Sheila membalas pesan yang Valdo kirimkan. Pria itu mengatakan bahwa ingin bertemu dengannya sekaligus konsultasi dengan dosen pembimbing mengenai karya tulis yang akan mereka lombakan. Ahwan yang sedari tadi menyetir menatap istrinya curiga karena terus bermain ponsel.
"Kamu chat-chatan sama siapa?" Tanya Ahwan. Sontak Sheila kaget, gadis itu langsung gelapan.
"Itu teman aku chat aku. Katanya sebentar lagi mau masuk." Jawab Sheila. Ia berharap jika Ahwan percaya, ia tidak ingin suaminya itu tahu jika ia berhubungan dengan Valdo walau hanya sebatas partner menulis.
"Oh," Ahwan kembali fokus menyetir, pria itu masuk ke dalam gerbang universitas Sheila. Ia berniat mengantarkan gadis itu hingga gedung fakultasnya.
"Nanti sore mas jemput ya."
"Eh, jangan mas." Cegah Sheila, ia baru ingat kalau ketemu dosen pembimbingnya nanti sore. Paling tidak firasatnya mengatakan jika ia pulang bisa sampai Maghrib. Ia tidak ingin ketahuan sebelum berhasil. Ia ingin merasakan presentasi karya tulis ilmiah di luar pulau bersama Valdo.
"Kenapa?" Tanya Ahwan merasa aneh, karena baru kali ini Sheila menolak dirinya.
"Aku ada tugas kelompok mas."
"Kamu yakin ngak mau mas jemput."
"Iya. Nanti aku naik taksi online aja." Ahwan menghembuskan napas, ia kemudian mengangguk mengalah.
"Yasudah hati-hati ya." Ahwan mengelus kepala Sheila. Kemudian membiarkan gadis itu turun dari mobilnya. Padahal ia ingin mengajak Sheila jalan-jalan mumpung waktunya kosong dan Nada tidak menganggunya akhir-akhir ini. Tapi istrinya sepertinya sedang sibuk dengan kuliahnya. Ahwan tersenyum kecil seharusnya ia sudah siap dengan resikonya.
*****
Sheila duduk menunggu Valdo di taman. Namun jantungnya berdebar ketika mendengar orang di belakangnya membicarakan suaminya. Siapa lagi kalau bukan Nada. Gadis yang selama ini dekat dengan Ahwan.
"Tau nggak nanti gua mau pergi nonton sama Ahwan,"
"Gila lo, bukannya Ahwan udah nikah ya."
"Biarinlah, lagian guakan sahabatnya Ahwan dari kecil. Ya pasti Ahwan ngak bakal bisa nolak permintaan gua, apalagi dia udah janji sama ayah gua buat jagain gua."
"Paling nggak lama lagi, Ahwan jadi milik gua."
"Tapi kok Klo Ahwan cintanya Ama Lo, ngk nikah Ama Lo?"
"Ahwan memang belum cinta Ama gua. Tapi gua yakin dia ngak bisa nolak ayah gua. Dia itu terlalu baik dan penurut."
"Sumpahloh, Ampe segitunya sampe buat janji Ama ayahlu. Gila ini mah! Kalau tuh cewek tahu pasti cemburu gila Ama Lo!"
Sheila meringis mendengar itu. Jadi apa yang Nada katakan itu benar. Kalau Mas Ahwan berjanji pada ayahnya untuk menjaga gadis itu. Kalau begitu kenapa tidak nada saja yang Mas Ahwan nikahi lalu kenapa harus dia.
Sheila berusaha menutup wajahnya. Ia menyingkir agak jauh dari sana. Telinganya mulai panas mendengar percakapan mereka yang sepertinya memang sengaja untuk memanasi-manasinya. Sheila tanpa sadar menghapus air mata yang jatuh di pipinya. Rasanya sakit sekali apalagi tadi dia menolak Mas Ahwan untuk jalan akhirnya pria itu malah pergi dengan orang lain.
"Sheila," panggil suara Valdo yang membuatnya mendongak. Sheila tersenyum kecil melihat sahabatnya itu sudah tiba.
"Kamu menangis,"
"Tidak, hanya terkena angin." Valdo terkekeh mendengar itu. Namun pria itu tidak melanjutkan untuk mengintrogasi.
