Digital.... Digital….
Semua berawal dari kebencian seorang anak gadis yang gila ilmu pengetahuan-
....
"Ayah…. Ayah!"
Dari dalam sebuah lab, anak gadis berusia sekitar sepuluh tahun dibanting di atas sebuah ranjang operasi oleh seorang pria yang ia panggil ayah. Lampu-lampu operasi di atasnya cukup menyilaukan mata biru itu hingga ia beberapa kali berkedip. Tubuhnya meronta-ronta minta dilepas, tetapi kedua tangan, kaki, dan pinggangnya sudah dikunci oleh besi khusus yang terdapat di setiap sisi ranjang.
"Ayah…!" Sang gadis terus berusaha melepaskan dirinya walau sia-sia. "Kumohon, lepaskan aku, Ayah! Aku sudah belajar banyak untukmu, mendapat nilai sempurna di setiap kenaikan kelasku, dan selalu juara dalam berbagai perlombaan Sains. Lalu, apa yang kau inginkan dariku, Ayah?! Apakah yang selama ini kulakukan belum bisa membuatmu bangga padaku?!"
"DIAM, DITTA!!!"
Ditta membelalak terkejut kala sang ayah membentaknya sedemikian keras. Seumur-umur walau sang ayah kurang memperhatikannya, baru kali ini ayahnya berteriak sekeras itu. Seketika Ditta gemetaran, tak terasa keringat dingin membasahi keningnya yang tertutupi oleh poni kebiruan.
Sang ayah mencengkram kedua bahu Ditta erat hingga gadis itu meringis sakit. "Kau memang belum cukup membanggakanku dengan kejeniusan dan segala prestasimu di bidang Sains. Aku sangat bangga jika kau bisa menjadi bagian dari proyekku."
Ditta semakin syok ketika sang ayah memperlihatkan sebuah chip di hadapannya. Chip itu bukanlah chip biasa yang sering digunakan dalam berbagai perangkat berbasis komputer. Ditta tahu betul jenis, tipe, dan kegunaan chip di tangan sang ayah. Itulah sebab mengapa Ditta semakin panik dan ketakutan saat melihatnya.
Sekarang, Ditta tahu maksud dan tujuan sang ayah melakukan semua ini padanya.
Ayahnya dengan seringai lebar, mata membola, dan tangan gemetaran memperlihatkan chip itu pada Ditta. "Kau ingin membanggakan ayahmu ini 'kan, Nak…? Kau ingin melakukan yang terbaik untukku, bukan? Maka dari itu, aku akan memberikanmu ilmu pengetahuan terbaik yang bisa kau manipulasi sendiri tanpa susah-susah merumuskannya secara manual!"
"KAU AKAN MENDAPATKAN SAINS YANG MAMPU KAU KENDALIKAN SESUKA HATIMU!"
"TIDAK, AYAH!" Ditta menggeleng keras. "Bukan itu yang aku inginkan. Kau benar-benar mengekangku. Kau hanya ingin menjadikanku kelinci percobaan!"
Sesaat sang ayah terkekeh kecil, "Hehe…. Sudah terlambat untuk menyadarinya, Ditta Sayang…. Ini demi kebaikanmu juga. Jadi, jangan membantah…."
"Kumohon, Ayah…. Jangan!"
Ditta kecil terus berusaha meronta untuk bisa lepas, tetapi tubuh kecilnya seketika melemas karena sebuah jarum suntik telah mengalirkan cairan bius masuk ke dalam tubuhnya, membuat Ditta tak sadarkan diri lagi.
~*~*~*~
"Organisasi NEBULA secara resmi telah dibuka. Dengan adanya organisasi dari Serikat Galaksi ini, diharapkan dapat membantu pemerintahan galaksi setempat dalam menyelesaikan segala permasalahan. Terima kasih."
Semua orang yang berkumpul dalam aula bertepuk tangan dengan meriahnya. Acara peresmian Organisasi NEBULA hari ini sukses dilaksanakan. Organisasi tersebut kini siap untuk menjalankan tugas dan kewajiban sebagai bagian dari pelayanan pemerintahan Serikat Galaksi.
