Tidak berselang lama setelah insiden itu, tim evakuasi beserta tim forensik langsung datang dan mengamankan sekitar. Mereka mengangkut mayat Trisna menggunakan kantung jenazah. Tubuhnya yang remuk, sedikit menyusahkan mereka untuk memindahkannya. Trisna yang sudah tak bernyawa, langsung dibawa menuju rumah sakit forensik.
Sementara Arvin, dia dibawa menggunakan ambulans menuju rumah sakit milik kepolisian. Penyidik itu masih belum sadar ketika mereka membawanya, membuat Kanit Gerdian tidak tenang.
Perasaannya campur aduk. Ini memang bukan kali pertama Arvin seperti itu. Bahkan ketika pertama kali ditugaskan di Jatanras dan diajak ke TKP olehnya, Arvin sampai muntah-muntah dan tidak sadar selama dua hari.
Bukan tanpa sebab, trauma yang pernah dia alami di masa kecil, membuatnya lemah jika melihat terlalu banyak darah. Daya tahan tubuhnya bisa menurun drastis. Meski tahu jika ditugaskan di lapangan akan sering menjumpai darah, tapi Arvin tetap keras kepala.
Kanit Gerdian sempat menukar posisinya dengan Bian, tapi hal itu justru membuat kacau penyidikan. Arvin tidak pandai melacak orang menggunakan kamera pengawas. Dia akan lebih unggul jika sudah beraksi secara langsung.
Oleh karena itu, meski khawatir dengan traumanya, Kanit Gerdian membiarkannya bertugas di lapangan lagi sampai sekarang. Dengan pengawasannya langsung tentu saja.
Bersyukur. Seiring berjalannya waktu, kondisi Arvin tidak separah dulu. Dia hanya akan merasa mual dan sedikit menghindar ketika berhadapan dengan darah. Namun, ada juga saat di mana dia akan memberanikan diri untuk mendekat dan memeriksa korban secara langsung. Membiasakan diri, Arvin bilang.
Sebenarnya inti masalahnya bukan berada pada darah. Melainkan pada korban. Terkadang, Arvin tidak terlalu bereaksi jika korban sudah tewas sebelum dia datang. Tidak seperti dulu yang akan langsung muntah.
Sekarang, justru akan sangat berdampak ketika mendapati korban meregang nyawa tepat di depan matanya. Seperti yang baru saja terjadi pada Trisna. Tubuh dan ingatannya seketika akan bereaksi. Itulah kenapa dia langsung tidak sadarkan diri.
Kanit Gerdian memacu kendaraannya mengikuti ambulans. Membelah jalan Jakarta yang mulai diterangi lampu-lampu jalan. Langit sudah gelap. Malam sudah mulai menyambut. Hari ini begitu tidak terduga baginya. Perburuan yang berujung kematian.
Dia jadi teringat akan mobil yang mereka tinggalkan di area pemukiman. Tim forensik pasti sudah memeriksa dan menggeledahnya. Pun dia yakin mobil itu sudah dipindahkan dari sana. Taksi itu nantinya akan menjadi salah satu bukti kejahatan Trisna. Jadi, mereka harus mengamankannya.
Tidak berselang lama, mereka sampai di rumah sakit. Arvin mendapat perawatan dengan segera. Setelah memastikan kondisinya, Kanit Gerdian meninggalkan tempat itu.
Dia menitipkannya pada dokter yang menanganinya. Tidak lupa, juga meminta agar segera memberinya kabar jika Arvin sudah sadar.
Hari yang melelahkan ini memang telah berakhir, tapi tidak dengan tumpukan tugas yang menggunung di kantor. Malam yang sibuk sudah menunggunya.
Dia harus segera menyusun berkas laporan dari kasus ini. Ditambah, tidak memakan waktu lama bagi tim forensik untuk mengidentifikasi taksi Trisna.
Mereka menemukan sebuah kapak terselip di bawah kursi pengemudi. Terdapat bercak darah juga di sana. Hal ini memberi mereka dugaan jika benda itu yang digunakan untuk memotong kedua tangan korban.
Sementara belati yang Trisna bawa, tidak mereka temukan di mana pun. Pada jenazah Trisna, mau pun di lokasi kecelakaan. Benda itu seolah raib begitu saja.
Sampai di kantor polisi, Kanit Gerdian mendapati Bian sudah menunggunya di depan pintu ruangan Unit I. Penyidik itu terlihat khawatir. Bagaimana tidak, rekannya tidak sadarkan diri dan dibawa ke rumah sakit. Tentu hal itu membuatnya tidak tenang.
Bian langsung menanyakan kondisi Arvin setelah mereka memasuki ruangan. Dan dengan senang hati Kanit Gerdian menjelaskannya. Menenangkan Bian sudah seharusnya dia lakukan.