"Ayo kita ke Pak Hamdan. Beliau sudah menunggu kita. Jadi setelah bimbingan dan tanda tangan lembar pengesahan kita bisa langsung Summit karya tulis kita." Sheila mengangguk mendengar itu. Kemudian mereka berjalan menuju ruangan pak Hamdan.
"Valdo,"
"Iya."
"Kenapa kamu masuk Islam?" Tanya Sheila di tengah perjalanan.
"Tumben kamu tanya," Sheila tersenyum kecil sebagai balasan. Ia baru menyadari jika selama ini ia tidak pernah peduli dengan apa yang dilakukan Valdo dan ia sekarang seakan-akan ingin tahu hidup pria itu.
"Ah itu,"
"Waktu itu saya sudah pernah jawab. Mungkin kamu lupa dengan hal yang pernah aku katakan." Sheila terdiam menatap setiap langkah kakinya yang berjalan.
"Lagipula sudah terlambat untuk saya."
"Maksud kamu?"
"Bagi pria nakal seperti aku yang tiba-tiba merubah hidupnya pasti dia butuh banyak perhitungan Sheila, ada banyak hal terjadi namun juga ada banyak hal yang menyesakkan. Melepas kepercayaan itu sesulit melepas orang yang kita cinta. Sampai cahaya itu datang padaku dan membuatku berani mengambil keputusan. Cahaya yang telah menyelamatkan saya dari gelapnya dunia," Kening Sheila berkerut tanda jika ia berpikir keras. Valdo tertawa melihat itu.
"Kamu pasti lupakan? Siapa cahaya itu?"
"Kamu ngomong apa sih do, bikin Sheila bingung."
"Sepertinya kamu benar-benar lupa."
"Ayah kamu adalah cahaya yang menyelamatkan saya Sheila. Ketika detak jantung saya hampir tak terselamatkan, beliau adalah orang yang merawat saya tanpa pamrih. Itulah alasan kenapa saya ingin menjaga kamu, walau tak ada lagi kesempatan untuk saya." Jantung Sheila berdebar mendengar itu. Ia tidak pernah tahu hal ini. Satu kejutan yang pernah ada di hidupnya. Pantas saja Valdo akhir-akhir ini bertindak aneh apalagi ayahnya yang waktu itu sempat tak merestuinya dengan Ahwan. Pria yang ia cintai.
"Jangan dipikir Sheila itu hanya masalalu. Sekarang kita selesaikan karya tulis kita." Sheila mengangguk semangat namun di hatinya masih terasa mengganjal dengan sisa keberanian yang ia miliki. Ia beranikan diri untuk berkirim pesan pada Ahwan.
To: Ahwan.
Mas sedang apa?
From: Ahwan
Mas masih di kantor, nanti mas agak pulang telat ya. Kamu hati-hati di jalan.
Membaca pesan itu saja sudah membuat Sheila mengerti maksudnya. Bahwa pria itu telat karena ada janji dengan Nada. Rasanya tidak enak sekali, ia jadi lemas hanya dengan membacanya. Ingin sekali Sheila membalas, agar Ahwan menjemputnya sekarang dan bertindak egois agar pria itu tidak bersama Nada. Tapi dia tidak bisa melakukan itu selain diam.
To: Ahwan
Oke ;)
Sheila juga masih penasaran dengan hal yang Nada bicarakan tadi bersamanya temannya. Tentang Ahwan yang berjanji pada ayah Nada untuk menjaga gadis itu. Kenapa pria itu bisa-bisanya membuat janji? Hal apa yang membuat pria itu harus melakukan itu. Sheila mengembuskan napas, kemudian ia fokus kembali pada lembaran-lembaran karya tulis yang akan dia bahas nanti bersama Valdo.
Mungkin nanti di rumah. Ia harus mulai membuka diri dan mengatakan seluruh rasa lelah yang mengganjal di hatinya. Ia harus membicarakan ini dengan Ahwan. Ia tidak ingin menebak-nebak seperti ini. Karena ia yakin di hati kecilnya Ahwan tidak pernah mengkhianatinya. Ahwan hanya mencintainya bukan perempuan yang katanya telah bersahabat lama dengan suaminya itu.
****
Follow juga Instagram aku @wgulla_