webnovel

TANTANGAN DAMIAN

"Aku berharap suatu saat kamu bisa mengerti dengan alasan yang sudah kuberikan padamu." ucap Luna dengan air mata tertahan menggenggam tangan Alvaro dan menciumnya berulang-ulang sebagai permintaan maaf.

"Tok... Tok... Tok"

Terdengar suara pintu terketuk beberapa kali kemudian terbuka dengan pelan.

Luna menoleh ke arah pintu dan melihat Damian masuk dan menghampirinya.

"Maafkan aku Lun, aku baru membaca pesanmu. Setelah dari rumahmu aku langsung tidur, untung saja aku selalu terbangun tengah malam." ucap Damian sambil melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

"Tidak apa-apa Dam, maaf sudah merepotkan kamu." ucap Luna seraya mengusap air mata yang tersisa.

"Tidak sama sekali. Bagaimana keadaan Alva? apa kata Dokter?" tanya Damian seraya berdiri di samping Alvaro.

"Sakit tipesnya sudah sangat parah, karena itu Alvaro pingsan. Aku melihatnya di dapur sudah dalam keadaan pingsan." ucap Luna masih merasa sedih dengan keadaan Alvaro yang tidak ada yang menjaga di saat sakit.

"Mungkin aku terlalu sibuk hingga tidak memperhatikan keadaan Alvaro. Aku pikir Alvaro hanya demam biasa saja. Apalagi dia tidak mengatakan apa pun padaku." ucap Damian dengan hati bertanya-tanya bagaimana Luna bisa ada di rumah Alvaro.

"Alva memang seperti itu. Tidak pernah menunjukkan kelemahannya di depan orang lain." ucap Luna sedikit mengungkap sifat Alvaro.

"Sepertinya hampir mirip denganmu. Aku melihat kamu juga seperti itu." ucap Damian dengan tersenyum sambil menatap dalam kedua mata Luna.

Luna menelan salivanya dengan wajah sedikit memerah.

"Kenapa jadi membahas tentang aku?" ucap Luna berusaha untuk tetap tenang dengan tatapan Damian yang terlihat lain tidak seperti biasanya.

"Aku hanya menanggapi tentang sifat Alvaro saja. Dan sifat Alvaro hampir sama denganmu itu saja. Tidak ada yang berlebihan dengan tanggapanku kan? atau tanggapanku salah dalam menilai kamu?" ucap Damian dengan tersenyum.

"Tidak ada yang salah. Aku rasa sebagian orang, banyak yang menyimpan perasaan hatinya tanpa mengumbarnya bukan aku saja. Benarkan?" ucap Luna membalas tatapan mata Damian.

"Tepat seperti yang aku pikirkan. Kamu bukan wanita yang lemah yang begitu mudah di kalahkan." ucap Damian masih dengan tersenyum dan tatapan mata yang sangat dalam.

"Dalam hal ini, aku rasa kamu salah. Tidak semua wanita yang mampu menyimpan perasaannya adalah wanita yang kuat." ucap Luna seraya bangun dari duduknya dan mengambil jaketnya yang tergeletak di meja.

"Syukurlah kalau pemikiranku salah, itu berarti kamu masih seorang wanita yang punya hati dan cinta." ucap Damian mengikuti gerakan Luna lewat pandangan matanya.

"Di usia yang sudah seperti kita, sepertinya sudah sangat terlambat untuk membahas tentang cinta." ucap Luna lagi mengambil kunci mobilnya di atas meja kemudian berjalan ke arah pintu.

"Kamu mau kemana Luna?" tanya Damian segera bangun dari duduknya mendekati Luna.

"Aku harus pergi sekarang sebelum Alvaro sadar. Aku minta padamu jangan bilang pada Alvaro kalau aku yang membawanya ke sini. Bilang saja kalau kamu yang melakukannya." ucap Luna dengan tatapan dingin.

"Apa itu suatu permintaan atau perintah?" tanya Damian dengan wajah serius.

"Anggap saja permintaan dariku." ucap Luna menatap Damian sekilas kemudian bergegas keluar kamar.

Damian mengusap tengkuk lehernya menatap kepergian Luna yang menghilang dari balik pintu.