Setelah mendengar penuturan Kanit Gerdian, dia mulai merasa tenang. Dan mulai mengerjakan laporan dari tugasnya selama penyelidikan ini. Baru saja jarinya menyentuh papan ketik komputer, seseorang masuk ke dalam ruangan. Bian sampai langsung berdiri dan memberi hormat. Begitu juga dengan Kanit Gerdian yang merasa begitu terkejut.
"Aku ingin laporan kasus ini diserahkan sebelum jam 8 besok malam," ucap orang itu. Yang tidak lain adalah Kasat Reskrim AKBP Irwan Syahreza.
Mata Bian membulat. Apa dia tidak salah dengar? Secepat itu? Oh ayolah. Mereka polisi, bukan robot.
"Secepat itu?" Kanit Gerdian pun merasa heran.
AKBP Irwan mengangguk, "Kita akan melakukan konferensi pers lusa. Pukul sembilan. Kasus ini akan segera selesai."
"Tapi ...."
"Tapi apa? Saya mengikuti perkembangan kasus ini dengan baik, apa ada yang saya lewatkan?" AKBP Irwan menatap Bian dengan sebelah alis yang terangkat.
Bian menatap Kanit Gerdian, seolah meminta persetujuan. Dan Kanit-nya itu menggeleng pelan.
"Apa ini mengenai telepon yang Iptu Arvin dapatkan?"
Bian tidak menghiraukan Kanit Gerdian. Dia mengangguk dengan pelan, sebagai jawaban dari pertanyaan yang AKBP Irwan ajukan.
"Anggap saja telepon itu tidak pernah ada."
Setelah mengucapkan itu, Kasat Reskrim langsung berlalu. Meninggalkan Bian yang masih menatapnya dengan mulut terbuka. Hendak melayangkan protes.
Lalu, dia beralih pada Kanit Gerdian. Tidak mungkin dia mengabaikan telepon itu. Jika Arvin tahu, dia bisa mengamuk.
"Apa kau sudah menemukan titik terang dari telepon itu?" tanya Kanit Gerdian pada akhirnya.
Bian menggeleng.
"Ya sudah kalau begitu." Kanit Gerdian hendak kembali menyibukkan diri dengan berkas laporannya.
"Apa Anda baru saja meminta Bian untuk berhenti menyelidiki tentang telepon itu?!"
Bian beserta beberapa orang di ruangan itu terperanjat kaget mendengar seseorang tiba-tiba berbicara. Dengan nada yang datar dan mengintimidasi. Mereka langsung menoleh ke arah sumber suara, dan mendapati Arvin tengah berdiri di depan meja Kanit Gerdian. Sejak kapan?
"Kau kabur dari rumah sakit?" Kanit Gerdian bangkit dari duduknya.
Dia menggiring Arvin untuk duduk di kursi milik penyidik muda itu. Dan menghiraukan pertanyaannya.
"Jawab pertanyaan saya terlebih dahulu!" Arvin menepis tangan Kanit Gerdian dengan kasar. Dugaan Bian tidak meleset, Arvin akan mengamuk.
Bisa dibilang, Arvin adalah satu-satunya penyidik yang berani melawan Ketua Unit-nya. Tidak ada penyidik lain yang berani melakukan itu. Dia dengan nada datar dan mengintimidasi, tidak jarang membuat Kanit Gerdian menyerah dan menuruti kemauannya.
Entah apa rahasianya, Bian ingin tahu. Karena dia juga ingin mempraktikkannya. Ck, dasar!
"Dengar, Arvin. Jika kita sudah pendapat pelakunya, apa menurutmu itu masih penting?"
"Tentu saja penting! Lagi pula, aku tidak yakin jika dia pelakunya." Arvin bersikukuh pada pemikirannya.
Sementara Bian dan penyidik lain di ruangan itu, mereka saling melempar pandangan satu sama lain. Apa tadi katanya? Aku? Sejak kapan Arvin berbicara seperti itu pada Kanit Gerdian? Selama ini dia tidak pernah mengganti kata saya menjadi aku. Ralat, selama yang mereka tahu.
"Kau memikirkan seseorang yang istri pelaku bicarakan?"
Arvin mengangguk. Menyadari salah ucap yang dia lakukan tadi, membuat rekan-rekannya yang lain menaruh curiga. Dia bisa melihatnya dari tatapan mereka.
"Singkirkan pikiran itu. Dan berhenti memikirkan orang yang bisa saja tidak ada sangkut pautnya dengan kasus ini." Kanit Gerdian menghela napasnya, "lusa akan diadakan konferensi pers. Itu artinya, kasus akan segera selesai."
"Tapi ...."
"Tidak ada tapi. Kita lihat saja beberapa minggu ke depan, jika terjadi kasus pembunuhan serupa, aku akan menuruti semua kemungkinan yang ada di kepalamu itu."
Kanit Gerdian berlalu menuju mejanya. Lihat, 'kan? Jika dugaan Arvin benar nantinya, bisa-bisa dia yang menjadi Ketua Unit I.
