webnovel

BAB 21

Neji menghirup dalam-dalam bunga yang dibelinya dari toko bunga Ino. Ia ingin menyambut kedatangan ibunya dengan sebuket bunga yang harum dan indah. Mengingat ibunya menyukai jenis lili, Neji berpikir untuk membelinya, berharap ibunya pasti akan menyukainya.

Namun begitu Neji melewati gapura kayu tua di rumahnya, setelah memarkirkan mobilnya pada tempat khusus deretan mobil keluarganya, seorang menyambutnya, tersenyum hangat. Neji terdiam, memandangi saksama laki-laki tua berjenggot putih itu. "Ibu dan ayahku sudah datang?"

"Sudah, mereka berada di ruang baca, ketika tahu kau sudah kembali, mereka menyuruhku untuk memberitahu dirimu," Neji membalas senyuman itu, mengangguk kecil, dan ia kembali melanjutkan jalannya. "Kudengar ini kabar tentang pernikahanmu." Neji berhenti melangkah. "Kukira mereka akan memberi kabar kalau pernikahan itu secepatnya diselenggarakan. Menurutmu bagaimana?"

Neji menghela napasnya, sambil memandangi buket bunganya, Neji kembali berjalan memasuki halaman, menjejakkan kakinya, seolah mengabsen jalan setapak. Kemudian dihadapkan pada dua penjaga yang membungkuk begitu mereka melihat kedatangannya. Neji membelok ke kanan, menyusuri lorong setelah mendaki empat anak tangga dan melepas sepatunya. Masih membisu sembari menjejakkan kakinya kini pada lorong berlantai kayu yang mulai menimbulkan sedikit berderik karena langkahnya yang berat. Sampailah Neji di ruang baca, dan asisten ibunya mengumumkan kedatangannya. Kemudian kedua penjaga wanita pada setiap sisi pintu menggeser pintu kayu tua ruang baca itu secara bersamaan.

Masuk ke dalam, Neji bisa melihat ibunya duduk bersimpuh, menyesap teh sementara ayahnya memandangi halaman hijau dan bunyi bambu yang berdentam mirip seperti detikan bom di dalam kepala Neji. Sunyinya membuat Neji tidak nyaman, tapi sebenarnya dia cukup terbiasa dengan keadaan itu.

Neji membungkuk sebentar, sampai akhirnya ibunya kembali meletakkan cawan teh ke atas tatakan kayu, dan tersenyum kepadanya. "Apa kabarmu?" pertanyaan itu membuat Neji menyunggingkan senyuman setelah ia pun berhasil memberikan bingkisan kepada ibunya. "Terima kasih untuk bunga lili-nya, ini sangat indah, dan tentu saja sangat harum." Seorang penjaga wanita yang ada di luar tiba-tiba masuk, mengambil alih bunga lili itu. "Letakkan di ruang minum teh." Perintah ibunya dengan senyuman yang lembut.

Setelah memberikan kecupan kecil pada masing-masing pipi ibunya, Neji duduk bersila. "Kami ingin membicarakan sesuatu." Ibunya membuka suara terlebih dahulu, sementara ayahnya terus memandangi halaman. Ia tahu, apa yang akan dikatakan oleh mereka, yang pasti ini bukan tentang Hinata, sebab nyatanya mereka belum tahu Hinata tidak ada di dalam paviliun pribadinya. Lalu, ini pasti bukan persoalan Hanabi yang terlalu pembangkang hingga memusingkan kepala mereka. Persis yang dia dapatkan begitu baru datang tadi, bahwa dia akan segera menikah—secepatnya.

"Hiruzen baru saja memberitahuku," Hiashi menengok sambil kini menyesap tehnya. "Sejujurnya, aku siap dengan apa yang kalian rencanakan. Aku tahu, bahwa kalian semua berusaha untuk membuatku nyaman terlebih dahulu dan membiasakan mengenal Shion lebih dalam." Ibunya tersenyum dengan wajah yang amat lega. "Ini tidak terlalu cepat, kukira sudah waktunya, dan mungkin bisa dikatakan waktu yang pas."

