webnovel

13. Pelacur dan Pangeran

Djurnal Cafe, Blok 07, Jln. Pakisaji, Jakarta.

Hilona duduk di salah satu meja yang mengarah ke jalanan. Perempuan itu pergi ke kafe setelah selesai membersihkan apartemennya yang seperti kapal pecah. Ia sudah berada di kafe sekitar 2 jam yang lalu, namun lembar word di hadapannya masih kosong tanpa ketikan apapun.

Tak jauh dari mejanya, ada pria tengah menikmati koran dan secangkir kopi. Lona yakin kalau pria paruh baya itu tengah melarikan diri dari rumah karena tidak betah dengan oemlan istrinya. Pria paruh baya yang pengangguran dan memilih pergi ke kafe untuk menghindari omelan istri.

Di pojok ruangan, ada dua orang yang tengah berbicara serius. Lona pernah melihat mereka beberapa hari yang lalu, di meja yang sama dan jam yang sama. "Sepertinya mereka langganan di kafe ini," gumamnya tak acuh.

Perempuan itu menoleh ke sekitar, hanya ada beberapa pelanggan hari ini. Mungkin karena ini masih cukup pagi dan belum mendekati jam makan siang kantor. Lona mengalihkan tatapannya ke sepasang pria dan wania yang tengah duduk sembari bercengkerama. Mereka terlihat bahagia dengan 2 amerikano dan 2 kue yang menemani obrolan mereka.

"Ah, sepertinya menyenangkan jika punya pasangan. Ada yang menemani begadang, menjadi supir dadakan, tukang dadakan, pesan antar makanan, lalu..."

"Yak! Kau membicarakan pekerjaan atau pasangan," celoteh Sania yang baru saja tiba.

Hilona tersenyum konyol di hadapan Sania. "Pekerjaan pasangan yang sesungguhnya memang seperti itu, San. Hal romantis dan juga perasaan hanya sebagai bonus saja," celotehnya kemudian. Menegak kopi pahit kesukaannya untuk yang kedua kalinya. Cangkir kopi yang sudah kosong tergeletak begitu saja di atas meja.

"Ck, aku sudah melarangmu untuk meminum kopi berlebihan. Aku yakin pagi ini kau belum sarapan," omel Sania. "Lihat! Kau hampir menghabiskan 2 cangkir kopi dengan perut kosongmu itu.

"Aku sudah sarapan," sahut Lona.

"Sarapan apa?" tanya Sania menyelidik.

"Sereal, hehehehehe." Lona tersenyum cengengesan.

"Hahahaha, kau fikir sereal itu sarapan yang bisa kau sandingkan dengan kopi pahitmu." Sania berujar sarkas.

"Sudahlah, tidak penting membahas sarapanku hari ini. Aku tidak mungkin menghabiskan uangku untuk membeli roti dan telur yang harganya 500 ribu seperti yang sedang viral beberapa waktu ini. Lebih baik aku menggunakannya untuk membeli beras," celoteh Lona berfikir realistik.

Sania duduk di sebelah Lona. "Kau sudah menulis sesua... Yak, kau sebut datang ke sini sebagai pekerjaan? Kenapa kertasnya masih kosong?" serunya kemudian saat melihat layar laptop di hadapan Lona hanya menampilkan lembar word dengan garis kursor yang berkedi kedip. Tidak ada tulisan apapun di atasnya.

"Ck, kau fikir imajinasi itu muncul dengan sangat lancar dan tepat waktu," omel Lona. "Ah, aku bahkan sering mendapat imajinasi di tempat yang tak terduga, oh, sialnya aku." Perempuan itu menatap miris layar laptopnya.

Sania hanya menghela nafasnya pelan. "Aku harus kembali ke toko," ujarnya kemudian.

Lona baru sadar jika Sania masih menggunakan seragam supermarket. "Kenapa? Bukannya hari ini shifmu malam. Jam 9 seharusnya sudah selesai 'kan?" tanyanya kemudian.

"Aku berganti shif dengan temanku, dia harus mengantar ibunya check up ke rumah sakit," jawab Sania.

"Oh." Lona mengangguk mengerti. "Setelah satu bab selesai, aku akan ke toko," ujarny kemudian.

