webnovel

Belajar Bersabar Seperti Haoran

Emma tidak sempat memikirkan kenapa ia tiba-tiba dapat membaca pikiran Haoran karena perasaan euforia pelan-pelan memenuhi kepalanya. Saat mereka berciuman, ia merasakan betapa lembutnya bibir Haoran dan tanpa sadar Emma mengulumnya dengan penuh rasa ingin tahu.

Ia tidak tahu bahwa bibir seorang laki-laki bisa terasa manis dan segar seperti ini. Ah, Emma sangat menyukai bibir Haoran.

Pemuda itu menyadari Emma sangat menyukai ciumannya dan memberanikan diri untuk bertindak sedikit lebih jauh. Ia menarik tubuh Emma lebih dekat dan balas melumat bibir Emma lalu perlahan menerobos bibirnya yang sedikit terbuka dan memasukkan lidahnya untuk menjelajahi mulut gadis itu, membelit lidahnya dan mengisap dengan lembut secara bergantian.

Emma cepat belajar dan mengimbangi tindakan pemuda itu. Selama beberapa menit keduanya berpagutan di sofa, dengan tangan Emma masih melingkari leher Haoran, dan tangan pemuda itu memeluk pinggangnya.

Gerakan keduanya begitu selaras dan saat Emma akhirnya melepaskan diri, Haoran juga melakukan hal yang sama, tanpa dikomando.

Keduanya lalu saling bertatapan dengan wajah yang sangat dekat dari satu sama lain.

--Kau cantik sekali-- Haoran menatap Emma dengan pandangan kagum yang sangat kentara.

"Terima kasih," kata Emma pelan, pipinya merona merah. Ia tahu dirinya cantik, tetapi baru sekarang ia merasa senang dipuji karena penampilan fisiknya.

"Terima kasih untuk apa?" tanya Haoran keheranan.

Barulah Emma sadar bahwa tadi Haoran tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya membaca pikiran pria itu. Wajah Emma tampak tertegun. Ia berusaha mencari alasan agar Haoran tidak curiga.

"Hmm... terima kasih karena kau memikirkanku dan masalahku. Aku menjadi bersemangat dalam pencarianku karena ada dirimu," kata Emma. Ia akhirnya berhasil menemukan alasan yang tepat.

"Oh..." Haoran mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih juga untuk... yang tadi. Ahem... migraineku sekarang hilang."

"Benarkah?" Emma memiringkan kepalanya sedikit dan tampak mengingat-ingat. "Mungkin karena saat kita berciuman tadi hormon oxytocin mengalir ke otakmu dan memberi sinyal bahagia. Oxytocin dalam jumlah besar dapat menghilangkan rasa sakit dan menekan stress."

Haoran memandang Emma dengan sepasang mata yang tampak geli. Ia tahu Emma genius dan mengetahui banyak hal. Gadis itu bahkan masih dapat membahas tentang bahan kimia yang dilepaskan otak saat berciuman.

"Pasti kau benar," kata pemuda itu akhirnya sambil mengangguk. Ia lalu melepaskan tangannya dari pinggang Emma dan membetulkan duduknya. Emma pun telah melepaskan tangannya dari leher pemuda itu.

"Aku senang mendengar sakit kepalamu sudah hilang," kata Emma. Ia lalu kembali mengambil laptop Haoran dan meneliti isinya. "Kau bilang punya referensi untuk kupelajari?"

"Oh, ya.. aku menyimpan banyak tautan di notes di dalam laptopku. Mari kutunjukkan."

Haoran memiringkan tubuhnya dan membuka sebuah dokumen di desktop. Di sana banyak tautan dan bahkan catatan singkat tentang berbagai materi yang mungkin dibutuhkan Emma. Gadis itu membulatkan matanya dan tersenyum gembira.

"Ini sangat lengkap. Terima kasih!" Ia menyentuh pipi Haoran lalu kembali memusatkan perhatiannya pada laptop pemuda itu.

