Gelora 💗 SMA
Aku masuk ke ruang kelas. Suasananya masih terlihat ricuh. Semua memperbincangkan sesuatu hal yang tak jelas. Aku sempat melirik ke arah Akim yang sedang mengumpat dengan bahasa sarkasme, kemudian aku juga melihat Awan dan Yopi berusaha menenangkan bocah si biang kerok itu.
Akim sempat menatapku, namun aku tidak mempedulikannya. Aku melengos dan membuang muka. Aku segan menatapnya berlama-lama, karena akan menimbulkan rasa muak. Aku memilih duduk di bangku paling depan kemudian mengambil sebuah buku mata pelajaran dan mulai berkonsentrasi untuk belajar.
Dan beberapa menit kemudian,
''Milea ...'' Seseorang menyebut nama tokoh yang terdapat di film yang baru-baru ini booming di bioskop. Aku mengenal betul itu suara siapa.
''Kok, Milea diem aja, ada Dilan, nih ...'' Lagi-lagi suara itu mengganggu konsentrasi belajarku.
''Milea ... aku ramal, nanti kita akan tidur bareng di ranjang.'' Entah, aku merasa penyebutan nama Milea itu ditujukan kepadaku. Dan tentu saja ini sebuah penghinaan atau pelecehan. Aku tidak terima. Aku bangkit dari tempat dudukku lalu dengan gesit aku melemparkan buku ke arah muka pemilik suara itu.
BUGG!!!
Buku itu tepat mengenai wajah dia.
Kalian tahu siapa dia? Yes, dia itu si Akim. Ngeselin banget, 'kan?!
''Sekali lagi kamu menyebut nama itu kepadaku, aku tidak segan-segan menghajarmu!'' gertakku mengancam. Bukannya takut, tapi anak itu malah cengegesan.
''Aduh ... Ricopolo kamu kalau marah begini tambah manis, deh!'' cibir Akim yang disambut gelak tawa seisi kelas.
''Akimmm!'' seruku geram. "Kamu belum puas ya, dihajar sama Randy? Kamu mau aku menghajar kamu juga?"
''Tidak, Tidak ... Poo, ampun Poo ... sorry ...'' Akim memasang wajah memelas dan membungkukkan tubuhnya sambil merapatkan telapak tangannya seperti orang yang sedang menyembah untuk menyampaikan permohonan.
''Aku cuma bercanda, Poo-ku sayang ... please jangan dianggap serius, ya ... Maaf.'' Lagi-lagi Akim membuat tindakan konyol yang menyebalkan, tapi cukup menggelitik dan mengundang tawa seperti orang yang lagi ngelawak. Semua teman pada tertawa melihat aksinya, tapi aku tidak.
Aku memandang Akim dengan tatapan permusuhan. Cowok bertubuh pendek dan berkulit sawo matang itu terkekeh tanpa dosa. Aku jadi bertambah geram lalu mengacungkan jari tengah. Dan Akim perlahan bergerak mundur sambil tertawa jahat.
''Oh, Tuhan ... mengapa ada orang semacam dia, sih!'' gumanku dalam hati.
Aku duduk kembali. Aku mencoba bersikap tenang dan melupakan tingkah buruk Akim. Teman-teman yang lain nampak acuh tak acuh. Mereka seakan tak peduli dan tak mau ikut campur dengan pem-bully-an yang aku alami. Rupanya mereka lebih memilih cari aman daripada harus berurusan dengan si trouble maker itu.
Tiba-tiba kelas menjadi tenang. Sepi seperti kuburan. Semua anak duduk manis di bangkunya masing-masing. Aku sempat heran dengan kondisi ini. Tapi rasa heran itu segera sirna ketika aku melihat penampakan seorang guru yang terkenal killer itu muncul di depan kelas. Ada Bu Desi. Guru bahasa Inggris. Guru cantik tapi agak judes. Rambutnya sebahu, kaca matanya tebal, badannya montok dan kalau berjalan megal-megol bagai seekor bebek entok.

''Good Morning, students!'' sapa Bu Desi tanpa ekspresi.
''Good Morning, Madam!'' jawab kami semua kompak.
''Prepare a blank paper and your pens. We will do daily test now!''
''Hah ..." Semua anak pada melongo, namun tak ada yang berani protes, termasuk si Akim. Dia juga tak bernyali kalau di depan Bu Desi. Padahal biasanya dia anak yang suka membangkang bila ada guru yang akan memberikan ulangan harian dadakan seperti ini.
''Okay Class! Lets the test begin!''
Kami saling berpandangan dengan teman sebangku kami masing-masing. Memberikan kode untuk saling bercontekan. Mudah-mudahan tidak ketahuan, ya!