"Oke." Sania mengecek jam di pergelangan tangannya. "Ah, aku harus pergi sekarang. Bye!" Perempuan itu pamit pergi meninggalkan Lona kembali merenungi nasibnya.

"Hah, malang sekali nasib kita, San. Seandainya kita itu cinderella yang menikah dengan seorang pangeran kaya raya, kita pasti akan bahagia," gumam Lona menjatuhkan kepalanya ke atas meja.

"Ah, kisah cinderella!" seru Lona mengangkat kepalanya setelah mendapat suatu ide. "Aku akan menulis kisah cinderella saja." Lona tersenyum senang.

Jemari Lona mulai mengetik sesuatu di lembaran wordnya. "J u d u l... Ehm..." Lona berfikir sejenak. "Ah! J u d u l... C i n d e r e l l a w i t h P r i n c e. Oke! Judulnya CINDERELLA With PRINCE!" Lona berseru senang.

"Tapi...kisah cinderella cukup klasik dan cukup pasaran." Lona menatap judul cerita barunya. "Sepertinya aku harus menambahkan sesuatu yang unik," gumamnya kemudian.

"Hai, Bitch!" seru seseorang menyapa Lona.

Lona menoleh ke arah perempuan yang menyapanya dengan tidak sopan itu. Ia memutar bola matanya saat melihat Dantya berdiri di sebelah mejanya dengan baju kurang bahannya. "Ini masih pagi dan kau sudah berniat menjajakan selangkanganmu? Aku fikir kau hanya bekerja di malam hari ini." Lona melirik paham Dantya yang terekspos.

Dantya menunduk menatap arah pandangan Lona. "Aku hanya sedang memamerkan aset berhargaku. Sayang sekali kalau tubuh seksiku harus tersimpan rapat di apartemen tua kita," celotehnya tersenyum menyeringai.

"Cih, apanya yang aset? Aset tidak lebih berharga jika kau mengumbarnya kepada siapapun. Bukankah hal yang langka justru terlihat jauh lebih menggoda." Lona sedang membicarakan aset miliknya yang tak pernah tersentuh oleh siapapun kecuali ia serta ibu dan dukun mandi yang memandikannya saat masih kecil.

Dantya merasa tersinggung dengan ucapan Lona barusan. "Yak! Pria jaman sekarang lebih menyukai wanita yang berpengalaman daripada perempuan yang masih perawan," ocehnya kemudian membalas ucapan sini Lona.

"Sialan! Berani sekali dia membawa bawa keperawananku," omel Lona dalam hati. Tatapan tajamnya saling beradu dengan mata tajam Dantya. "Kau!"

"Apa!" seru Dantya tak mau kalah.

"Thankyou!" celoteh Lona tersenyum lebar.

Dantya menatap Lona dengan alis yang menyatu. Ia heran karena Lona justru berterimakasih alih alih memakinya kembali. "Ada apa denganmu? Otakmu menjadi tidak waras setelah mendengar ejekan dariku?" tanyanya menatap Lona yang bertingkah aneh.

"Tidak." Lona menggeleng. "Karena kehadiranmu saat ini, aku jadi mendapat ide cemerlang untuk karyaku selanjutnya," ujarnya menjelaskan.

"Ide apa?" tanya Dantya yang mengetahui jika Lona seorang penulis amatir.

"Aku akan membuat kisah cinderella, seorang pelacur yang menjajakan selangkangannya kepada semua pria berduit. Sama sepertimu." Lona tersenyum puas.

"Yak!" Dantya berseru karena kesal. "Kau..."

"Dan! Pesananmu sudah selesai!" seru Katy, pelayan di kafe ini.

Dantya menoleh ke arah kasir dan melihat pesanannya sudah selesai. Ia kembali menoleh ke arah Lona. "Kita lanjutkan makiannya lain kali," ujarnya kemudian berjalan ke arah kasir untuk membayar pesanannya. Dantya pergi dari kafe setelah mendapatkan pesanannya.

"Hahahaha." Lona tersenyum kecil setelah membuat Dantya kesal hingga wajahnya merah seperti tadi. "Oke, aku akan merubah judulnya."

Chương tiếp theo