Pagi hari sebelum pertarungan Aslan melawan musuh yang masih belum ia ketahui, Aslan menghabiskan waktunya dengan berlatih seorang diri. Belakangan ini ia jarang melihat Bang John datang ke sasana, sehingga ia lebih sering berlatih seorang diri.
"Semangat banget lu!"
Aslan segera menoleh dan menghentikan latihannya. Ia melihat Bang John sedang melangkah ke dalam sasana. "Bawa apaan, Bang?" Aslan menanyakan plastik hitam yang dibawa Bang John.
"Nasi uduk. Mau ngga lu?" tanya Bang John.
"Ya, ngga nolak kalo dikasih," sahut Aslan. Ia pun segera turun dari ring dan menghampiri Bang John.
Bang John segera meletakkan plastik hitam yang dia bawa di atas meja kopi dekat sofa butut yang biasa digunakan Aslan untuk tidur. Ia kemudian berjalan ke arah lemari rak besi yang ada di sudut sasana dan mengambil dua buah piring dari sana.
Aslan sudah duduk menunggu Bang John di kursi dekat meja kopi tersebut sementara Bang John sedang berjalan ke arahnya. Begitu Bang John meletakkan dua buah piring di atas meja kopi, ia segera mengeluarkan nasi uduk yang ia bawa dari kantung plastiknya dan meletakannya masing-masing di atas piring.
"Makan," ujar Bang John sembari membuka karet nasi uduk miliknya.
Aslan ikut membuka karet nasi uduknya dan langsung menyantap isinya. Nasi uduk lengkap dengan dengan tempe korek, bihun, telur balado dan semur tahu. Aslan dan Bang John tampak sangat menikmati nasi uduk tersebut. Keduanya hanya diam dan menyantap nasi uduk tanpa banyak bicara. Hanya ada bunyi kecap yang keluar dari mulut mereka.
----
"Enak, Bang. Beli di mana?" tanya Aslan setelah nasi uduk yang dibelikan Bang John habis tak bersisa.
"Rahasia," jawab Bang John.
"Bukan yang biasa, nih, kayanya?" sahut Aslan.
"Bukan, gue belinya agak jauh itu," timpal Bang John. "Ntar malem lu tanding?"
Aslan menganggukkan kepalanya. "Tapi gue belum tau lawan gue siapa ntar malem." Ia kemudian terdiam sejenak sebelum akhirnya ia menghela napas panjang. "Ntar malem mungkin bakal jadi pertandingan terakhir buat gue, Bang."
Bang John langsung menatap Aslan tidak percaya. "Serius?"
Aslan mengangguk.
"Lu mau berhenti?" tanya Bang John.
Aslan kembali mengangguk. Kali ini sambil memainkan karet bekas pembungkus nasi uduk. Ia kemudian menatap Bang John sambil tersenyum. "Nanti malam gue harus menang. Setelah itu gue selesai."
Bang John berdecak pelan. "Ada angin apa lu? Gue pikir lu ngga kepikiran buat berhenti. Terus, setelah berhenti lu mau ngapain?"
Aslan mengangkat bahunya. "Belum tahu. Abang mungkin punya saran?"
"Mau gue kenalin sama temen gue yang bina atlit MMA, ngga?" tanya Bang John.
"Boleh," jawab Aslan.
"Tapi, Lan. Kalo seandainya lu kalah gimana?"
Aslan menghela napasnya sembari mengalihkan perhatiannya ke sekitar sasana. Ia kemudian menatap Bang John lekat-lekat. "Siapapun lawannya, malam ini gue harus menang. Gue mau bikin tempat ini rame lagi."
Bang John turut menghela napasnya ketika ia melihat kesungguhan dalam tatapan mata Aslan. "Kenapa lu segitu sayangnya sama sasana ini, Lan? Gue aja yang punya mau ngerubuhin tempat ini."
"Di tempat ini gue banyak belajar. Gue belajar cara ngelindungin diri gue sendiri, untuk pertama kalinya gue bisa ngelupain apa yang terjadi dalam hidup gue di tempat ini. Gue ngerasa bisa jadi diri gue sendiri di sini. Tapi yang paling penting, di tempat ini juga gue belajar kalau ikatan saudara itu ngga harus memiliki hubungan darah," terang Aslan sembari menatap Bang John.
Bang John manggut-manggut mendengar ucapan Aslan.