"Kau benar, ini waktu yang pas." Akhirnya, sang ayah membuka suaranya, memandanginya kini lekat-lekat. "Tapi kami perlu memikirkan tentang Hinata," dada Neji berdetak kuat, seakan-akan ada tombak yang mencoba mencongkel jantungnya. "Mereka mungkin saja tidak nyaman dengan adikmu."

Neji tersenyum kecut, mencoba tenang, walau sebenarnya ingin mengeluarkan seluruh kekesalannya. "Aku yang menikah, bukan Hinata." Neji amat tidak suka, ayahnya menyembunyikan kondisi adiknya, dan menganggap semua itu aib. Neji akan merevisi apa pun itu yang menyangkut sesuatu yang tidak bermoral ketika dunia semakin mengenal kebebasan dan semua orang memiliki hak-haknya masing-masing untuk menunjukkan jati diri mereka—terlepas dari mereka amat berdosa pula terlepas dari mereka seorang yang cacat pada fisik mereka. Seharusnya, hukum-hukum atau pandangan kuno itu dilenyapkan, memilih setidaknya yang masuk akal untuk tetap dipertahankan.

"Aku selalu bertanya pada diriku sendiri, mengapa ayah melakukan sampai sejauh ini," ibunya menyentuh lembut punggung tangannya, tetapi Neji mulai tidak terkontrol. Ia tidak akan diam saja. Ia ingin menunjukkan pada siapa pun—termasuk pada orangtuanya, adiknya masih sangat cantik, anggun, dan amat berwibawa sebagai seorang keturunan bangsawan. Kecacatan yang diderita oleh gadis itu tidak mengubah apa pun. "Karena aku akan menikah, serta barangkali resmi dinyatakan sebagai penerus ayah, aku ingin menyampaikan suatu aspirasi yang tidak pernah bisa aku ungkapkan selama ini—"

Ibunya semakin mencengkeram kuat tangannya, Neji terkesiap. "Neji, hentikan."

"Aku melakukan ini sebagai calon pemimpin—penerus ayah yang sah, dan mungkin akan melanjutkan apa yang sudah aku pelajari tentang kepemimpinan dalam keluarga ini, hingga akhirnya aku menjadi satu-satunya yang pantas meneruskan darah bangsawan ini." Ibunya merengut, agak takut untuk mencegah. "Aku ingin mengubah sesuatu yang disebut patriarki di sini, bahwa semua tindakan terencana atau tidaknya hanya bisa dilakukan oleh laki-laki, atau kepemimpinan di bawah laki-laki adalah mutlak. Itu hanya hukum kuno yang membuat anak perempuan tidak memiliki hak independen sementara dunia semakin berkembang untuk tidak membedakan antara laki-laki ataupun seorang perempuan, dan seharusnya perempuan bisa mengatur hidupnya sendiri, bahkan semua yang mereka lakukan atas hak-hak mereka, serta tentu saja tidak akan membuat mereka terhapuskan dari keturunan terhormat

"Kami berpikir peperangan sudah berakhir, tapi anak perempuan di tempat ini masih terbelenggu, mereka belum merdeka, bahkan hanya bisa dipaksakan berjalan pada suatu hukum yang sama-sekali tidak menjadikan mereka menjadi diri mereka sendiri. Saudari-saudariku membutuhkan perubahan. Hinata masih tetap sebagai Hinata—putri ayah yang selalu menghormati tanpa mengeluh apa yang ditakdirkan olehnya sebagai seorang anak perempuan yang wajib tunduk pada aturan turun-temurun. Sejatinya, Hinata adalah contoh wanita bangsawan yang sesungguhnya. Apakah kau tidak pernah beranggapan seperti itu? Dan kau justru tidak menganggap kerja kerasnya untuk tetap diakui."