Arvin hanya mengerjapkan matanya berulang kali. Apa Kanit Gerdian baru saja membuat sebuah pertaruhan dengannya? Apa dia tidak belajar dari masa lalu? Ah, baiklah.
Kali ini Arvin akan mengalah. Dan lagi, jika kasus ini memang sudah selesai, itu berarti dia bisa bersantai sedikit. Tidak perlu dikejar waktu lagi.
Agenda berikutnya, Arvin berniat untuk meminta keterangan lebih lanjut dari Mira. Namun sayang, wanita itu tidak dibawa ke kantor polisi saat ini. Tentu saja. Suaminya mati mengenaskan, dan siapa yang tega meminta keterangan darinya di saat seperti ini? Tidak ada. Kecuali jika orang itu tidak memiliki hati.
Arvin hanya menatap mejanya dengan tatapan kosong. Laporan apa yang bisa dia tulis jika keterangan dari istri pelaku belum didapatkan? Dengan pemikiran itu, Arvin berjalan ke arah meja Bian. Melirik sekilas laporan apa yang sedang dia kerjakan. Setelahnya, penyidik muda itu berlalu dari ruangan.
***
Waktu yang telah ditetapkan pun akhirnya tiba. Konferensi pers benar dilakukan pada jam sembilan lebih sedikit. Kasat Reskrim AKBP Irwan yang memimpin.
Di depan para wartawan, dia membeberkan mengenai kasus pembunuhan satu keluarga yang menghebohkan ini. Merurut penyelidikan, kasus pembunuhan ini dilatarbelakangi oleh rasa dendam seorang mantan karyawan kepada mantan bosnya.
Kasat Reskrim juga memberitahu mengenai kedua tangan korban yang di potong dan ditandai pada media. Di meja panjang yang tersedia, dia menunjukkan sebuah kapak yang ternyata terdapat sedikit bercak darah milik Indra Wijaya. Sontak saja, suasana menjadi riuh. Para wartawan itu banyak yang mengajukan pertanyaan serupa, yaitu alasan kenapa tangan korban di potong.
"Tangan yang di potong bisa berarti sebagai penghukuman karena telah mencuri sesuatu. Dalam kasus ini, Indra Wijaya telah mencuri atau mengambil secara paksa harta benda milik pelaku, dan nyawa anaknya. Oleh sebab itu, pelaku memotong kedua tangannya." Kasat Reskrim menuturkannya dengan lancar.
"What the ...." Kino yang tengah berada di ruangannya. Menonton konferensi pers itu lewat tablet milik Kyra.
Dia dibuat berdecak kesal dengan penuturan AKBP Irwan. Pasalnya, dia yang mengutarakan hal itu. Beberapa hari lalu ketika Kasat Reskrim menanyakan perkembangan kasus yang juga ditangani Kanit Iva itu.
Kyra tertawa terbahak-bahak dibuatnya. Jika dia jadi Kino, dia akan bungkam waktu itu. Biar Unit I yang mencari alasan dipotongnya tangan korban itu. Begitu juga Kanit Iva, dia hanya mengulum senyum geli. Secara tidak langsung, Kino membantu Unit I memecahkan satu masalah.
Para wartawan itu menggelengkan kepala mereka, tidak percaya jika ada kasus seperti ini. Lalu, mereka kembali bertanya mengenai tanda apa yang pelaku ukir di telapak tangan korban.
"Tanda yang pelaku tinggalkan berupa tanda X di tangan kanan korban. Dan angka 02 untuk korban pertama atau si istri. Angka 08 pada korban kedua atau si anak, dan angka 10 pada korban ketiga, atau mantan bosnya ini. Angka-angka yang diukir di telapak tangan kiri para korban ini, tidak lain adalah tanggal eksekusi. Sementara huruf X dari dugaan kami, itu adalah inisial dari anak pertama pelaku yang meninggal. Bernama Xian Arta Sutisna."
Demikian konferensi pers itu berlanjut. Beberapa wartawan masih menanyakan beberapa hal. Latar belakang pelaku, hingga di perusahaan mana dia bekerja. Secara sabar, Kasat Reskrim menjawabnya satu per satu.
Dengan begini, kasus itu dianggap telah selesai. Pihak kepolisian juga sempat mengutarakan permintaan maafnya terhadap Daryo, karena telah salah tangkap. Nama baik pria itu mereka kembalikan, dan dia bisa kembali bekerja sebagai ojek online.
Sementara di dalam ruangan sebuah gedung mewah, seorang pria tua menonton acara itu dengan raut kesal. Penuturan mengenai tanda X dan angka itu, cukup membuat jantungnya berpacu dengan cepat. Pun tangannya terlihat sedikit gemetar menahan amarah.
Pria tua itu tidak lain adalah ayah Damian. Seseorang yang mengetahui arti sesungguhnya dari huruf X yang pelaku ukir.
Menurut tanggapan kalian semua bagaimana? Benarkah kasus ini telah usai?
Share ya, tanggapannya di kolom komentar ^^