Salah seorang wanita tengah memperhatikan arloji pada pergelangan tangannya. Sudah hampir siang hari dan dia butuh istirahat sejenak sebelum bisa mulai bertugas di organisasi esok hari.
Sang wanita terlihat begitu aneh dari orang-orang di sekitarnya. Dia memang memakai pakaian formal, tetapi postur tubuh dan perawakannya berbeda dari wanita dewasa pada umumnya. Dia memiliki postur tubuh dan wajah seperti anak usia sepuluh tahun, berambut biru, dan di setiap kulit wajah maupun keseluruhan tubuhnya dihiasi oleh sirkuit-sirkuit elektrik yang biasa ada pada sistem mesin.
Sudah sekitar sepuluh tahun semenjak kejadian memilukan di masa lalunya, ia menjalani hidup dengan tidak normal. Setelah kejadian itu, ayahnya meresmikan proyek baru yang melibatkan dirinya sebagai objek proyek.
Mereka menyebutnya Virtozous, yaitu manusia yang dimodifikasi dengan berbagai perangkat dan sistem menyerupai AI. Tetapi tubuh, organ, dan pikiran manusianya masih ada dan berfungsi seperti sedia kala. Hampir menyerupai Cyborg, tetapi Virtozous memfokuskan fungsi seluruh tubuhnya selayaknya sistem komputer, bukan mesin.
Walau dikenal sebagai Virtozous pertama yang telah diciptakan dalam peradaban seluruh galaksi, hal ini cukup menyiksa dirinya karena banyak orang memandangnya aneh. Dia kini menjalani hidupnya sebagai Virtozous, bukan lagi manusia. Dan ia sepenuhnya menjadi milik Organisasi NEBULA sebagai bagian dari pekerja khusus di sana.
"Hei, Digi!"
Itulah namanya sekarang. Julukannya diubah menjadi 'Digital', banyak orang memanggilnya 'Digi' atau 'Digit'.
Digi menoleh pada seorang pria dewasa yang kini tengah tersenyum padanya. Dia baru menyadari jika orang-orang di dalam aula perlahan mulai berkurang menyisakan beberapa orang di sana.
"Kau mau ikut melanjutkan acara di taman gedung ini, atau langsung pulang?" Kini pria itu duduk di kursi sampingnya yang telah kosong.
Sejenak Digi menunduk. Rasa lelahnya lebih mendominasi, mungkin dia akan memutuskan untuk pulang.
"Aku pulang saja. Besok kita sudah mulai bertugas, bukan?"
"Iya…." Pria itu menyenderkan tubuhnya lalu bersedekap. "Besok kita akan langsung dikirim ke kantor pusat organisasi yang ada di luar angkasa, mengorbit planet Artenia ini. Jadi, siapkan kesehatan saja."
Digi terkekeh sejenak. Dalam hidupnya, satu-satunya orang yang dekat dengan Digi selama ini hanyalah pria ini. Ardian, Digi mengenalnya dengan nama itu. Sosok yang selalu memberikannya perhatian dan keakraban yang selalu membuat Digi nyaman. Figur Ardian seperti seorang kakak bagi Digi.
"Jadi, Ardian." Digi mulai bertanya dengan senyum tipis yang terukir dari wajah bergurat sirkuit itu. "Bagaimana kabar istrimu sekarang?"
Ardian langsung salah tingkah jika sudah membahas istri tercintanya. Tanpa sadar ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bahkan rona merah mulai muncul di wajah rupawan itu. Terakhir Digi mendengar jika istri Ardian tengah hamil tua. Apakah ada kabar baik seputar keluarga kecil sahabatnya itu?
"Emm…. Kemarin Lidia melahirkan seorang putra. Dia sehat, gempal, dan imut," ungkap Ardian malu-malu, tetapi Digi tahu jika ada rasa antusias dan kebahagian yang membuncah dalam dirinya. "Aku sangat bahagia atas kelahirannya. Dan syukurlah, istriku melahirkan putra kami dalam keadaan selamat. Aku sudah menjadi ayah, Digi. Aku sangat bahagia!"
