Suasana tegang menyelimuti seisi mobil yang dikemudikan oleh Darren. Setelah mengetahui jika pria itu mengambil alih mobil yang dia sewa, Daryo tidak sanggup berkata apa-apa lagi.
Sedikit pun tidak dia pertimbangkan hal seperti ini akan terjadi. Yang ada di pikirannya hanya, kedua pria ini akan mengejarnya saja. Atau sekadar mengikuti dari belakang. Sayang dugaannya meleset parah.
Begitu pun dengan Mira. Sedari tadi dia hanya diam. Matanya yang berkaca-kaca menatap Daryo. Bimbang serta kecewa. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Apa Daryo telah membodohinya? Pikirannya berkecamuk. Pun perasaan takut dengan kemungkinan yang bisa saja menimpanya, mulai menggerogoti hati wanita itu.
Mira beringsut semakin mendekat ke pintu mobil. Kedua tangannya mendekap anak perempuannya dengan erat. Naluri seorang ibu yang selalu ingin melindungi anaknya aktif seketika. Dia tidak akan membiarkan kecerobohan yang telah diperbuat oleh suaminya, membahayakan anak satu-satunya itu.
Sementara si anak, dia pun mengeratkan pegangan tangannya pada sang ibu. Sesekali dia mendongak dengan tatapan polos. Meski begitu, terpancar kegelisahan dari sana.
Sepertinya dia dapat merasakan keresahan di hati ibunya. Telepati antara ibu dan anak. Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang tengah terjadi di antara keduanya.
"Jadi, kita akan ke mana?"
Darren tiba-tiba menghentikan lagi laju mobilnya. Dia berbalik dan menatap kedua targetnya dengan senyum mengejek.
Daryo hanya menatap Darren dengan ekspresi takut. Lalu beralih pada Mira. Keduanya bertatapan dengan raut penuh pilu. Mira menggeleng beberapa kali. Hingga tanpa sadar air mata keluar dari pelupuk matanya.
Daryo merasa bersalah. Sungguh. Dia sama sekali tidak bermaksud untuk membawa mereka pada masalah ini, yang semakin dalam dan rumit.
"Jawab, Daryo!" titah Darren dengan nada suara yang dingin dan penuh penekanan. Senyum sudah lenyap dari wajahnya dalam sekejap.
Anak Mira yang awalnya fokus memperhatikan jalan di luar sana, kini beralih pada Darren. Mata bulat lucunya menatap dengan rasa takut yang kentara.
Sadar atas apa yang telah diperbuat, dalam sekejap pria muda itu kembali mengumbar sebuah senyum pada ketiganya. Lalu mengambil satu permen dari saku jaket dan menyodorkannya pada anak Mira.
Dengan ragu, anak itu hendak mengambilnya. Meski dia sempat takut, tapi siapa yang bisa menolak permen? Ketika tangan mungilnya hampir mengambil makanan manis itu, secara tak terduga Mira menepis tangan Darren sampai permen itu terpental ke kolong kursi.
"Jangan menerima permen dari ... o-orang asing, Nak!"
Pelukannya menjadi semakin erat. Hal itu sukses membuat anaknya merengut. Antara kecewa dan takut yang kembali datang menyelimuti.
"Aku bukan orang asing."
Darren mengulum senyum. Setelah menatap anak itu cukup lama, dia kembali menjalankan kendaraan beroda empat itu. Melaju dengan kecepatan rata-rata.
"Dan karena Daryo tidak menjawab, aku simpulkan kalian batal pergi ke kantor polisi."
Lagi. Darren tertawa sendiri. Seolah itu lucu baginya. Suasana hati pria ini tampaknya mudah sekali berubah-ubah. Pun ekspresi yang dia umbar, dengan gampang berganti dan membuat bingung.
Mobil kembali melaju dengan suasana sunyi yang mencekam. Satu pun tidak ada yang berinisiatif untuk memulai pembicaraan lagi. Daryo dan Mira, lagi-lagi keduanya hanya saling tatap.
Hal itu tentu disadari oleh Darren, dan membuatnya mengulum senyum melihat raut bimbang dari wajah keduanya. Terutama ketika dia menatap Daryo. Seolah ada rencana tak terduga untuk pria itu.
Waktu berlalu cukup lambat bagi kedua orang itu, tapi tidak untuk Darren. Angka pada jarum jam yang melingkar di pergelangan tangan Daryo, sudah menunjuk pada angka lima lebih tiga puluh menit. Itu berarti mereka menempuh perjalanan dua jam lebih dari Bogor.