"Ternyata sangat dingin dan keras kepala. Pantas saja Alvaro tidak mau berurusan dengannya. Ternyata tidak punya hati dan perasaan. Tapi kenapa aku semakin tertarik dan menyukainya?" ucap Damian dalam hati dengan tersenyum merasa tertantang ingin tahu siapa sebenarnya Luna Darries.

Setelah Luna pergi, Damian kembali mendekati Alvaro. Saat melihat kepala Alvaro bergerak segera Damian mendekatkan wajahnya agar suaranya bisa di dengar Alvaro.

"Akhirnya kamu bangun juga Man." ucap Damian saat Alvaro membuka matanya dan menatapnya dengan tatapan bingung.

"Aku ada di mana? kenapa aku bisa ada di sini?" tanya Alvaro sambil memegang kepalanya yang terasa pusing dan badannya yang masih terasa lemas.

"Kamu pingsan Al. Aku ke rumahmu dan melihatmu pingsan di dapur. Aku yang membawamu ke sini." ucap Damian dengan tenang dan sangat meyakinkan.

"Benarkah? aku tidak ingat apa pun. Yang aku ingat aku mau mengambil air minum di dapur. Tiba-tiba saja kepalaku terasa berputar-putar, mataku berkunang-kunang dan tubuhku terasa dingin. Setelah aku merasakan hal itu aku tidak ingat apa-apa lagi." ucap Alvaro menceritakan apa yang dia rasakan.

"Tentu saja kamu mengalami hal seperti itu karena kamu dalam keadaan sakit yang tidak kamu rasakan. Apa kamu tahu, apa yang di katakan Dokter? kamu sakit tipes yang cukup parah. Jadi jangan lagi kamu melawan pesan dari Dokter untuk beristirahat total." ucap Damian dengan sungguh-sungguh.

"Aku sudah tahu itu, tapi aku pikir sakitku tidak separah itu karena aku masih bisa berpikir dan bekerja. Tapi saat tadi, aku benar-benar merasa kedinginan dan tidak mampu lagi untuk berdiri." ucap Alvaro memberi alasannya pada Damian.

"Sekarang apa yang kamu rasakan? Apa kamu masih merasa kedinginan atau sudah merasa lebih baik?" tanya Damian sedikit merasa iri bila ingat perhatian Luna pada Alvaro.

"Aku sudah lebih baik, terima kasih sudah membawaku ke sini Dam." ucap Alvaro tanpa tahu apa yang sebenarnya yang terjadi.

"Tidak perlu berterima kasih padaku. Kita adalah satu tim kerja. Apa pun yang akan terjadi di antara kita nanti, kita harus saling menyelamatkan." ucap Damian sambil menepuk pelan bahu Alvaro.

Alvaro hanya menganggukkan kepalanya sangat paham dengan apa yang dikatakan Damian.

"Tok...Tok...Tok"

Dengan reflek Damian dan Alvaro menoleh ke arah pintu saat mendengar suara pintu terketuk.

Tanpa berkata apa-apa Damian bangun dari duduknya dan berjalan ke pintu untuk mengetahui siapa yang datang.

"Dokter?? Suster?? silahkan masuk Dokter." ucap Damian sedikit heran dengan sikap Dokter muda dan Suster cantik yang sangat sopan sebelum masuk ke dalam kamar mengetuk pintu lebih dulu.

"Maaf mengganggu, sudah waktunya saya memberikan suntikan pada pasien." ucap Dokter dengan ramah sambil menyiapkan suntikan untuk Alvaro.

Tanpa berkata apa-apa Alvaro menurut saja apa kata Dokter.

"Oh ya Tuan, di mana teman wanita anda yang sudah membawa anda ke sini? karena dia masih belum menandatangani formulir yang dia isi untuk data anda." ucap Perawat mendekati Alvaro dengan tersenyum ramah.

"Teman wanita Suster? Apa anda tidak salah? yang membawaku ke sini adalah dia, Damian temanku." ucap Alvaro dengan kening berkerut.

"Maaf Tuan, aku rasa aku tidak salah karena aku sempat bicara dengannya dan dia yang mengisi formulir data pribadi anda." ucap Suster itu ikut merasa bingung dengan sikap Alvaro.

Alvaro terdiam mencerna apa yang sudah di katakan Suster padanya.