Gawat! Aku terlambat! Jika terlambat aku akan dipotong sebesar tiga puluh ribu. Aku milirik jam tangan. Sepuluh menit terlambat. Bukan masalah jika hanya di potong, dipotong dan kena marah pula. Ini adalah hari ke tujuh aku bekerja. Karyawan baru sebaiknya tak terlambat.
Setelah turun dari transjakarta. Aku segera mempercepat langkahku. Aku memasuki area halaman kantor. Jika dengan kendaraan pribadi pasti akan lebih cepat.
"Hai?, terlambat?" sapa receptionist di meja depan.
Aku hanya tersenyum dan langsung ke lift. Jam tanganku sekarang sudah menunjukkan tepat pukul 08.00. Awal buruk semoga tak menjadi akhir yang buruk juga.
Brakkk!
"Kamu tu ya bisanya Ngeyel aja"
Brakkkk!
Langkahku terhenti saat mendengarnya. Aku melihat jauh ke depan. Ruangan kami terbuka. Ada Maria di dalamnya. Seseorang berdiri persis di depan wanita muda itu. Dengan nada bicara semakin meninggi. Brakkkk! Suara itu terdengar lagi. Aku maju perlahan. Berharap mengidentifikasi dengan lebih baik.
"Kurang ajar!!!!" teriakkan demi teriakan terdengar. Semakin dekat semakin jelas. Kali ini dibarengi dengan suara isak tangis. Aku kembali melirik jam tanganku. 08.05. Siapa yang bertengkar hebat di ruangan para penulis. Aku memberanikan diri melangkah sedikit lebih dekat. Dari jarak aku berdiri sekarang, aku bisa melihat, sesosok wanita berambut panjang dengan pakaian hitam berdiri tegak penuh kecongakan. Maria, dengan wajah penuh air mata terus beradu agrumen dengannya.
Astaga, dari postur tubuhnya, ku pastikan ia adalah Jane Luisa. Ia datang pagi sekali hari ini. Aku masih berusaha mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi. Aku beruntung, jendela kaca di ruanganku, masih tertutupi oleh beberapa helai tirai, sehingga tak kan terlihat jelas dari dalam. Hanya harus mengambil posisi yang tepat untuk tak terlihat.
"Kamu itu Buk! Sampah! Semua pekerjaan yang kamu kerjakan ini Sampah!"
Tangis isak Maria jauh lebih keras sekarang.
"Kamu nggak malu?. Makan gaji buta! Bikin Begini aja nggak Becus!. Saya sudah bilangkan! Panggil itu semua manager di sini ! Suruh menghadap ke saya sekarang!. Mana itu laporan pewagai baru. Mana laporan penjualan! Sampai hari ini saya nggak terima!"
"Buk, saya nggak tau Buk!!"
"Nggak tau nggak tau! Kamu itu harus tau!Kamu itu sekertaris saya!" Luisa berhenti sejenak.
"Jangan Cuma nagis Buk! Saya potong gaji Anda! Mana itu tamu yang harusnya ketemu saya?"
Maria tak menjawab dan semakin keras. Jane pun tak mau kalah dengan maria. Kali ini sumpah serapah yang keluar dari wanita lulusan London. Ia tak hanya meyumpahi Maria, tapi juga memberi berbagai macam julukan baru bagi satu-satunya sekertaris yang ia miliki. Ini sudah lebih dari tiga puluh menit. Aku bisa mati gila jika terus berada disini.
Sacara tak sadar, kaki kiriku perlahan terangkat kebelakang.
"Aduh." Akupun segera menoleh.
"Dikkin!" seruku. Ia memintaku mengecilkan suaranya. "Udah nggak usah didengerin ya, abaikan aja!" jawabnya santai.
Aku semakin sadar hal semacam itu sudah sering terjadi disini. Aku segera menarik kakiku yang lain dan pergi meningalkan tempat ku berpijak selama lebih dari 30 menit. Aku segera turun ke bawah dengan lift. Aku sedikit berlari saat lift sudah mencapai lantai dasar. Aku bergegas meninggalkan kantor gila yang ku coba huni demi sesuap nasi.
Terihat security mencoba menanyaiku. Aku tak menghiraukanya, dan terus berjalan. Jalan, jalan, jalan. Sampai mencapai keramaian. Aku memeriksa isi tasku dan mengingat-ingat apakah ada barangku yang tertinggal di dalam laci kantor. Hanya pulpen dan kertas-kertas tak penting lainnya. Aku tak tinggalkan benda berharga di sarang laba-laba itu.
Sementara pikiranku masih kacau, ingatanku kembali pada beberapa hari yang lalu. Ketika aku, Dikkin dan Maria makan siang bersama tepatnya.