Aslan berdecak pelan. "Semenjak gue kenal Abang, Abang udah gue anggep kaya saudara sendiri."
"Gue juga nganggep lu kaya saudara gue sendiri," timpal Bang John. "Mungkin karena gue ngeliat versi muda diri gue ada di lu."
"Yang jelas, sih, masih gantengan gue, Bang," sahut Aslan yang disambut gelak tawa Bang John.
"Semangatnya maksud gue," ujar Bang John. "Menurut lu, kenapa waktu gue nolongin lu yang lagi di bully?"
Aslan ragu-ragu menjawab. "Karena Abang kasian sama gue?"
Bang John segera menggeleng. "Karena gue pernah ada di posisi itu. Sayangnya ngga pernah ada yang nolong gue sampai akhirnya gue menemukan tinju buat melampiaskan kemarahan gue sama kehidupan gue. Tapi ternyata, bukan itu esensi tinju yang sebenarnya."
"Maksudnya Bang?" tanya Aslan keheranan.
Bang John menatap Aslan dalam-dalam. "Tinju ngajarin gue buat mengelola emosi gue. Melatih fokus dan melepaskannya di saat yang tepat. Ketika gue dikuasai kemarahan, tinju gue itu jelek banget. Tapi, setelah perlahan-lahan gue belajar buat mengendalikan kemarahan itu fokus gue semakin bagus dan teknik gue bisa berkembang."
Ia kemudian mendekatkan kursinya ke arah Aslan dan menepuk bahu Aslan. "Kalau lu mau menang, jangan terus-terusan ngandelin kemarahan lu. Lu harus berdamai sama diri lu sendiri."
Aslan tersenyum mendengar ucapan Bang John. "Gue ngga pernah cerita, ya, kalo gue punya kembaran?"
Tatapan mata Bang John seketika berubah. Ia menatap Aslan tidak percaya. "Lu kembar?"
Aslan berdecak pelan sembari mengangguk. "Beberapa hari yang lalu gue ngga sengaja ketemu dia di jalan Sabang. Terus waktu pertadingan minggu kemarin, gue liat dia lagi nonton pertandingan gue. Rasanya gue malu banget sama diri gue sendiri karena dia harus liat gue bertarung kaya binatang."
Bang John memperhatikan tatapan mata Aslan yang berubah sedih.
"Setelah sekian lama ngga ketemu, dia harus liat gue yang kaya gitu. Sementara gue liat dia kayanya hidup lebih baik dari gue. Di satu sisi gue bersyukur dia hidup lebih baik. Tapi, ada sebagian kecil diri gue yang merasa ini ngga adil," lanjut Aslan. "Kenapa gue yang menanggung semua kesusahan?"
Bang John terdiam dan tidak sanggup menjawab pertanyaan Aslan. Ia tidak tahu pertanyaan itu diajukan Aslan untuknya atau untuk dirinya sendiri. "Terus lu ketemu dia setelah selesai bertanding minggu kemaren?"
Aslan menggeleng. "Gue nyariin dia di sekitar arena, tapi dia ngga ada. Mungkin dia takut karena saudaranya sekarang udah jadi monster. Atau mungkin dia malu punya saudara kaya gue."
"Jangan ngomong gitu," sahut Bang John.
Aslan mendesah pelan. Ia tidak ingin membahas tentang Leon lebih lama lagi. "Udah, ah. Mending sekarang Abang bantuin gue latihan. Malam ini gue harus menang."
"Juleha bisa histeris kalo tau lu punya kembaran," timpal Bang John tanpa mempedulikan ajakan latihan Aslan.
Aslan tersenyum simpul. "Setelah ini selesai, gue mau memperbaiki hidup gue supaya gue ngga perlu malu ketika gue ketemu lagi sama dia."
Bang John segera bangkit dari tempat duduknya. "Kalo gitu, kita latihan sekarang."
Aslan berdecak pelan sembari merapikan piring bekas makan mereka. Ia kemudian bangkit dari tempat duduknya dan membawa piring-piring itu ke wastafel yang ada di dekat pintu kamar mandi. Setelah itu ia kembali menghampiri Bang John. "Keluarin semua teknik Abang. Latihan kali ini gue bakal lebih serius dari biasanya."
****
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist musik yang saya putar selama menulis cerita ini.
Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.
Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it.
Terus berikan dukungan kalian melalui vote, review dan komentar. Terima kasih ^^