"Silakan baca-baca. Sepertinya di liburan musim panas ini, kita semua akan sibuk. Aku dan teman-teman akan mengambil kelas musim panas untuk memperbaiki total nilai ujian kami agar bisa masuk ke kelas A, dan kau ke NUS untuk belajar computer science," kata Haoran.

"Kau sudah memikirkan semuanya," komentar Emma.

"Yah, begitulah. Ingat, aku sudah membuat rencana hingga enam tahun ke depan," jawab Haoran. "Aku orang yang sangat sabar kalau aku menginginkan sesuatu."

Emma menoleh ke arah Haoran dan tersenyum sekilas. Ia mengakui Haoran memang sabar. Selama hampir empat bulan mereka saling mengenal, Haoran sama sekali tidak melakukan hal-hal di luar kewajaran dalam mendekati Emma. Walaupun mereka banyak menghabiskan waktu bersama, Haoran juga tidak menunjukkan bahwa ia menyukai Emma secara terang-terangan.

Ia menjaga jarak dari Emma di sekolah sehingga tidak banyak orang yang mengetahui kalau mereka berteman dekat. Selama belajar bersama, mereka juga selalu bersama David, Alex, Dinh, dan Eric, Haoran tidak mendekati Emma secara romantis. Tetapi secara pelan namun pasti ia berhasil menanam kesan mendalam pada gadis itu.

Kini, di hari terakhir mereka di Paris, ia berhasil mendapatkan ciuman dari Emma, bahkan tanpa inisiatif dari pihaknya. Ha!

"Kau memang orang yang sabar," kata Emma setuju. "Aku mau belajar sabar sepertimu."

"Kalau kau ingin menjadi sabar sepertiku, kau harus sering bersamaku," kata Haoran santai. "Ingat, kau akan menjadi seperti orang-orang yang ada di dekatmu. Itu sebabnya orang yang memiliki teman-teman pemalas akan menjadi pemalas juga."

Emma tidak membalas lagi. Ia tahu Haoran benar.

"Silakan kau membaca-baca, aku akan mengemas barang-barangku ke dalam koper." Pemuda itu lalu permisi masuk ke kamar tidurnya dan mulai berkemas. Emma membenamkan dirinya pada beberapa referensi yang sudah disiapkan Haoran. Sesekali ia membuat catatannya sendiri.

Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat karena keduanya sibuk. Jam makan siang pun tiba dan Haoran memesan makan siang di dalam kamar. Keduanya menikmati makan siang sambil berbincang-bincang tentang rencana kelas musim panas mereka.

"Kurasa dengan nilaimu kemarin, tidak akan sulit bagimu masuk Kelas A," kata Emma sambil menikmati jus buahnya. "Tapi aku tidak tahu dengan yang lain. Mereka mungkin harus puas pindah ke Kelas B dan C. Apakah mereka tidak akan keberatan?"

"Kita lihat saja nanti," kata Haoran. "Yang jelas mereka tetap harus berusaha dan tidak boleh menyerah di awal."

"Aku setuju."

***

Pukul tiga sore rombongan murid-murid St. Catherine sudah berkumpul di lobi Hotel Nobel dan bersiap untuk berangkat ke bandara. Beberapa siswa menyempatkan diri untuk berfoto bersama dan mengunggah pengalaman mereka di media sosial.

Emma merasa sedikit berat saat melangkahkan kaki ke dalam shuttle bus. Ia sudah menemukan apa yang dicarinya, yaitu informasi tentang orang tuanya, dan ia juga telah memperoleh sebagian besar ingatannya, tetapi ia masih belum rela untuk meninggalkan Prancis.

Ia masih merasa tempat ini adalah rumah keduanya, tempat ia lahir dan menikmati beberapa tahun pertama hidupnya bersama orang tuanya. Sekeping hatinya tertinggal di sini.

"Ayo, Emma. Jangan melihat ke belakang, nanti kau akan sedih," kata Haoran pelan. "Nanti kita bisa ke Paris lagi. Sekarang kita harus pulang."

Emma mengangguk. Ia memang harus pulang. Ia harus belajar bersabar seperti Haoran.

Chương tiếp theo