos.

Ketika Bos di datengin sama gerombolan orang, aku jadi waspada. Kayak alarm bahayanya tuh bunyi keras banget. Aku langsung keluar dari mobil dan berjalan kearah Bos. Langkahku udah nggak santai banget, karena aku setengah berlari.

Sekejap mata lho ini, tapi kejadian selanjutnya yang aku lihat tuh bikin nyawa mo keluar aja dari tubuh. Nggak jauh dari tempat duduknya tadi, Bos Kecil udah tergeletak sembari tangannya menggapai sesuatu, yang aku tahu itu adalah ponselnya.

Aku langsung mendekati Bos dan memeriksa apa yang terjadi. Wajahnya pucat banget dan seperti kesulitan bernapas. Ini persis seperti gejala alerginya kambuh waktu itu.

Mungkin firasat yang aku rasakan sejak pagi tuh ya ini. Bukan tentang aku, tapi tentang Bos Kecil. Sumpah, nanganin Bos yang lagi kolaps gini tuh takut banget. Apalagi ini pengalaman pertamaku menangani hal seperti ini.

Gimana kalo aku salah pas melakukan pertolongan pertama? Gimana kalo aku malah makin membuat keadaan Bos makin parah?

Sepersekian detik aku galau soal itu. Tapi aku langsung sadar kalo aku harus cepet bertindak. Biar cepet ada pertolongan. Apalagi orang-orang disekitarku tuh malah ngerumuni kami, yang bikin oksigen makin menipis.

Meski nggak yakin, tapi aku mantap melakukannya. Ambil Epipen yang selama ini ada di kantong jasku, langsung buka dan tusuk ke bagian paha. Agak sulit mengira-ira dimana posisi yang tepat. Cuma bisa berdoa aja semoga ini bisa menolong.

Aku juga langsung nyuruh mereka yang mengerumuni kami untuk mundur, biar ada oksigen yang banyak disekitar kami. Nggak lupa lepas kancing baju dan celana biar lega.

"Telepon 1, panggilan darurat." teriakku kesiapa aja yang ada di dekatku. Bahkan aku nggak peduli sewaktu aku melempar ponsel kesayanganku.

Jona disampingku juga ketakutan dan gemetaran, tapi dia melakukan apa yang aku suruh. Dia telepon 1 yang adalah Kairo. Meski gemetaran dan terbata, Jona menjelaskan keadaan yang ada disini dengan baik.

Mataku terus menatap jam yang ada dipergelangan tanganku. Juga memastikan kalau Bos Kecil keadaannya membaik.

Tim Emergency datang ketika aku hampir menusukkan Epipen yang kedua. Dengan sigap mereka langsung membawa Bos Kecil ke dalam ambulance dan langsung menuju rumah sakit. Aku ikut di dalam ambulance karena harus memberitahu tindakan apa saja yang udah aku kasih ke Bos.

Sampai di rumah sakit, Bos langsung dibawa ke UGD. Kairo dan Mr. Narendra udah menunggui kami.

"All is well." ucap Kairo kepadaku ketika melihat Bos Kecil menghilang dibalik pintu.

Aku berusaha percaya sama ucapan Kairo. Aku pengen semuanya baik-baik aja. Aku pengen ini semua tuh cuma mimpi buruk, jadi pas aku bangun, aku nggak ada di lorong rumah sakit ini dengan penampilan yang kacau. Nggak ada air mata juga yang ngalir dari mataku.

Jona datang tak lama kemudian. Dia memberikan kunci mobilku dan juga ponselku. Aku aja sampai lupa sama 2 benda itu.

Kairo langsung memintai keterangan dari Jona, tentang apa yang terjadi dan kenapa bisa jadi seperti ini. Tentu aja aku nggak bisa mendengar apa yang mereka obrolin. Itu lebih baik, biar aku nggak kepikiran juga.

Hampir jam 8 malam, dan Bos Kecil masih belum keluar dari ruang UGD. Kami sepakat untuk nggak memberitahu Nyonya Clara, biar beliau nggak panik. Tapi sayangnya, tembok rasanya bisa ngasih tahu ke Nyonya Clara.