Mobil yang mereka kendarai sudah mulai memasuki area Rusun Kembang Wangi. Tempat keduanya tinggal. Darren dan Arthur tidak sebodoh itu untuk membawa keduanya ke markas langsung.
Fakta bahwa Daryo hendak melaporkannya pada polisi, sudah cukup membuat mereka waspada. Orang yang tengah merasa tidak aman seperti Daryo, cenderung bertindak gegabah. Melakukan segala hal agar selamat, tidak peduli dengan konsekuensi yang akan didapat.
Sampai di area parkir, Darren langsung turun dari mobil dan meminta kedua penumpangnya untuk keluar juga. Mau tidak mau, mereka hanya bisa menurut. Keluar dari mobil dan langsung diapit oleh Arthur dan Darren.
"Pada akhirnya, kalian kembali lagi ke tempat ini." Darren berucap.
Pria dengan rambut dicat warna coklat terang itu, menarik tangan Daryo dan menyeretnya untuk berjalan bersama. Diikuti oleh Mira yang tangannya digenggam oleh Arthur. Cukup keras sampai membuat wanita itu meringis kesakitan.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba dari arah berlawanan datang tujuh orang berbaju serba hitam dengan terburu ke arah mereka. Tanpa rasa curiga, Arthur dan Darren pun menghentikan langkah seketika.
Sedikit menepi. Memberi orang-orang itu jalan untuk lewat. Namun, bukannya terus berjalan, mereka justru berhenti tepat satu meter dari posisi Darren dan Arthur.
"Mana yang namanya Daryo?!"
Salah satu dari orang-orang itu, dia yang berbadan paling besar melontarkan pertanyaan dengan nada membentak.
Mira meringis mendengarnya, dan segera menutupi telinga anaknya. Selain nada suara yang terdengar garang, raut wajah para pria itu juga terlihat tidak ramah. Daryo yang namanya disebut, nyalinya ciut seketika. Tanpa sadar dia beringsut bersembunyi di balik badan Darren yang tinggi.
Apa lagi ini? Siapa mereka? Berbagai pertanyaan mulai memenuhi otak Daryo. Pun otak kedua pria yang membawanya pulang.
"Kalian ini siapa?" Darren balik bertanya. Matanya menatap mereka satu per satu. Nihil. Satu pun tidak ada yang dia kenal.
Pria dengan badan paling besar itu menggeram. "Jangan balik bertanya! Jawab saya pertanyaan tadi dan urusan selesai!"
Tautan di alis Arthur dan Darren muncul. Keduanya menatap Daryo dengan tatapan penuh intimidasi. Meminta sebuah penjelasan.
Daryo hanya menggeleng berulang kali. Bagaimana dia bisa tahu siapa orang-orang itu? Bukankah yang selalu melibatkannya dengan bahaya adalah keduanya?
Orang-orang itu tidak bodoh. Dengan cepat mereka menyadari jika Daryo adalah pria yang paling pendek. Dengan senyum mengejek, dia memperhatikan mantan tukang ojek online itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Jadi kau yang bernama Daryo? Manusia rendahan sepertimu, berani sekali mengusik kehidupan Tuan Adithama!"
Pria itu berjalan dan hendak menarik lengan Daryo. Jika saja Darren tidak menepis tangannya, incaran mereka bisa saja berpindah tangan dalam sekejap.
Mendengar nama Adithama disebutkan, otak kedua pria itu langsung tertuju pada pemilik dari Guta Corporation yang tengah berusaha kelompoknya hancurkan. Seringai terpatri di wajah Arthur. Tidak menyangka jika rencana Joe Orlando untuk memancing kemarahan salah satu petinggi Black Alpha, sukses tanpa hambatan. Padahal cara yang dipakai bisa dibilang begitu murahan.
Satu yang membuatnya bertanya-tanya. Dari mana mereka tahu jika Daryo yang membuat artikel itu? Apa Darren melupakan sesuatu?
Padahal jika tidak terendus secepat ini, kelompoknya memiliki rencana lain untuk menghancurkan perusahaan itu dengan kekuatan tulisan yang Daryo buat.
"Ah, padahal aku sudah memberimu akun penulis yang sudah tidak terpakai. Tapi sepertinya menggunakan laptop itu di tempat ini, adalah kesalahan besar." Ucapan Darren sukses membuat mata Arthur membola.
Benar. Setelah selesai mengunggah artikel itu di beberapa platform, mereka memberikan laptop itu pada Daryo. Mungkin dia memakainya di rumah. Lalu kesialan pun terjadi. Sepetinya pihak Guta Corporation melacak pembuat dan pengunggah artikel itu melalui alamat IP yang dipakai.
