webnovel

BAB 76. TANPA KABAR

Baru saja aku tersadar dan Aryo sudah harus meninggalkanku?

Akan kemana dia?

Dan dimana ini?

"Saya akan menjaga Noni. Ndoro tidak usah khawatir. Urusan yang sudah tertunda dua hari ini lebih penting untuk Ndoro selesaikan."

"Terimakasih, Nyi. Aku percayakan istriku kepadamu."

"Ndoro tidak perlu khawatir." ucap Nyi Tirah menenangkan. "Noni akan baik-baik saja."

"Aryo!" panggilku begitu dia mencapai pintu.

Aryo kembali menghampiriku, membungkukkan badannya yang mengecup singkat bibirku.

Aku terkesiap. Sikapnya membuatku sangat terkejut. Aryo bahkan mencium bibirku dihadapan orang lain.

Setelah Mashita mencelaku kala itu, aku mengingat baik-baik etika Jawa ini. Kita tidak boleh bermesraan dihadapan orang lain. Aku harus mengingatnya ini Jawa abad 18. Tentu akan sangat berbeda dengan Kalverstraat di Amsterdam di abad 21. Bermesraan di jalanan adalah hal yang umum.

Tapi baru saja, Aryo mencium bibirku dihadapan seorang wanita berumur dan dua orang pria yang lain.

"Istirahatlah... Aku akan berusaha kembali secepatnya." katanya sambil tersenyum kepadaku.

Matanya dipenuhi kebimbangan.

"Tunggu!" seruku "Kau mau kemana? Berapa lama?"

Dia mengambil nafas panjang sebelum menjawab pertanyaanku. Mulutnya dirapatkan seakan menjawab pertanyaanku adalah hal yang sulit.

Dengan ragu-ragu akhirnya dia menjawab.

"Aku harus mengurus orang-orangku."

Hanya itu penjelasannya.

Apakah pasukan bantuan dari Batavia sudah sampai?

"Aryo...kau harus kembali."

Senyum itu masih menghiasi wajahnya saat dia melangkah pergi. Apapun itu, masalahnya bukanlah sesatu yang sederhana. Aryo berusaha tampak baik-baik saja dihadapanku. Dan berkata dengan ringan tentang mengurus orang-orangnya. Aku yakin tidak sesederhana itu masalahnya.

Apakah yang dilakukan akan berbahaya?

Pasukan itu akan menyisir dan pencari Aryo dan kawanannya. Mereka menganggap tindakan Aryo dan kawanannya adalah pemberontakan. Mereka akan menumpasnya.

Aku mengambil nafas panjang. Perutku terasa mulas memikirkan bahwa priaku berada dalam bahaya.

Apa yang bisa kulakukan?

Setelah Aryo pergi, aku masih rebahan. Nyi Tirah berkali-kali menanyakan kepadaku keadaanku. Dan berkali-kali pula aku katakan "Aku baik-baik saja."

Dia tampak sedikit khawatir melihat raut wajahku yang suram.

"Nyi!" panggilku.

"Ya, Noni?"

"Dimanakah ini?" tanyaku

"Noni ada di rumah saya." jawabnya dalam Bahasa Jawa.

"Berapa lama saya pingsan, Nyi?"

"Kata ndoro Raden dua hari, Noni. Tapi Ndoro Raden baru membawa Noni kemari tadi malam." jelasnya. "Ndoro Raden terlihat sangat khawatir. Dia tidak sedikitpun mau jauh dari Noni. Bahkan dia belum beristirahat sama sekali."

Begitukah?

"Priaku selalu begitu, Nyi" batinku "Dia memang pria yang istimewa."

Aku tersenyum kepada Nyi Tirah yang mengelu-elukan betapa sayang Aryo kepadaku.

Tapi kata-kata terakhir Nyi Tirah membuatku khawatir.

Aryo belum istirahat sama sekali?!

Apaan ini! Dan sekarang dia harus mengurus orang-orangnya.

Aryo bukan robot. Dia hanya manusia biasa.

Justru sekarang aku menjadi khawatir dan kesal.

Satu hari berlalu. Aryo belum ada tanda-tanda kembali.

Dua hari berlalu. Tidak ada kabar apapun. Aku semakin khawatir.

Paling tidak dia bisa meminta seseorang untuk mengirimkan kabar.

Di hari ketiga. Aku sudah tidak bisa menahan diri untuk terus menunggu.

"Hei kamu!" seruku pada seorang pria yang berdiri didekat pintu masuk.

Sepertinya dia adalah pria yang disuruh Aryo untuk menjagaku.

Dia tampak terkejut dan segera mendekatiku dengan tergopoh-gopoh.

"Noni memanggil saya?" tanyanya.

"Dimana ndoromu?"

Dia tampak bingung.

"Ndoro Raden Aryo!"

"Ya?"

Duh! Menjengkelkan sekali pria muda ini.

Aku harus menarik nafas panjang dan bertanya dengan pelan, "Dimana Raden Aryo sekarang?"

"Dia ada di Kepatihan."

"Dimana itu?" desakku

"Di Kepatihan."

Sial! Tidak adakah penjelasan lain? Ingin rasanya kupukul kepalanya.

"Seberapa jauh dari sini?" tanyaku.

"Jauh."

"Antar aku kesana!" perintahku.

Dia menggeleng.

"Tidak boleh, Noni."

Semakin menjengkelkan.

"Aku harus bertemu Aryo!"

"Kanjeng Raden meminta saya untuk menjaga Noni disini."

Dia keras kepala.

