webnovel

BAB 12

Hanabi termenung mencermati laki-laki yang duduk di depannya. Obrolan ringan sampai menyesakkan memakan waktu hampir satu jam lamanya—menjadi waktu yang terasa sangat singkat, saat disadari olehnya betapa bahayanya dia terbuka pada orang yang baru ditemuinya.

Namun, Hanabi memiliki firasat kuat bahwa dia harus jujur dalam segala hal tentang kakaknya pada lelaki di depannya ini. Apa yang dilakukannya bukan kesalahan, tapi bisa jadi sebagai sebab munculnya masalah besar. Tentu, Hanabi tahu risiko itu.

Sedangkan Naruto, ia hanya mengawasi cangkir tehnya seolah retak jika saja dia menyentuhnya, maka yang dilakukan olehnya hanya memandangi saja sejak tadi. Pula beberapa kali dia perlu meyakinkan diri, apakah dia harus minum teh buatan adik Hinata, jika pada akhirnya—saking kesalnya—tahu-tahu dirinya telah meremukkan benda keramik itu karena kemarahan yang tak dapat dipahami. Naruto bahkan tidak tahu dalam situasinya seperti sekarang ini, apakah dia harusnya meminta maaf atau cukup hanya diam saja, karena diketahui olehnya hari ini, kecelakaan itu disebabkan dirinya.

Seandainya pada waktu itu dia mau menunggu kedatangan Hinata, memiliki keberanian untuk membatalkan penerbangannya, mungkin hal seperti ini tidak akan terjadi. Dua masalah inti yang membuat kepala Naruto sangat sakit. Hinata yang terluka karenanya, tentu saja dia harus mengingat apa yang dilakukan Sasuke dan Sakura padanya sampai detik ini. Membungkam mulut mereka sendiri, menutup kenyataan bahwa Hinata hidup dalam lingkup mengenaskan di mana tak ada satu orang pun yang menemaninya dan menerima keadaannya.

Gadis malang, yang bahkan keluarganya sendiri tidak mempedulikannya, ini sangat tidak bermoral. Naruto menjadi muak, ia ingin marah, tapi pikiran rasionalnya berbicara secara lembut di sampingnya, bahwa yang harusnya dilakukan tetap diam, juga bersabar dalam menghadapi masalah baru itu.

Naruto tahu, kemarahan bukan pilihan terbaik untuk menyelesaikan masalah ini, yang bahkan dirinya tidak tahu dalam menyikapi situasi seperti sekarang bagaimana.

"Lantas dengan keluarga kalian?" Hanabi meletakkan cangkirnya dengan hati-hati, meski tangannya bergetar, Naruto tahu bahwa gadis itu takut salah dalam bersikap dan memilih nantinya. "Kalau benar keluarga kalian tidak lagi mempedulikan Hinata, aku siap untuk membawanya pergi."

"Mem... membawa?"

Naruto tersenyum kecil, ia berani untuk menyesap tehnya—meremas gagang cangkir dengan hati-hati, lalu meletakkan cangkir pada tatakannya dengan hati-hati pula, ia tidak boleh menimbulkan bunyi yang menandakan bahwa dia sangat marah.

"Umur kami sama-sama berkepala tiga, kukira... aku bisa merencanakan hidup bersamanya."

Jejak-jejak cinta itu masih ada, Naruto masih sanggup melihat seluruh jejak cintanya untuk Hinata. Meski gadis itu dalam kondisi yang memprihatinkan, Hinata tetap sama dengan Hinata yang disukainya saat SMA. Ia tidak butuh orang lain berkomentar menggelikan tentang perasaannya untuk gadis itu masih bertahan hingga sekarang. Sampai jauh menjadi tidak bisa diabaikan ketika menjumpai Hinata yang sangat mengenaskan dengan kedua mata yang buta, bahkan kedua kaki yang lumpuh.

Naruto mengingatkan dirinya sekali lagi, itu semua karena kau yang memulainya.

"Aku akan membawa pulang hari ini juga," Hanabi kontan berdiri dari duduknya, gadis itu terkejut bukan main, menganggap apa yang Naruto katakan barusan itu cukup gila. Namun sebaliknya, pria itu justru memandangi Hinata yang tengah bergurau bersama Ino dari balik dinding kaca toko bunga Ino, menyilangkan salah satu kakinya, jari-jarinya bertautan, meletakkannya di atas lutut, Naruto kembali melanjutkan dengan tenang. "Aku menyukai kakakmu sejak SMA, tidak banyak orang yang tahu betapa aku kagum padanya. Ia sangat anggun, gadis yang bersikap apa adanya, pendiam, juga sangat manis bila tersenyum. Tidak hanya aku saja, mungkin anak laki-laki di sekolah kami sangat menyukainya. Pada suatu kesempatan, aku melihat bahwa anak laki-laki dari kelas lain mencoba menyatakan cinta padanya, tapi ditolak, saking takutnya, aku sampai tidak pernah bisa menyatakan cinta kepadanya, kupikir yang harus kulakukan adalah mendekatinya sebagai seorang teman."