Melacak seorang pelaku kejahatan di media sosial dengan cara ini, memang tidak pernah salah sasaran dan selalu berhasil. Meski begitu, masih ada beberapa aspek yang seharusnya mereka pertimbangkan sebelum membawa Daryo. Barang bukti, misalnya.
Mendapat perlakuan tidak ramah dari Darren, membuat pria berbadan besar itu menyeringai. Dia berbalik dan menatap rekannya yang lain. Gelak tawa keluar dari mulut mereka. Seakan ada hal yang menggelitik perut.
"Kalian minta dihajar juga, eh?"
Pria berbadan besar itu kembali menyeringai. Dia meregangkan otot-otot badannya. Seperti tengah melakukan pemanasan.
Hal itu berhasil membuat wajah Daryo berubah semakin pucat pasi. Habis sudah riwayatnya kali ini. Jika dipikir lagi, berurusan dengan polisi jauh lebih baik. Setidaknya dia tidak akan mati babak belur seperti yang tengah benaknya bayangkan.
Melihat gelagat pria dan rekan-rekannya itu yang seolah akan menyerang, Arthur dan Darren memasang kuda-kuda seketika. Ini adalah kali pertama mereka berhadapan dengan anggota Black Alpha. Itu berarti kewaspadaan harus ditingkatkan. Keduanya tidak tahu kemampuan bela diri mereka seperti apa. Terutama pria berbadan besar di depan sana.
Tidak membuang banyak waktu, mungkin karena sudah kesal dengan dua orang yang melindungi Daryo, ketujuh pria tadi menyerang mereka dengan brutal. Perkelahian yang tidak seimbang pun dimulai. Tiga orang berlari ke arah Darren, dan empat lainnya ke arah Arthur.
Darren yang pada dasarnya lebih ahli dalam pertarungan satu lawan satu, kini dibuat kewalahan. Ditambah lagi, dua dari lawannya itu membawa balok kayu sebagai senjata. Sementara yang satu lagi, cukup dengan tangan kosong.
Berulang kali balok kayu dari salah satu lawannya mengenai tubuh Darren. Membuat pria itu meringis kesakitan. Bahu dan kepalanya selalu menjadi sasaran. Meski begitu, lawan yang tidak menggunakan senjata sudah berhasil dia lumpuhkan. Darren menendang tulang keringnya sampai pria itu berlutut, lalu kembali menendang wajahnya. Tak ayal, dia terpental.
Sial bagi Darren. Satu pukulan kembali mengenai bahunya. Dia tersungkur dan tentu saja, kedua lawannya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menghajarnya sampai puas.
Beralih pada Arthur. Pria muda itu dengan mudah telah melumpuhkan tiga dari lawannya. Mereka sama sekali tidak menggunakan senjata apa pun, terang saja mudah untuk dilumpuhkan.
Tersisa pria berbadan paling besar yang tampaknya membuat dia kewalahan. Napasnya terengah dengan keringat mengucur dari wajah. Pun memar di sudut mata kiri sedikit mengeluarkan darah.
Keduanya saling tatap untuk beberapa saat. Pria itu menyeringai dengan ekspresi mengejek. Tanpa aba-aba, dia kembali menyerang Arthur. Kepalan tangannya mengarah pada wajah pria itu. Dengan sigap Arthur menghindar. Mengambil ancang-ancang untuk menyerang balik, tapi sayang dia kalah cepat.
Pria berbadan besar itu sudah mendahului dengan menendangnya di bagian perut. Arthur tersungkur dengan tangan menyentuh area yang sakit. Dia kembali meringis dan terengah-engah.
Daryo yang pada dasarnya tidak memiliki kemampuan bela diri, hanya bisa meringis melihat Arthur dan Darren yang berhasil dilumpuhkan dengan mudah. Tubuh pria itu gemetar ketakutan.
Sama halnya dengan Mira yang sudah menangis sejak tadi. Ketakutan semakin menjadi ketika menyadari pria besar itu berjalan ke arah mereka. Mira semakin erat memeluk anaknya.
Melihat bahaya datang, yang ada di otak Daryo hanya satu. Melarikan diri. Dia harus pergi dari mereka secepatnya jika ingin selamat. Dengan segenap keberanian yang tersisa, dia berlari ke sembarang arah. Meninggalkan Mira dan anaknya yang tengah menangis ketakutan.
Lihat, 'kan? Pengkhianatan bisa terjadi kapan saja. Tanpa bisa diduga sebelumnya. Bahkan ketika mereka sudah berkomitmen untuk saling mempercayai sekalipun.