"Kalau begitu tunjukkan saja jalannya. Aku akan kesana sendiri."

Kubenahi pakaianku dan menggelung rambutku sebagaimana yang diajarkan Aryo.

"Tidak boleh, Noni."

Dia menghalangiku.

"Ampun Noni!" serunya sambil berlutut didepanku "Kanjeng Raden akan sangat marah, nanti."

"Aku yang bertanggung jawab."

"Noni baru sembuh."

"Aku sudah merasa baik-baik saja sekarang."

"Tapi... Kanjeng..."

"Antarkan atau tunjukkan jalannya!" desakku kesal.

Aku melewati pintu ruangan itu dan menemukan Nyi Tirah yang sedang menumbuk sesuatu.

"Noni.."

"Nyi, terimakasih. Aku akan menyusul Aryo."

"Hah!"

Dia terkejut. Mulutnya masih menganga hingga beberapa saat.

"Noni... Tunggu Raden disini." katanya kemudian. "Kita tidak tahu posisi tepatnya sinuhun*." (*kata ganti orang yang dihormati)

"Dia tahu!" kataku sambil menunjuk pada pria muda itu.

Nyi Tirah tampak marah kepadanya.

"Noni tunggu saja, Sinuhun pasti kembali." kata Nyi Tirah menenangkanku.

"Kapan?" tanyaku tidak sabar. "Sampai sekarang aku tidak tahu kabarnya! Aku pikir dia akan kembali dimalam hari. Tapi ini sudah tiga hari. Dan tidak ada kabar apapun."

"Noni harus bersabar. Situasinya mungkin belum memungkinkan Sinuhun mengirimkan kabar."

Aku berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Aku butuh kuda.

Aku mencari-cari dan menemukan seekor kuda tertambat di sebatang pohon disamping rumah ini. Dan pelana ada didekatnya.

Sempurna!

Nyi Tirah dan pria itu berlarian menyusulku.

"Noni akan kemana?!" serunya melihatku naik ke punggung kuda.

"Noni, tunggu!" seru pria itu. "Saya akan mengantar Noni."

Senyum kemenangan tersungging di bibirku.

Akhirnya mereka menyerah.

"Apa kau yakin Ndoro ada disana?" tanya Nyi Tirah kepada pria itu.

"Entahlah, Nyi."

"Lalu kenapa kau bilang ke Noni, kalau Raden Aryo ada disana?"

"Saya.... Saya pikir Raden pasti kesana. Karena mereka harus mengatur strategi lagi. Pasukan musuh sudah sangat kuat sejak bantuan itu datang."

Percakapan itu semakin membuatku tidak sabar untuk segera bertemu Aryo.

"Ayo!" seruku tidak sabar.

"Tunggu, Noni. Saya akan ambil kuda lain." katanya. "Maukah Noni turun dari kuda saya? Saya akan ambilkan kuda yang lain. Noni tunggu saja disini."

Benarkah?

Aku khawatir dia kabur membawa kuda itu.

Dia menungguku turun.

Apa aku bisa mempercayainya?

Kutatap wajahnya sekali lagi. Dia tampak lugu. Mungkin aku bisa mempercayainya.

Setelah sekitar satu jam an dia kembali dengan membawa kuda yang lain.

"Mari, Noni."

Dia membantuku naik keatas kudaku.

Nyi Tirah hanya dapat memandangi kepergianku tanpa dapat mencegahnya. Dia berkali-kali membujukku untuk menunggu Aryo kembali. Tapi aku tetap bersikukuh untuk menemui Aryo. Aku tidak bisa menunggu lebih lama.

Jalan yang kami lalui cukup beragam. Mulai dari area persawahan, kebun tebu, perkampungan hingga lereng gunung.

Hari sudah berganti malam saat kita berada di tepian hutan.

"Noni, kita harus beristirahat disini malam ini." katanya.

"Apakah masih jauh?" tanyaku.

Dia hanya mengangguk sambil masih terus menjalankan kudanya pelan-pelan. Dia berjalan kearah tepian hutan. Ada sebuah pondok yang tampak terang.

Ada penghuni ternyata di tepian hutan seperti ini.

"Nek!" panggil pria itu.

Seorang wanita tua keluar dari pondok itu.

"Kau?!"

Wanita tua itu tampak terkejut.

Pria itu segera turun yang mencium tangan wanita tua itu dengan penuh hormat.

"Siapa yang kau ajak?" tanya wanita tua itu sambil mengangkat wajahnya kearahku.

"Dia Den Ayu..."

"Saya istri Aryo, nek." kataku menyela.

"Kanjeng sinuhun?"

Wanita tua itu tampak tidak percaya.

"Iya, Nek." jawab pria muda itu.

"Lalu dimana Kanjeng Sinuhun?"

Pria itu tampak bingung menjawab pertanyaan nenek.

"Kami akan menyusulnya di Kepatihan." jawabku.

"Mereka sudah tidak disana!" jawab nenek tegas

"Apa?!" seruku dan pria itu hampir bersamaan.

"Lalu ada dimana?" tanyaku

"Mereka sudah bergerak ke selatan. Jika tidak ada kendala, mereka akan sampai di perbatasan Yogyakarta pagi nanti."

Lututku terasa lemas. Itu bukan jarak yang pendek untuk kutempuh. Dan lagi, kami tidak benar-benar tahu posisi Aryo secara pasti.

Aku jatuh terduduk.

"Noni!" seru pria itu panik.

Pria itu segera menopang tubuhku.

Harus kemana aku mencarinya?

Chương tiếp theo