Beliau datang bersama dengan Rossie. Penampilannya nggak ada bedanya dengan keadaan biasa. Tetap stunning. Yang membedakan adalah ekspresinya. Wajah yang biasanya adem dan sejuk dipandang itu kini terlihat murka. Marah besar.

Sampai di depanku, aku berdiri dan mendongak kan wajahku. Tamparan yang panas dan perih langsung terasa di pipi. Perih banget sampai rasanya mau nangis.

"Apa yang kamu lakukan sampai anakku bisa mengalami hal ini? Kamu tahu kalau itu bisa fatal akibatnya." dasarnya orang cantik ya, lagi marah sambil nangis juga masih cantik. Cuma warna wajahnya aja yang jadi merah sekarang.

Dengan sigap Mr. Narendra menarik istrinya menjauh dariku. Ya siapa tahu nanti mau nyakar atau mau gampar lagi, kan aku jadinya aman.

Semua orang yang ada disitu langsung melihat kearahku. Seolah disini aku adalah orang yang paling bersalah dan bertanggung jawab atas semua kejadian hari ini. Aku benci mendapat tatapan itu. Kayak aku adalah orang yang harus dikasihani dan dihujat secara bersamaan.

Rossie tiba-tiba menyodorkan segelas kopi enak yang masih mengepulkan asap. Kairo dan Jona juga mendapat jatah gelas mereka.

"Pulanglah, biar kami yang menunggui." Rossie tersenyum.

"Boleh aku nunggu sampai Mr. Angga sadar?" mataku berkaca-kaca ketika mengucapkan permintaan itu.

"Kami akan langsung mengabarimu ketika Mr. Angga sadar."

Aku pengen nolak, tapi kalau Kairo yang ngomong, rasanya aku nggak punya kuasa untuk menolaknya. Jadi, bersama Jona, aku diantar pulang. Mr. narendra nggak mengijinkanku mengendarai mobil karena beliau menganggap kondisiku sedang tidak stabil.

Sampai rumah, aku langsung masuk kamar. Nggak menghiraukan sapaan dari anggota keluarga yang lainnya. Aku juga nggak mau berbasa-basi seperti biasanya. Rasanya aku capek banget. Pengen buruan tidur dan berharap ini cuma mimpi buruk aja.

***

Hari ketiga aku nggak kerja. Bener-bener cuma di rumah aja nggak ngapa-ngapain. Bahkan aku juga nggak bantuin Ibu kayak biasanya kalau aku di rumah. Aku nggak bisa tenang gitu rasanya.

"Kayanya dia kudu ketemu sama psikolog deh." aku dengar dengan jelas ucapan Edo.

Mungkin memang iya.

Setiap hari, aku cuma bangun lalu mandi dan mengecek ponsel. Ya nggak ngecek juga, karena aku pantengin itu hp sampai rasanya bisa jebol saking lamanya diliatin. Apalagi kalau bukan nunggu kabar dari Kairo tentang perkembangan Bos Kecil. Berharap aja Kairo tetiba telepon dan nyuruh aku segera menemui Bos Kecil, jadi nggak perlu repot mandi.

Hari keempat, aku mendapat tamu. Aku nggak pernah ketemu sama orang ini sebelumnya, tapi dia rasanya udah kenal aku banget. Namanya Miss Stephenson, dia adalah psikolog yang bekerja di rumah sakit milik Mr. Michael Narendra.

"How are you?" itu pertanyaan basa basi yang umum ditanyakan. Dan aku menjawab dengan jawaban yang biasa juga.

Kami ngobrol di ruang tamu rumahku, yang nggak ada mewah-mewahnya. Tapi aku menikmati sesi mengobrol ini. Rasanya ada rasa lega setelah bisa berbicara dengan seseorang. Padahal apa yang kami bicarakan juga bukan hal yang berarti.

Miss Neona Stephenson datang lagi keesokan harinya. Di jam yang sama, jam 10 pagi. Aku nggak tahu apa tujuan kedatangan Miss Stephenson, tapi aku sangat berterima kasih kepadanya. Yang jelas, 3 kali kedatangan Miss Stephenson, aku benar-benar merasa ringan setelahnya.

Chương tiếp theo