Melihat target yang sudah melarikan diri, pria berbadan besar itu murka. Dia dengan tega memerintahkan dua dari rekannya untuk mengejar Daryo. Tidak peduli jika mereka terluka. Sementara dirinya sendiri? Yang dia lakukan hanya menatap Mira dan anaknya dengan bengis.
Sebuah ide muncul di kepala dengan rambut gondrong itu. Dia semakin mendekat pada Mira. Mira berjalan mundur. Terus mundur sampai tubuhnya membentur mobil yang disewa oleh Daryo. Sampai dia tidak bisa bergerak lagi.
Si rambut gondrong menyeringai. Sesekali tatapannya teralih pada Arthur dan Darren, yang masih tergeletak di tanah dengan kondisi memprihatinkan. Sepertinya dia sangat puas dan menikmati pemandangan yang ada. Pun raut ketakutan yang terpancar dari wajah Mira, seolah menjadi hiburan pelengkap yang tidak mungkin dia lewatkan.
Pria itu dengan cepat menarik si anak dari dekapan ibunya. Bersyukur, Mira memiliki refleks yang bagus. Dia sempat menahan anaknya itu.
Tarik menarik pun tidak bisa terhindarkan. Air mata Mira mengalir semakin tak terkendali. Dia panik bukan main. Ditambah, tangisan si anak yang begitu kencang membuatnya semakin kacau.
Ketika adegan tarik menarik itu tengah berlangsung, sebuah mobil berwarna hitam mendekat ke arah mereka. Seorang pria dan wanita keluar dari sana dengan terburu-buru.
Si pria mengeluarkan senjata dari balik jaketnya. Diarahkan ke udara. Satu tembakan pun menggelegar. Mengalihkan fokus orang-orang di depan sana.
Begitu juga dengan si pria berbadan besar. Dia sempat terkejut, tapi tidak sampai melepas tangan anak kecil itu. Tidak seperti Mira yang dengan refleks melepasnya dan berjongkok menutup telinga.
Hal itu tentu saja dimanfaatkan dengan cepat oleh si rambut gondrong. Dia segara memangku anak kecil yang sedang menjerit ketakutan itu. Tangan mungilnya memukul wajah dan berusaha berontak, tapi tenaganya kalah telak.
Tidak sampai di sana, pria itu juga menarik lengan Mira dan menyeretnya ke dalam mobil. Disusul oleh rekannya yang lain. Mereka pergi meninggalkan area itu seperti orang kesetanan.
Darren yang sudah berdiri dipapah oleh Arthur, dengan tergesa meminta kawannya untuk segera meninggalkan lokasi. Meski tertatih, tapi keduanya berhasil meloloskan diri. Memacu mobilnya dengan cepat.
Sementara dua orang yang baru datang tadi, mengejar kendaraan itu dan terus meminta untuk berhenti. Akan tetapi, sungguh tidak mungkin mengejar dua buah mobil dengan cara berlari.
Di ujung jalan sana, keduanya terengah. Dengan lesu, keduanya kembali ke dalam mobil. Menyalakannya dan berusaha mengejar kembali. Namun sayang, semuanya sudah terlambat. Mereka kehilangan jejak.
"Yang dibawa tadi itu pasti Mira dan anaknya," ucap wanita yang tidak lain adalah Kyra.
Kino yang duduk di sampingnya hanya mengangguk sebagai respons. Dia sibuk dengan buku catatannya, dan membuat Kyra berdecak kesal.
Di sela mengemudikan kendaraannya, sebelah tangan gadis itu mengambil buku catatan milik Kino. Membacanya sekilas. Lalu melemparnya pada si pemilik.
"Kau yakin?" tanya Kyra. Memastikan.
"Tentu saja. Jangan meragukan kemampuanku."
Kino memasukkan buku catatan itu ke saku jaket. Dia beralih pada ponsel miliknya dan menghubungi beberapa petugas lalu lintas. Meminta mereka untuk memberhentikan atau mengejar mobil dengan pelat nomor yang Kino sebutkan.
Meski selalu terlihat ceroboh, tapi daya ingatnya tidak bisa diremehkan begitu saja. Buktinya, dia bisa mengingat nomor pelat dari salah satu mobil tadi.
Hai semuanya ^^
Lama tidak up rasanya. Semoga bab ini cukup menghibur, ya.
Silakan tuliskan tanggapan kalian mengenai bab ini di kolom komentar.
Atau jika berminat, memberikan review juga silakan ^^
Terima kasih.