Digi ikut tersenyum melihat kebahagian Ardian. "Aku turut bahagia atas kelahiran putra pertamamu, Ardian. Mungkin aku akan mengurungkan niatku untuk pulang. Aku ingin menjenguk Lidia dan putramu, boleh?"
Ardian mengangguk antusias. "Tentu! Aku sangat senang jika kau datang menjenguk mereka di rumah sakit. Aku ingin mengenalkan putraku pada bibinya yang cantik ini."
"Haha…. Kau ini…."
Iseng-iseng Digi mendorong pelan bahu pria di sampingnya. Baru kali ini Digi melihat Ardian sebahagia ini, kecuali di saat pernikahan Ardian dengan Lidia.
"Omong-omong, Digi…."
Digi dibuat heran kala melihat ekspresi wajah Ardian yang tadi bahagia kini terlihat cemas. Seperti… ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Posisi kita dalam organisasi ini untuk menangani kelompok-kelompok teroris yang marak di seluruh galaksi, bukan?"
Sekarang Digi mengerti. Mungkin Ardian beranggapan jika profesinya dapat membahayakan keluarganya kelak.
~*~*~*~
Sepuluh tahun semenjak Organisasi NEBULA diresmikan, kini setiap divisi disibukan dalam memberantas kejahatan para teroris galaksi yang tidak bisa ditangani oleh pihak keamanan setempat.
Seperti saat ini, alarm merah dibunyikan di kantor cabang organisasi. Seluruh Agent khusus dikerahkan demi menangani kejadian yang satu ini. Dilaporkan bahwa seluruh kota dekat kantor cabang mereka meledak dan dibakar oleh sekelompok teroris paling berbahaya. Level dalam tugas ini sudah mencapai tingkat tertinggi. Oleh karena itu, semua Agent dikerahkan.
Ketika beberapa Agent berlarian keluar dari gedung dengan persenjataan mereka masing-masing yang bervariasi, Digi menarik lengan kekar seorang pria yang terlihat lebih terburu-buru dari yang lainnya.
"Ardian! Ardian, tunggu!"
Sontak Ardian terhenti saat tangan mungil Digi berhasil meraih lengannya. Ardian menatap tajam ke arah Digi, merasa tidak suka jika ia harus dicegat dalam keadaan segenting ini.
"Ardian." Digi mulai berbicara, "Kumohon, kendalikan emosimu, kau tidak biasa seemosi ini sebelumnya. Aku tahu tugas ini sangatlah genting, tapi jangan sampai perasaan marah dan panik mendominasimu."
"Bagaimana aku tidak emosi, Digi?! Istri dan putraku ada di kota itu! Aku harus segera menyelamatkannya!" bentak Ardian pada akhirnya, "Kau seorang Virtozous! Mana mungkin kau mengerti tentang rasa cemas pada keluarga sendiri!"
Tanpa memikirkan Digi yang kini bergeming, Ardian langsung berlari keluar gedung bersama Agent lainnya. Perkataan itu berhasil memukul keras hati Digi. Digi memang selama ini tidak tahu seperti apa rasanya memiliki keluarga yang baik. Mungkin tidak seharusnya ia bersikap seolah-olah ia lebih bijak dari Ardian.
Ardian pantas untuk emosi jika ini menyangkut keselamatan keluarganya. Orang luar seperti Digi tidak patut ikut campur.
~*~*~*~
Kejadian dalam satu malam telah melengkapi segala penderitaan dalam hidup Digi. Dengan mata kepalanya sendiri, ia melihat Ardian dijatuhkan dari puncak gedung hingga tubuhnya hancur dilahap oleh api sekitar gedung. Digi tahu pelakunya, seorang pria bertopeng naga dan satu lagi rekannya yang berpakaian serba hitam. Mereka adalah dua orang dari anggota komplotan teroris yang telah melenyapkan kota ini.
Rekan sang pria bertopeng sempat pergi meninggalkan ia dan Digi bertarung satu sama lain di atas gedung. Pertarungan mereka sangat sengit, antara hologram dari sistem modifikasi Digi dengan tombak api milik sang pria. Mereka terus bertarung hingga akhirnya jatuh dari gedung setelah pria bertopeng itu meledakan gedung dengan senjata canggihnya.