"Nggak bisa, kalau kamu mau resign, kamu justru akan di persulit. Ijazah ditahan lah, gaji nggak di kasih, di suruh ini itu. Ya satu-satu nya jalan yang terbaik ya kabur aja,udah nggak usah balik. Ganti no telepon,email. Udah, dia nggak akan bisa cari kita!. Kalau ngomong mah, cari mati namanya!"
Kata-kata Dikkin, cukup membekas di hatiku. Kabur tanpa jejak. Ituah intinya. Di titik ini aku berusaha berfikir secepat mungkin.
"Halo? Kemana Ibu Lina?,Apa? Hp nya ketinggalan."
Aku mengakhiri sambungan singkat tersebut. Aku mencari beberapa nomor dari kontakku.
"HALLO?"
*******************************************************
-Kantor Lina Aura-
"Oh, Mau bicara dengan ibu Lina?"
Lo suaranya beda. Sepertinya bukan ibu Lina. Aku terlajur mengatakan aku akan datang hari ini.
"Oh ini, Bukan ibu Lina ya?"
Ada waktu sekitar beberapa menit. "Nggak papa kalau mau ketemu dengan Bu Lin, ini siapa ya"
"Saya, Hope, Pak yang biasaya main …ini Bapak Yayan?"
*******************************************************
"Menurutku,ini suatu kejutan!" Lina membuatku duduk di sebuh kursi didepan ruang meetingnya.
"Ibu kira, kamu akan benar-benar berjuang"
"Ya berjuang juga harus tau batasnya Bu!" Lina menanyai beberapa hal yang tak terlalu penting sebenarnya. Apapun alasanku kembali padanya, adalah alasan yang menarik. Baginya orang seperti aku,bukan orang yang akan menyerah tanpa logika matematika.
"Ya, anggap saja aku orang nggak tahu terimakasih Buk, sudah diberi pekerjaan malah kabur"
Lina menghentikan semua ucapan yang akan keluar dari mulutnya. Jika orang tak terlau pandai pasti akan terus mendesak mendapatkan jawab langsung dari mulutku. Alasan ia masih bertahan sampai usianya saat ini adalah kepandainya. Ia bisa menyimpulkan apapun dengan tepat.
"Suatu saat pasti dapat yang lebih baik kok…"
Aku tersenyum dengan pesimis. Bukan tanpa alasan, ini memang kenyataan. Bagaikan roller coster yang naik turun. Nasibku tak pernah selalu stuck pada tempatnya yang benar.
Krekkkk,
Suara pintu di ruangan tempat Lina tadi keluar sudah terbuka. Beberapa orang yang melewati kami memberikan sapaan ramah pada Lina. Mereka pasti mengenalnya jauh lebih lama dari pada Aku.
"Aduh!!!"
Suara itu membuat kami cukup tersentak.
"Jangan berhenti mendadak, orang di belakang Kamu bisa jatuh" tambah suara tadi. Ibu Lina spontan melirik kebelakang.
"Hati-hati ya, Ok?" kata ibu Lina pada wanita berheel merah. Aku meihat orang ini dari dari ujung sepatu mengkilat merahnya. Indah sekali. Apalagi pemakainya berkulit putih. Aku penasaran dan terus menelisik sampai ke bagian wajahnya.
"Ziva?" jiwaku tersentak melihatnya berdiri di depan kami. Sungguh suatu kebetulan atau memang ini adalah takdir.
"Ziva, Ziv , Kamu melamun?"
Wanita cantik di depanku menoleh ke arah Lina.
"Oh iya Buk, maafkan saya"
Suatu kebetulan atau, ia memang pindah ke sini. Tanyaku pada diriku sendiri.
"Ziv,Kenapa?" Tanya orang di belakangnya. Ia menoleh kebelakang, dan memutar badanya dengan lemah gemulai. Terlihat sangat anggun. Andaikan aku adalah Ziva, pasti aku akan mudah mendapatkan pekerjaan.
"Ada Pak Yayan rupanya,~ Pak Yayan, kenalkan ini Hope~"
Ibu Lina memperkenalkan ku pada pria di balakang Ziva. Kini aku bisa melihatnya dengan jelas. Terutama setelah Ziva menyingkir dengan sempurna dari hadapanku.
Ada jeda yang cukup lama bagi aku dan orang yang ada di depanku untuk menyadari kenyataan yang terjadi.
"Defiance" ujarnya dengan tangan yang mengarah padaku.
Wajahku berubah seketika. Bukan karena mengaguminya, tapi karena semua kenanganku dengannya kembali terbuka. Serasa kembali ke masa lalu. Jika bukan karena tak enak hati pada Lina, aku pasti sudah menampar wajahnya pria di depanku. Sumber masalah.
