Kana jatuh cinta pada Fritdjof Moller, atasannya yang meninggalkan Denmark demi menyembuhkan luka atas pengkhianatan calon istrinya, dan Kana bertekad akan menunjukkan bahwa Kana dan negara ini adalah obat yang tepat. *** Fritdjof Moller melakukan sebuah perjalanan panjang, lebih dari 11.000 kilometer, untuk melupakan cinta dan semua rasa sakit yang timbul karenanya. Siapa yang menyangka di negara baru yang dituju, Fritdjof menemukan matahari yang menerangi jiwanya yang gelap pada sosok Kana. Dengan cintanya, pelan-pelan Kana bisa meruntuhkan tembok di sekeliling hati Fritdjof. Ketika Fritdjof sudah siap melupakan sumpahnya—untuk tidak lagi memberi tempat pada wanita dalam hidupnya—Fritdjof mengetahui rahasia besar yang disembunyikan Kana. Haruskah Fritdjof terus percaya—dan berharap—bahwa Kana tidak akan menghancurkan hatinya sebagaimana calon istrinya dulu? Atau pergi meninggalkan negara ini, sebelum dirinya terlalu dalam mencintai Kana, untuk menyelamatkan keping hatinya yang tersisa?
Kana berjalan tergesa menuju ruang rapat di lantai lima. Hari ini ada project manager baru yang akan memimpin tim mereka, menggantikan project manager lama yang mengundurkan. Perut Kana mulas sekali setelah makan omelet dan saus ekstra pedas di rumah tadi pagi. Akibat dari tidak ada waktu untuk membeli persediaan makanan dan terpaksa Kana menggunakan saus kesukaan kakaknya. Minggu lalu seluruh anggota tim menyelesaikan banyak pekerjaan di bawah project manager interim sebelum project manager baru datang. Energi Kana nyaris tak bersisa di akhir pekan dan yang dia lakukan selama dua hari adalah tidur.
Kana mendorong pintu kaca tebal di depannya. Memang Kana datang terlambat. Tetapi ini jauh lebih baik daripada dia mangkir. Di dalam ruang diskusi sudah ada gerombolan si berat—Dinar, Fasa, Manal, dan Alen—yang duduk menghadap papan tulis bening di dinding sebelah kanan. Pandangan Kana menyapu ruangan dan berakhir pada sesosok laki-laki tinggi—sangat tinggi—yang berdiri di depan papan tulis. Sepasang mata birunya menatap tajam ke arah Kana. Belum pernah Kana melihat ada manusia—tanpa lensa kontak—memiliki warna mata luar biasa indah seperti. Seperti lautan yang jernih dan luas. Yang mengundang siapa saja untuk masuk ke sana dan menjelajahinya. Perlahan Kana menutup pintu di belakangnya.
Kana menelan ludah sebelum memberikan alasan kenapa dia datang terlambat. "Ma...."
"Apa anda tidak bisa menghargai jadwal kita?" Suara tajam dan berat lebih dulu memotong kalimat Kana yang baru sampai di ujung lidah.
Raut wajah laki-laki itu keras dan tidak bisa diajak kompromi. Meskipun secara struktur Kana mengakui wajah laki-laki tersebut—dengan hidung mancung, tulang rahang dan wajahnya tegas, bibir penuh—lebih tampan daripada laki-laki kebanyakan. Tetapi tetap saja, ekspresi tidak bersahabat yang terdapat di sana akan membuat semua wanita malas berhadapan dengannya. Laki-laki yang berwajah biasa saja, tapi ramah, tentu jauh lebih menarik.
Kana yang tadinya datang dengan percaya diri akan dimaklumi setelah mengemukakan alasan, mendadak merasa ciut dan enggan untuk mengikuti diskusi kali ini. Kalau tahu akan begini jadinya, seharusnya tadi Kana tidak usah datang sekalian. Daripada malah membuat rasa sakit di perutnya kembali lagi. Siapa yang tidak mulas kalau di hari Senin pagi begini, sudah dihadapkan pada atasan baru yang tidak punya simpati sama sekali?
"Bisakah saya mengatakan alasan saya dulu?" tanya Kana dengan sebal.
Laki-laki itu tidak adil karena tidak memberinya waktu untuk mengemukakan alasan. Kana menggerutu dalam hati. Siapa yang ingin sakit perut sepagi ini? Ini bukan salahnya. Ini semua karena saus pedas sialan itu. Memangnya laki-laki itu tidak pernah sakit perut selama hidupnya? Tidak pernah salah makan? Hari Senin yang sangat menyebalkan itu bukan mitos, Kana kembali mengeluh dalam hati.
"Tidak. Apa pun alasan anda, anda sudah datang sangat terlambat. Miss?" Suara tajam itu kembali terdengar dan tetap tanpa kompromi.
"Kana." Kana menyebutkan namanya.
Sangat terlambat, Kana ingin tertawa keras. Lima menit dan dia dibilang sangat terlambat?
"Jangan menganggap karena anda satu-satunya wanita dalam tim ini, maka anda akan diperlakukan berbeda." Suara yang keluar dari bibir laki-laki itu semakin tajam dan dingin.