Dan pertarungan pun berakhir dengan kekalahan Digi….
Tubuh rusak Digi berhasil ditusuk oleh tombak sang pria. Luka-luka yang dialami Digi sangatlah parah. Digi hampir tak bisa berkata-kata lagi, bahkan untuk berteriak pun tidak bisa karena rasa sakit yang kini mulai melumpuhkan seluruh tubuhnya.
"Aku turut bersedih atas kematian sahabatmu, Digi…. Ini semua bukan kehendakku. Tapi aku terpaksa melakukannya."
Digi hanya diam, tak bisa menjawab ketika tubuhnya yang tertusuk masih terangkat tinggi menggunakan tombak yang dipegang sang pria. Namun, samar-samar ia masih bisa mendengar dan melihat.
"Maafkan aku…."
Digi sudah tidak kuat lagi. Penglihatannya semakin buram, perlahan kedua matanya tertutup. Tapi sebelum tertutup sepenuhnya, ia melihat sebelah mata biru yang muncul dari balik potongan topeng naga yang hampir rusak.
Tatapan mata sebiru laut, memperlihatkan perasaan bersalah yang teramat dalam ketika menatap kematian Digi pada senjatanya.
"Dragon…."
~*~*~*~
Bertahun-tahun rasa penyesalan itu terus menghantui, hingga dia ingin mengakhiri hidupnya.
"A-Ayah!"
Pesawat luar angkasa yang mereka tumpangi saat ini dalam keadaan genting. Para pembajak rupanya sudah sejak awal menyusup di sana dan mulai berusaha untuk memusnahkan para penumpang.
Gerald dengan terburu-buru memasukan putra kecilnya ke dalam sebuah kapsul darurat yang biasa digunakan para penumpang dalam keadaan darurat seperti ini untuk keluar dari pesawat. Putranya tak henti menangis, bahkan sampai saat Gerald memasangkan sabuk pengaman padanya.
"Dengar, Rickolous…." Gerald mengelus surai pirang putranya dengan sayang. "Kau harus tetap bertahan hidup. Berjanjilah, jika suatu saat nanti kau akan menjadi sosok yang lebih baik. Kau akan menjadi orang baik yang akan selalu menolong siapapun dalam kesulitan. Bukan begitu keinginanmu, Nak?"
Rickolous hanya menangis tanpa menjawab. Dia tahu mengapa ayahnya memasukannya ke dalam kapsul darurat ini. Rickolous tidak ingin berpisah dengan ayah tercintanya, dia ingin selalu bersamanya.
Gerald merogoh sesuatu dari saku mantel yang ia kenakan, menaruhnya di dalam genggaman kecil Rickolous. Sejenak Rickolous tercengang ketika tahu benda apa yang diberikan Gerald padanya.
Sebuah gelang canggih yang paling ia idam-idamkan, milik ayahnya.
"Gunakan gelang AndroMega ini sebaik mungkin," pinta Gerald penuh harap, "Aku percaya bahwa kau akan menjadi sosok terbaik nantinya."
Mata biru itu semakin berkata-kata. Hanya itu kata-kata terakhir yang bisa ia dengar sebelum pintu kapsul tersebut tertutup, membatasi dan mulai memisah keberadaan mereka.
"Ayah…."
….
Setelah kapsul yang ditumpangi Rickolous berhasil melayang menjauh dari pesawat luar angkasa, lewat satu-satunya jendela yang terdapat pada kapsul, Rickolous melihat pesawat yang masih menyisakan ayahnya di dalam bersama para perompak itu meledak disertai sambaran listrik merah yang begitu dahsyat.
Betapa syoknya Rickolous ketika melihat pesawat itu hancur tak bersisa di luar angkasa. Kini tidak ada harapan lagi bagi Rickolous atas keselamatan ayahnya. Siapapun pasti tidak akan bisa selamat dari insiden mengerikan itu. Yang bisa Rickolous lakukan di sini hanyalah menunggu bantuan datang sambil memeluk erat gelang AndroMega milik Gerald dalam genggaman tangan kecilnya.