"Hope" . Jawabku lirih.
"Kenapa? Sudah pernah kenal sebelumnya?" . Defiance hanya tersenyum tak menjawab. Dan aku semakin tak bisa menyembunyikan dendamku padanya.
"Bu Lina!" Seseorang berteriak pada Lina.
"Ada telepon dari rumah Bu" katanya sambil menyerahkan Handphone. Itu bukan milik Lina, aku ingat ponsel milik Lina sedang tertidur pulas di rumah karena ditinggal pemiliknya.Tak lama setelah bicara, Lina kembali pada kami.
"Anak saya masuk rumah sakit, Saya Harus pulang Pak!"
Defiance tak memberikan komentar apapun untuk menghentikan Lina. Setelah mengambil tas di ruangan meeting, Lina langsung pergi meninggalkan kami.
"Ziva, kamu ngapain masih di situ, kerjakan tugas yang tadi Ibu kasih ke kamu!"
Ekspresi kaget Ziva tak bisa disembunyikan. Kurasa ia khawatir pada sumber dananya. Namun mau tidak mau, sang sumber dana, harus ia abaikan saat ini. Lina, adalah sekertaris utama yang mengatur semua hal. Melawannya, berarti melawan Yayan, atau panggila saja BOS besar Defiance Tiger! Nama itu masih jelas dalam ingatanku.
Setelah semua pergi, kami nampak seperti patung-patung penghias bundaran perempatan. Monument peringatan tak bergerak. Tanpa kata, tak melihat satu sama lain. Akupun mencoba menghentikan semua pikiran jahat yang masuk ke dalam tubuhku. Tampar wajahnya dan seret, lemparkan dari jendela kaca. Tapi jika aku melakukannya, apa bedanya dengan para jagal penghakim umat manusia. Tanyaku dalam hati. Tapi jika tidak dibalas sekarang kapan lagi.
"CUKUP!" batikun berteriak pada diriku sendiri. Ini harus diakhiri.
"Hmmmm" aku menghela nafas dan pergi tanpa memberikan ucapan selamat tinggal pada Defiance. Aku berusaha agar tak melihatnya, agar sifat jahatku yang perfeksionis lari.
"Tunggu!" ia mencoba menarik tanganku. Saat ku tolehkan wajahku, ia melihat betapa mengerikannya mataku saat itu. Penuh kebencian dan uangkapan jijik melihatnya. Tanganku segera ia lepaskan.
"Yang tadi bicara di telepon itu KAMU?"
Ia mengangguk. Hmmm . Kurang ajar, sepertinya ia memang membenciku dan ingin membuat hidupku berakhir setelah kejadian pemacatan sepihak darinya waktu itu.
"Vine Artha?,itu nama istri Mu?"
Ia tak punya alasan untuk menjawabnya tidak
"Bagus! Perjanjian Batal!"
Aku segera meninggalkannya dengan langkah yang cepat. Menyadari aku pergi, ia berusaha mengerjaku. "Tunggu!"
Lift terbuka, dan aku masuk, ia memaksa masuk juga. Saat akan mulai bicara ia sadar, ada banyak orang di lift tersebut.
"Eh Bapak, kapan datang?" Tanya wanita dengan rambut pirang padanya. Sepertinya dia adalah salah satu karyawan di sini. Wanita itu mulai bicara banyak padanya. Ia tak kuasa untuk mengabaiknya.
"Saya duluan ya pak"
Lantai 1 semua orang sudah keluar. Tinggal aku dan dia, hantu dari makam Cleopatra.
"Dengarkan aku."
Ting, lantai dasar, aku tak bisa keluar. Defiance menutup paksa pintu lift. Lantai terakhir, parkiran, mau tidak mau ia harus mengizinkanku keluar.
"Dengarkan, Tunggu!"
Aku segera berjalan secepat mungkin. Beruntung wanita berambut biru hitam menghadangnya.
"Bapak, cari sopirnya ya?. Saya bantuin ya Pak…" dan Bla bla bla bla. Aku segera menghilang dari tempat itu.
Aku besembunyi di balik mobil-mobil yang terparkir. Setelah ia menyerah mencariku. Ia pergi dan kembali dengan satu-satunya lift di gedung ini. Setelah semuanya aman, aku segera keluar dan pulang.
Aku mengambil tab yang kusembunyikan di dalam tasku. Kumatikan dan kubuka. Nomor GSM yang kupakai, ku ambil, kuhancurkan dan kubuang di jalanan. Tak ada yang bisa mencariku lagi.