Darah Kana seketika mendidih. Kana tidak suka dibeda-bedakan dengan laki-laki dalam pekerjaan. Bidang teknologi informasi benar-benar memerlukan lebih banyak lagi software engineer wanita. Jangan lagi ada orang yang mengatakan bahwa bidang ini identik dengan dominasi laki-laki. Kana berharap akan semakin lagi lulusan-lulusan Computer Science yang mau mejadi programer—bukan kerja di bank, maskapai asuransi atau PNS. Supaya cukup orang untuk mendirikan serikat programer wanita. Sehingga mereka bisa bersatu memberikan perlawanan jika programer laki-laki memandang programer wanita sebelah mata. Seperti project manager baru ini.
Sejak masih kuliah dulu, Kana tahu wanita masih menjadi golongan minoritas dalam bidang ini. Delapan puluh persen isi kelasnya adalah laki-laki. Tetapi apakah lantas dosennya memberikan materi dan tugas yang lebih mudah kepada Kana dan mahasiswa perempuan lain? Begitu pun ketika sudah bekerja. Setiap project manager tidak pernah memberinya tugas yang lebih ringan hanya karena Kana adalah satu-satunya wanita dalam tim mereka.
Kana tidak tahu kenapa laki-laki ini sinis sekali dengan kata wanita. Nada bicaranya berbeda ketika menyebut kata wanita. Seperti, kalau tidak perlu, laki-laki itu tidak akan mengucapkan satu kata tersebut. Apakah ini ada kaitan dengan urusan pribadi? Atau pekerjaan? Dalam hati Kana bertanya-tanya.
"Saya tekankan sekali lagi." Suara berat dan tajam itu kembali terdengar. "Kita semua harus menghargai waktu dan jangan terbiasa membuat orang lain menunggu."
Demi Tuhan, Kana baru terlambat satu kali. Sebelumnya Kana tidak pernah terlambat melakukan apa pun, dia orang yang teratur dan selalu tepat waktu. Hari ini Kana sedikit tidak beruntung saja, karena saus ekstra pedas sialan itu. Bukankah ini hari pertama atasannya itu bekerja? Seharusnya mereka berkenalan dan beramah-tamah dulu, bukan langsung rapat dengan sangat serius dan mengerikan seperti ini.
Kana urung mengatakan maaf dan memilih duduk di sebelah Alen. Meminta maaf pun tidak akan ada gunanya, jadi kenapa dia repot-repot membuang tenaga?
"Dari mana?" Alen, yang duduk di samping Kana, berbisik.
Kana memandang ke depan sekilas. Laki-laki berwajah dingin itu sudah kembali mencoret-coret papan tulis di depan mereka. Kana menyalakan tabletnya sambil menghela napas panjang. Dingin. Dingin. Dingin. Mimik muka, gestur tubuh, dan pembawaan atasannya tidak mengandung kehangatan sama sekali. Besok lagi Kana akan mengenakan parka saat berhadapan dengan atasannya.
"Sakit perut." Setelah sekali lagi memastikan bos barunya tidak melihat ke arahnya, Kana berbisi sambil meringis dan memegangi perutnya.
"Ada masalah yang perlu didiskusikan?" Sepasang mata tajam itu kembali menyambar Kana, membuat Kana heran apa orang itu punya mata di belakang kepala.
"Tidak." Kana menjawab singkat. Masih dongkol dan sebenarnya ingin berdebat karena tidak terima diperlakukan dengan tidak adil seperti tadi. Tetapi dia memutuskan untuk diam dulu kali ini. Biarlah laki-laki itu menikmati hari pertamanya dengan senang.
Selanjutnya atasan Kana menjelaskan mengenai cara kerja tim mereka nanti—dengan bahasa Indonesia yang terlalu formal dan aksen yang aneh. Juga memberi kesempatan kepada setiap orang untuk menjelaskan bagaimana selama ini mereka bekerja, baik secara individu maupun dalam tim. Kana mencoba fokus mendengarkan semua penjelasan, meskipun telinganya terganggu. Laki-laki itu mengganti kata 'mungkin' dengan 'munggin'. Dalam hitungan Kana, ada lima kali bosnya tertukar huruf g dengan k.
Alen dan lainnya sudah menjelaskan banyak hal, sehingga Kana merasa tidak perlu berpartisipasi dalam diskusi ini. Sebenarnya Kana bukan orang yang suka menjadi pengikut. Biasanya dia suka mengemukakan pendapat. Tetapi kali ini, suasana hatinya sedang buruk sehingga dia berpikir diam adalah pilihan terbaik. Daripada Kana mengedepankan emosi dan meninggalkan logika.
"Ada masukan untuk tim baru kita?" Tatapan laki-laki itu kembali kepada Kana.
Kana mengerang dalam hati. Tidak suka dengan cara laki-laki itu menatapnya. Begitu intens, membuat Kana merasa kepercayaan dirinya terisap habis ke dalam mata biru, yang mengingatkan pada liburan terakhirnya di pantai. Biru seperti langit dan lautan luas. "Saya berharap tidak ada lembur pada hari Sabtu dan Minggu."
"Bisa kita usahakan. Asalkan kita semua tidak membuang-buang waktu."
Kana mengatupkan bibir rapat-rapat, tahu bahwa atasannya itu tengah menyindirnya. Sisi baiknya, tampaknya laki-laki itu adalah orang yang efisien dan tidak banyak basa-basi. Dalam hati Kana bertanya-tanya, akan seperti apa hari-hari mereka di bawah supervisi orang sekaku ini.
(Bersambung)