~*~*~*~
Sudah sekitar lima belas tahun berlalu, kejadian itu takkan pernah ia lupakan. Bagaimanapun juga, ia harus tetap mempertahankan hidupnya tanpa harus dibayang-bayangi oleh ketakutan masa lalu seperti yang ayahnya katakan.
Kini, sosok di masa lalu yang telah tumbuh menjadi pria dewasa ini tengah berdiri di atas puncak gedung sambil menikmati indahnya cahaya mentari terbit di pagi itu. Ditambah lagi, udara segar yang ia hirup membuat jiwanya bersemangat untuk memulai hari yang baru.
Sekilas terlihat sebuah gelang canggih terpasang erat di pergelangan tangannya, monitornya menyala menandakan bahwa gelang itu tengah aktif. Dari gelang canggih tersebut, butiran hologram melayang di sekitar tangan kanannya, membentuk suatu objek panjang. Secara tiba-tiba objek dari butiran hologram itu berubah menjadi sebuah tombak merah. Iseng-iseng ia putar tombak itu dengan sangat cepat, lalu dipanggul di bahunya.
"Hei, Rick! Kapan kita mulai bertugas?"
Pria berambut pirang berantakan dengan memakai jaket merah itu menoleh pada keempat rekannya yang tengah berdiri di belakang, menunggu agar dirinya memberi aba-aba pada mereka untuk memulai tugas.
"Sabar dulu! Aku sedang menikmati mentari terbit! Kau lihat, Bung?!"
Salah satu dari mereka yang memakai blazer rapi bersedekap dan memutar kedua matanya jengkel. Pemimpin mereka yang satu ini sudah bertele-tele, cerewet pula.
Si pirang mengalihkan pandangannya dari rekan-rekannya ke bawah gedung. Di sana mereka melihat banyak sekali robot-robot bekas yang kembali diaktifkan. Lensa penglihatan para robot bekas itu berwarna merah menyala, menandakan bahwa mereka diaktifkan tanpa perintah program maupun kehilangan fungsi AI.
Keempat rekan si pirang yang semuanya adalah pria juga ikut melihat ke bawah. Mereka tidak begitu terkejut melihat jumlah para robot bekas yang sangat banyak. Itu sudah menjadi hal biasa mereka lihat selama bertugas.
"Jadi…, bagaimana?" tanya pria berdandanan Emo.
"Ah~ Ayolah…." Pria berwajah melankolis satunya mengelus pelan pipinya yang halus. "Kita harus cepat menyelesaikan tugas agar aku bisa menghabiskan waktu di kamar mandi."
"Ini akan menyenangkan, Pyo!" ucap antusias pria bertubuh paling besar dengan ekspresi ceria di wajah imutnya.
"Perintahmu, Kawan…," pinta pria dengan memakai blazer sambil melirik ke arah si pirang.
Setelah sempat sok-sok'an berpikir, akhirnya si pirang memberi aba-aba dengan semangatnya.
"Oke!"
Mereka semua mulai memunculkan senjata masing-masing dari hologram yang dihasilkan pada gelang canggih mereka. Si Emo dengan shuriken raksasa dan sebuah masker mekanik, si melankolis dengan tongkat besinya, pria bertubuh paling besar namun berwajah imut dengan kedua pistol Blaster, dan pria berpakaian blazer rapi dengan katana elektrik.
"Baiklah, para pria cengeng!" Si pirang berteriak dengan semangatnya. "Hancurkan mereka semua!"
"Kau yang akan kuhancurkan, Tolol…!"
Si pirang hanya terkekeh canggung sambil mengacungkan dua jarinya pada pria blazer yang sempat mendesis jengkel padanya. Bagaimana ia tidak jengkel? Satu kelompok dikatain pria-pria cengeng.
Mereka semua langsung terjun dari ketinggian puncak gedung, bersiap menyerang saat mendarat dengan senjata mereka masing-masing. Memulai hari mereka dengan pertarungan membasmi robot-robot bekas yang aktif untuk membunuh siapa saja di kota mati itu.
~*~*~*~
Bagian ini awalnya sudah ada versi lengkapnya di Facebook. Tapi tuk prolog, segini aja aku bikinnya.