Hiashi menarik napas, perasaan geram mulai mengerubungi dirinya, sang istri di tempat duduknya mulai gemetar dan pucat. "Sampai kapan ayah akan merangkai kebohongan? Menyembunyikan Hinata, dan tidak memperkenalkannya ke publik. Semua orang bertanya, apa yang terjadi padanya sampai tidak pernah muncul di tengah khalayak. Pesta resmi yang harusnya dihadiri oleh keluarga kekaisaran, menjadikan semua tamu justru menganggap Hinata sangat tidak memiliki sikap hormat. Kurasa itu lebih memalukan daripada sesuatu yang ayah anggap sebuah aib.

"Terakhir yang aku dengar bahwa Permaisuri menggerutu karena ketidakhadiran Hinata. Mereka berpikir dengan sangat kecewa, apakah di luar negeri lebih nyaman daripada di negara sendiri? Apalagi ketidakhadirannya membuat senewen semua keluarga kerajaan, mereka butuh penjelasan, meskipun agaknya ini terlambat untuk mengungkapkannya."

"Neji," Hiashi bersuara. "Aku melakukan semuanya demi adikmu, kau yang paling tahu, semua orang hampir memiliki mulut jahat yang tak dapat dikontrol oleh mereka. Adikmu akan menderita bila orang-orang tahu bagaimana kondisinya. Cacian yang mungkin akan menghujani Hinata. Sudah cukup dia menderita akan kondisinya, membiarkan dia dikenal banyak orang dengan kondisi barunya, itu akan membuatnya semakin terluka." Hiashi menjelaskan, tampaknya Neji masih tidak terima, walaupun apa yang dikatakan ayahnya itu mungkin benar—tapi ayahnya sering kali menjelaskan sesuatu demi menutupi apa yang sebenarnya diinginkannya. Tidak ingin malu. Tentu saja tidak ingin mendapatkan cemooh di saat ia mungkin dinilai lalai.

Di tempatnya, Neji tidak berkutik, meskipun sebenarnya ia ingin terus mendesak ayahnya untuk memperkenalkan Hinata kembali sebagai Hinata yang baru. Menceramahi sang ayah, sampai mencoba melakukan perubahan-perubahan ternyata seperti kiasan yang tak memiliki makna. Neji mulai muak. Ia amat terpuruk mengetahui bahwa adiknya menderita, dan ia tidak bisa menolong gadis itu dalam sekian kali upaya sebagai seorang kakak yang harusnya dapat membahagiakan adiknya.

"Baiklah," ujar Neji, ia teramat putus asa. "Kalau begitu biarkan Hinata bahagia dengan cara yang mungkin bisa disebut sebagai pengkhianatan."

Orangtuanya sama-sama mengernyitkan wajah.

"Membiarkan Hinata hidup terbebas bersama laki-laki yang dicintainya," Hiashi memelotot heran. "Aku telah membiarkan Hinata untuk pergi dari tempat terkutuk ini. Meski caranya sangat salah, aku hanya ingin tetap dinilai sebagai seorang kakak baginya, maupun bagi Hanabi, untuk melindungi adik-adiknya."

"Neji, apa yang kaukatakan barusan itu." Ibunya mendesah, dan ketakutan terlihat jelas di wajahnya. "Apa kau mau bilang kalau Hinata pergi dari paviliunnya? Apakah dia tidak ada di sana?"

"Aku bakal menjadi orang pertama yang menyetujui dia untuk kawin lari, karena di tempat ini, dia tidak mendapatkan apa-apa dan hanya—" tidak selesai untuk mengungkapkan secara terbuka pemikirannya, sang ibu terhuyung-huyung keluar dari ruang baca, bahkan menggulingkan cawan dari tatakan, membuat teh itu berceceran di atas meja sementara cawan menggelinding ke atas tatami.

Hiashi bahkan tidak sempat marah, karena dia perlu memastikan apa yang dikatakan putranya itu benar atau tidak, hingga Hiashi menyusul ke mana istrinya pergi.

"... dan hanya mendapatkan kesengsaraan bertubi-tubi di rumahnya sendiri." Neji melanjutkan perkataannya di saat hanya dirinya yang tetap tinggal di ruang baca tersebut.

Chương tiếp theo