Hanabi masih berdiri, tidak mengambil duduk, penjelasan yang diterimanya tidak menjadikannya tenang, ia masih terkejut dengan keputusan semacam itu. Membawa Hinata, berarti akan ada masalah yang jauh lebih besar nantinya. Kemarahan ayahnya atau keikutsertaan Neji dalam mengamuk, ketika mengetahui adiknya dibawa seorang laki-laki yang tak dikenalnya baik. Karena yang selama ini Neji tahu, bahwa adiknya tinggal bersama seorang perempuan pemilik toko bunga di pinggiran kota Tokyo.

"Aku tidak mungkin menyetujuinya." Hanabi berucap tegas.

"Kita akan membicarakannya bersama Hinata."

Masalahnya terletak pada kakaknya. Hinata pasti menyetujui ide ini mengingat sejak awal dia merasa tidak enak harus melibatkan Ino ke dalam masalah mereka. "Kakakku..." Hanabi menunduk, perasaannya menjadi gelisah, ia cemas oleh setiap bayangan kemarahan Neji, dan mungkin kakak laki-lakinya bakal menganggap ini seperti pengkhianatan besar.

Tanpa menunggu Hanabi menyetujuinya, atau sekadar melanjutkan perkataannya, Naruto berdiri dengan perasaan tenang—tentu saja, dia tenang bisa memiliki Hinata dengan cara seperti ini. Membawa gadis itu ketika berada di tengah konflik menegangkan tentang keluarganya yang aneh dan egois.

Begitu sampai di depan Hinata, Ino bergerak minggir, sementara Naruto berlutut di depan gadis itu. "Kau mau tinggal bersamaku?" Ino menganga begitu Naruto memberikan tawaran itu tanpa basa-basi, sebaliknya Hanabi masih berada di tempatnya, kepalanya serasa dipukul benda keras yang membuatnya hanya membeku serta menunduk. "Kita akan pergi ke suatu tempat agar kau bisa kembali berjalan, juga aku akan mendapatkan pendonor kornea untukmu."

"Itu pasti sulit, kornea untuk mataku tidak sembarangan."

"Aku bisa mendapatkannya untukmu, secepatnya."

Naruto melirik Ino yang sama terkejutnya seperti Hanabi. "Aku akan membawa Hinata bersamaku, aku akan melakukan apa pun untuknya, soal penglihatan serta kedua kakinya agar bisa berjalan kembali."

"Apakah Hanabi menyetujuinya?" Naruto melirik Hanabi yang masih ada di dalam toko bunga, Ino menjadi tidak berkutik, apakah dia perlu membiarkan ini terjadi? "Kurasa dia akan setuju, meski masih sedikit syok atas keputusanku untuk membawanya bersamaku."

"Ini terlalu mendadak!" Ino menyanggah, mencegah Naruto mengambil alih kursi roda Hinata. "Biarkan kami membicarakan lebih lama lagi—banyak yang harus dibicarakan."

"Ino," Hinata menyentuh tangan Ino lembut, kemudian meremasnya, gadis itu tahu bahwa temannya sedang mengkhawatirkan dirinya, begitu mengetahui Ino bergetar, suaranya terbata-bata, dapat tergambar dengan nyata bahwa keputusan seperti sekarang terlalu cepat diambil. "Aku tidak ingin menyusahkanmu."

"Hei, apa yang kaukatakan!" Ino memekik kesal. "Kau sama-sekali tidak menyusahkan aku. Kita teman, dan aku sangat senang ketika kau mengandalkan aku, dan tinggal bersamaku di sini." Hinata menghela napas. "Hinata, pikirkanlah dulu, kau tidak..." Ino melirik Naruto, dan mencoba berbisik kecil. "Kau tidak mengenal dia dengan baik. Kita semua tidak mengenal dia." Naruto dapat mendengar semua perkataan Ino, hanya mampu terdiam. "Jadi pikirkanlah."

"Kupikir kau akan menganggapku aneh," kata Hinata, raut wajahnya sedikit kebingungan. "Perasaanku mengatakan akan lebih baik aku ikut bersamanya, terima kasih, karena kau sudah memberikan tempat untuk beberapa hari ini, dan juga mau menjadi temanku."

Ino terkejut oleh keputusan Hinata, sampai-sampai ia tidak mampu kembali mengeluarkan pendapatnya. Tentu saja dia tidak bisa mencegah saat Naruto membopong Hinata untuk masuk ke dalam mobilnya ketika gadis itu sangat percaya diri untuk menyetujui ide gila itu.

Sementara Hanabi keluar dari toko bunga. Kemarahan Ino langsung menyembur ke depan wajahnya. "Apa yang kaulakukan!" Hanabi terdiam, tidak sanggup lagi bersikap. "Mengapa bisa kau membiarkan kakakmu pergi dengan orang asing itu."

"Dia bukan orang asing," mata Hanabi berkaca-kaca. "Laki-laki itu adalah cinta pertama Kakakku. Aku pikir bisa mempercayakan Hinata bersamanya, dan sekarang yang perlu aku pikirkan adalah kemarahan Neji. Karena ketika adik perempuannya diketahui pergi dan tinggal bersama seorang laki-laki, pria itu akan jauh lebih gila."

Chương tiếp theo