webnovel

BAB 6

Lima belas tahun berlalu ketika dia menahan hasrat untuk kembali ke Jepang—tidak ada kabar apa pun tentang gadis yang disukainya, bahkan ketika sahabat karibnya berkunjung, mereka tidak menyinggung tentang Hinata Hyuuga. Cinta monyet itu mungkin telah berlalu. Naruto menjadi malas untuk mengungkit dan bertanya apakah Hinata masih menjadi gadis pendiam atau paling pentingnya, apakah gadis itu masih sendiri?

Karena neneknya yang sudah tua, dan tentu saja karena keinginannya yang bulat untuk masuk bisnis daripada terjun ke sebuah politik yang sebenarnya tidak ada satu pun keinginan untuk terjun ke sana—dan ya, dia harus berperang dengan ibunya ketika dia mengambil pendidikan bisnis, meyakinkan ibu dan ayahnya itu jelas tidak mudah—tetapi akhirnya Naruto berhasil, untuk pertama kalinya dia menjadi dirinya sendiri, dan mempertahankan apa yang diinginkannya.

Seminggu lagi menjadi waktu yang ditunggu-tunggunya, penerbangan kembali ke Jepang, orang pertama yang akan ditemuinya dan akan diciumnya adalah sang nenek, tentu saja karena wanita tua itu pun berjasa besar atas apa yang didapatkan olehnya sampai hari ini. Kesuksesan untuk menjadi dirinya sendiri.

Barulah setelah itu dia bisa mencari keberadaan Hinata, tidak masalah kalau akhirnya Hinata memiliki tunangan atau seorang suami. Ini cukup lama. Perempuan secantik dia siapa yang tidak menyukainya dan cepat-cepat meminang?

Masuk akal sekali kalau yang ditemui olehnya ketika perempuan itu tengah mengandung dan berjalan penuh mesra bersama suaminya. Naruto bersiap dengan kemungkinan itu. Ia tidak harusnya sakit hati nantinya.

"Kurasa ibu tidak bisa meyakinkan dirimu," ketika ibunya muncul di ambang pintu kamarnya, Naruto merengut sedih melihat wajah wanita itu seperti ingin menangis. "Ibu masih ingin bersamamu, dan ibu sungguh menyesal terlambat memberikan kasih sayangku padamu, dan ternyata 15 tahun kau tinggal di sini, itu tidak lah cukup."

"Ya Tuhan, ibu!" Naruto menarik ibunya, dipeluknya sang ibu erat-erat, wanita itu sangat kurus, bersedih terus-menerus saat tahu bahwa putranya memilih Jepang daripada menetap di sisinya. "Jangan menangis, silakan datang ke Jepang kapan pun kau mau."

"Senang, kalau kau mau mengajak ibu jalan-jalan."

"Tempat mana pun yang ingin kau kunjungi, aku siap mengantarmu."

Jari-jarinya menghapus lelehan air mata ibunya yang menuruni pipi. Kesedihan wanita itu jelas tidak dibuat-buat. Wajahnya muram serta pucat. "Aku menyayangimu, jangan pernah beranggapan bahwa aku membencimu, itu salah besar!" Naruto meyakinkan ibunya, bahwa tidak ada satu pun kebencian yang dirasakan olehnya ketika wanita itu tidak terlalu memperhatikannya dulu.

Saat akhirnya keberangkatannya ke Jepang tiba, suatu negara yang selama ini membuatnya bahagia, Naruto tidak sabaran ingin secepatnya bertemu anak-anak lainnya. Dan di sepanjang perjalanan dia memikirkan satu demi satu bingkisan yang harus diberikannya pada teman-temannya. Cinderamata seperti boneka matryoshka, atau kembang gula zefir yang sangat manis, atau mungkin anak perempuan menyukai keramik gzhel, Naruto membawa semua yang diinginkan teman-temannya ketika dia memberikan kabar, "Aku akan kembali ke Tokyo dalam waktu dekat."

Belum lagi acara reuni tepat diadakan tiga hari lagi. Satu-satunya harapan yang terus diingatnya, ia ingin menyapa Hinata, bertanya kabar perempuan itu. Dan seandainya dia berani bertanya pada Sakura maupun Sasuke sepanjang tahunnya ketika mereka berjumpa, Naruto tidak akan merasa sedih terhadap dirinya sendiri yang ternyata masih mengharapkan cinta monyet itu dapat diraih olehnya.

Sampai di Narita, melewati terminal kedatangan di sayap utara, Naruto dapat melihat seorang laki-laki tinggi menyapanya dengan membawa papan penuh ucapan selamat datang yang ditulis menggunakan tangan. "Selamat Datang, Bigboss." Tulisnya, dan pria itu menyapanya hangat, memberikan pelukan erat seolah telrihat akrab, padahal mereka baru bertemu keempat kalinya ini. "Aku tidak pernah terlambat menjemputmu."

"Karena aku menyuruhmu untuk datang satu jam lebih cepat!"

Laki-laki itu mengambil alih barang-barangnya. "Tolong, bawa dengan hati-hati."

"Kau membawa apa?"

"Barang berharga untuk teman-temanku."

Laki-laki itu memutar bola matanya. "Mengapa kau harus duduk di kelas ekonomi? Seharusnya kau menggunakan penerbangan pribadi supaya bisa membawa barang-barang berbahaya sekalipun. Biarkan petugas imigran mendatangimu."

"Ayolah, jangan cerewet! Aku sudah lelah, nih."

Memang benar, bahwa perjalanan itu menguras tenaganya. Belum lagi di tengah perjalanan dia tidak bisa tidur. Sebelum berangkat pun dia tidak menyempatkan istirahat.

Naruto takut meninggalkan sesuatu yang penting di Rusia. Takut bahwa mungkin saja dia ketinggalan penerbangan. Menunggu penerbangan selanjutnya, rasa-rasanya dia akan mati.

Chương tiếp theo