webnovel

BAB 61. DANIEL

Daniel menungguku didepan rumah.

"Kenapa malam sekali baru kembali?!" bentaknya kepada Nyai Sinah.

Ya, dia lebih memilih menyalahkan Nyai Sinah ketimbang berkonfrontasi denganku.

Daniel hanya melirikku yang berjalan begitu saja melaluinya tanpa menoleh kepadanya.

"Lain kali saya akan.." sahut Nyai Sinah

"Tidak ada lain kali. Besok Margaret akan kembali bersamaku ke Surakarta."

Aku menoleh kepada Daniel.

"Apa katamu?!" tanyaku kesal.

"Apa pendengaranmu bermasalah?"

Sial! Dia benar-benar brengsek.

Tunggu! Besok aku ada janji bertemu dengan pak tua itu lagi.

Aku tidak bisa kembali besok.

"Aku besok masih ada perlu." sahutku.

"Aku tidak mengijinkan!"

"Aku tidak membutuhkan ijinmu!" tantangku.

Daniel menarik pundakku dan mencengkeramnya. Aku kesakitan. Tapi dia seakan tidak peduli.

"Kau masih istriku!" ujarnya sambil menyentakkan tubuhku ke belakang.

Untung saja tanganku berhasil meraih ujung meja untuk berpegangan. Tanpa itu, mungkin aku sudah terjengkang.

Aku segera berbalik dan berjalan cepat menuju kamarku. Aku tidak ingin menambah runcing perseteruanku dengan Daniel.

Dhayu berjalan mengikutiku.

"Noni!" tegurnya, "saya sudah menyiapkan air mandi Noni."

"Iya. Terimakasih." jawabku.

Bagiku Batavia sangat gerah malam itu. Mungkin karena aku baru saja bertengkar dengan Daniel. Berendam di bak mandi benar-benar pilihan yang menyenangkan sekaligus menenangkan.

Tak pernah seumur hidupku dilayani seperti seorang putri. Tapi kini, bahkan untuk keperluanku mandi, semua sudah disiapkan.

"Dhayu!" panggilku dari dalam bak mandi.

Mataku terpejam menikmati sensasi segarnya. "Aku akan kembali..."

"Apa maksud Noni?"

"Kata pak tua itu aku akan segera kembali."

"Benarkah?"

Aku mengangguk.

"Apakah Noni benar-benar ingin pergi?"

Aku diam sejenak. Aku ragu-ragu.

"Entahlah. Aku... Aku bingung."

"Lalu bagaimana dengan Raden Aryo dan bayi Noni?"

"Aku..."

Aku hanya bisa menggeleng. Aku tidak tahu harus bagaimana. Apakah aku bisa membawa mereka?

Dhayu menyisir rambutku sambil mendengarku bercerita tentang masa depan.

"Kelihatannya dunia Noni sangat enak."

"Di setiap masa ada kesulitannya masing-masing. Tapi aku memang lebih menyukai masaku. Dimasa depan memang tidak ada penjajahan, tapi bukan berarti konflik antarmanusia dan antarnegara tidak ada. Tetap ada walau tidak seperti sekarang. Suatu hari bangsamu akan berdiri sendiri dan lepas dari kami. Kami akan kembali ke negara kami."

Dhayu berhenti menyisir.

"Ada apa?" tanyaku

"Apa saya bisa ikut Noni?"

Aku tertawa melihat pantulannya di cermin. Andai aku bisa membawa semua ke duniaku, pasti akan kubawa.

"Siapa yang akan saya layani, jika Noni tidak ada disini?"

Pintu kamarku tiba-tiba terbuka. Daniel masuk ke dalam kamarku.

Dia memberi isyarat kepada Dhayu untuk keluar.

"Pergilah.." kataku kepadanya.

Daniel menatapku seakan ada yang salah denganku.

"Ada apa?" tanyaku

"Aku hanya ingin menemani istriku." kata-katanya lembut.

Aku tidak ingin mencari masalah dengan Daniel. Aku besok masih harus bertemu pak tua itu.

"Kau tidak tidur?" tanyanya sambil membelai wajahku. "Kenapa kau sangat cantik. Hingga rasanya aku tidak rela kau dimiliki siapapun."

Aku hanya diam tak bergeming.

"Daniel, aku minta maaf. Aku tidak pernah berusaha menggodamu."

"Kau tidak perlu menggoda, karena kau sudah sangat menarik. Kau berbeda dari para wanita rendahan itu. Kau cerdas. Aku tahu bagaimana kau kabur beberapa waktu lalu. Anak buahku menemukan jejakmu. Bagiku wanita sepertimu luar biasa. Tembok setinggi itu mampu kau panjat, walau kau hamil. Kau terkadang melakukan hal diluar nalar. Kau sungguh menarik Margaret."

"Aku tidak..."

"Aku tahu... Kamu istirahatlah. Pasti setelah seharian kau pergi kau capek." ujarnya "Aku hanya akan menemanimu hingga kamu tidur. Aku tidak akan mengganggumu."

Tidak ada nada paksaan dalam kata-katanya.

Aku tidak bisa menolaknya.

Daniel merebahkan dirinya disebelahku. Aku tidak dapat mencegahnya. Dia sama sekali tidak memaksaku. Dia bahkan meminta ijinku untuk itu. Aku tidak bisa menolaknya.

"Apakah kau baik-baik saja?" tanyanya sambil menyingkirkan anak rambut yang jatuh di dahiku.

Aku mengangguk.

"Lalu kenapa kau perlu mencari dukun? Kita punya dokter-dokter yang lebih kompeten daripada dukun.

"Masalahku tidak bisa diselesaikan oleh dokter."

"Maukah kau menceritakan kepadaku masalahmu? Apakah kau diguna-guna oleh inlander?"

Aku menggeleng.

"Ini rumit."

"Aku bersedia memdengarkanmu."

"Kau tidak akan percaya." selaku.

"Coba saja."

"Aku tidak tahu harus memulai cerita darimana." sahutku.

"Ceritakan saja. Aku akan mendengarkanmu."

Aku menarik nafas panjang.

"Apa kau percaya jika aku sudah mati."

Daniel mengangguk.

"Aku pernah mendengar kau pingsan beberapa hari dari Dokter Hoog. Dokter Hoog datang saat kamu sudah siuman."

"Apa kau percaya jika aku bilang bahwa aku bukan Margaret van Jurrien, tetapi Margaret Rutger."

Dahi Daniel berkerut.

"Aku tidak paham. Jadi Tuan van Jurrien berbohong soal kau adalah anaknya?" tanyanya

"Tidak..." jawabku, "Bukan seperti itu."

Aku mengamati wajah Daniel yang menatapku lebih serius.

"Tubuh ini adalah tubuh nona van Jurrien. Tapi aku bukan dia."

Daniel terduduk. Dia menatapku bingung.

"Aku belum paham, Margaret. Aku harap kau tidak sedang bercanda atau berusaha menakutiku agar aku meninggalkanmu. Aku tidak akan melakukan itu"

Aku sudah yakin. Tidak seorangpun akan percaya dan memahami kondisiku.

"Apa wajahku seperti sedang bercanda?!" tukasku kesal.

"Baiklah... Baiklah... Hanya..."

Daniel berusaha menenangkanku. Dia tersenyum lagi kepadaku, walau pandangannya masih penuh kebingungan.

"Coba jelaskan pelan-pelan. Aku akan mencoba untuk memahaminya." katanya lagi.

"Waktu itu aku berada di sebuah rumah. Aku menemukan sebuah diary dan membacanya. Diary itu mengisahkan cerita yang sangat tragis. Dan pemilik diary itu adalah nona van Jurrien. Aku menangis hingga tidak sadarkan diri. Lalu ketika bangun, aku sudah berada di tubuh ini. Wajah ini memang mirip sekali dengan wajahku. Hanya dia lebih muda dariku. Aku datang ke Indonesia... Maksudku Hindia Timur ini dengan menggunakan pesawat. Kau tahu pesawat? Tentu tidak."

Daniel menggelengkan kepala.

" Ya... "

"Aku datang dari masa depan. Tanah ini suatu saat akan lepas dari kalian. Kalian semua akan pulang kembali ke Holland. Negeri ini akan dikenal sebagai Indonesia. Sekitar satu setengah abad lagi negeri ini akan merdeka."

Daniel memiringkan kepalanya.

"Karena itukah kau ingin bertemu dengan dukun itu?"

"Iya. Aku tersesat disini. Aku ingin kembali. Jaman ini terlalu menyebalkan bagiku." jelasku. "Di jamanku, wanita sangat dihargai. Kami memiliki hak untuk menentukan nasib kami sendiri. Aku bisa memilih siapa suamiku. Dan kita akan bersama saat kita sama-sama menginginkannya. Jika ada pemaksaan, maka hukum yang akan berbicara. Hukum dijalankan lebih adil. Tidak ada perbudakan. Setiap ras memiliki hak yang sama. Ketika mereka memiliki kemampuan yang baik, maka di jamanku seorang semacam inlander bisa menjadi jenderal bagi kita."

"Dunia macam apa itu? Bangsa kita adalah bangsa yang unggul. Kita tidak bisa disamakan dengan kaum berwarna. Mereka hanya kaum rendahan." ucapnya suram

"Pemikiran sepertimu sudah tidak ada di jamanku."

"Apa kau yakin dukun itu mampu mengembalikanmu ke jamanmu?" tanyanya

"Entahlah... Aku tidak tahu. Tapi sepertinya dia tahu sesuatu."

"Begitukah?"

Aku mengangguk.

"Besok aku akan menemanimu. Sekarang sudah terlalu larut, aku khawatir dengan kandunganmu. Tidurlah. Aku akan menjagamu."

Sekali lagi aku ingin menolaknya. Tapi dia sudah menyampaikan dengan sangat santun. Aku tidak tega untuk menolak kebaikannya.

Sial! Kenapa dia harus jadi begini baik?

Chương tiếp theo