webnovel

Kau Takkan Jadi Terhormat Hanya Dengan Menghina Orang Kampungmu, Nuad!

"Berdiri!" perintah kopral itu.

Keempatnya berdiri. Si sersan membuka map di tangannya. Lalu menjelaskan pada si Kapten.

"Yang berbaju kuning bernama M. Bintara, penghubung pada pasukan Dahlan Jambek. Yang berbaju hijau bernama D, Inspektur polisi pada Batalyon Sadel Bereh. Ini yang berbaju lengan panjang adalah pedagang yang diduga mata-mata PRRI. Yang satu ini baru saja ditangkap siang tadi di rumah pak Kari Basa, di daerah Panorama. Punya kartu penduduk Padang, tapi mata-mata kita tak pernah melihat orang ini sebelumnya di kota…."

"Besok pagi suruh semuanya menghadap saya sebalum bertemu dengan komandan RTP."

"Siap!"

Kemudian Kapten itu pergi. Kopral CPM tadi menutup pintu. Suasana di ruangan itu kembali sepi. Namun kini sekurang-kurangnya mereka sudah saling mengetahui orang-orang yang ada dalam ruangan tersebut. Kedua orang yang bengkak-bengkak itu sejenak menatap pada si Bungsu. Si Bungsu diam saja. Lelaki yang disebut sebagai pedagang merangkap mata-mata, yang masih rapi itu, tiba-tiba merogoh kantong. Mengeluarkan sebungkus rokok Double As. Dia bangkit, menuju pada dua orang yang bengkak-bengkak itu.

"Silahkan…," katanya menawarkan rokok.

Kedua orang itu saling pandang.Kemudian menatap orang yang menawarkan rokok itu.

"Silahkan merokok …"kata lelaki itu lagi.

Kedua lelaki itu mengambil satu batang seorang. Ketika mereka meletakkan ke bibir, lelaki rapi itu menghidupkan korek api dan membakarkan rokok kedua lelaki itu.

"Terima kasih…"ujar mereka perlahan sambil menghirup asap rokoknya dalam-dalam.

Lelaki itu tegak, berjalan mendekati si Bungsu seperti tadi, dia menawarkan pula rokok itu pada si Bungsu. Si Bungsu menolak dengan mengatakan bahwa dia tak merokok. Saat itu kembali terdengar pintu terbuka. Tiba-tiba si Bungsu merasa jadi dirinya tegang. Di pintu kelihatan tegak seorang OPR,Nuad Sutan Kalek! Ya dialah itu,Nuad mata-mata yang lihai itu.

Beberapa hari hari lalu lehernya pernah diancam si Bungsu dengan samurai. Menyeretnya sampai ke Tambuo untuk melindungi diri dari tembakan tentara. Nuad,si OPR itu bersama seorang temannya yang juga OPR, segera mengenali si Bungsu.

"Benar, Benar dialah orangnya…!"seru Nuad.

Suara langkah ramai-ramai terdengar mendekati kamar tahanan itu. Dalam waktu singkat, ruangan itu penuh sesak oleh tentara. Semua melihat ke si Bungsu yang masih duduk sambil bersandar ke dinding dengan diam kedinding.

"He,kau berdiri!"seorang tentara memberi perintah.

Si Bungsu berdiri. Tentara itu menggeledah tubuhnya.

"Tak ada apa-apa…"katanya.

"He,mana samurai yang kau buat mengancam tempo hari..!"ujar Nuad sambil maju mendekat.

"Sudah saya buang…"jawab si Bungsu.

Sebuah tamparan mendarat dipipi si Bungsu.

"Babi! Dulu berani-beraninya kau mengancamku, he! Ini! ini!..inii!"bentaknya.

Setiap ucapan "ini"nya itu,sebuah pukulan atau tendangan dia hantamkan ke tubuh si Bungsu. Si Bungsu terhuyung-huyung ke dinding. Tapi begitu OPR itu berhenti menanganinya, dia menatap dengan mata yang berkilat dingin.

"Ooo,melawan kau ya!"bentak Nuad.

Tapi ketika akan menampar lagi,tangannya ditangkap seseorang. Ketika dia menoleh, ternyata tangannya di pegang oleh seorang sersan. Sersan yang tadi menangkap si Bungsu di rumah Kari Basa.

"Kabarnya kau menangis waktu diancam dengan samurai itu, benar Nuad?"tanya sersan itu.

Ucapan ini di sambut tertawa bergumam oleh beberapa tentara lain yang memadati ruangan itu.

"Menangis? Puih! menghadapi anak ingusan ini aku menangis? Taiklah!"

Sehabis ucapan, kakinya melayang. Menghantam perut si Bungsu. Kembali anak muda itu tersandar dan tersurut ke dinding. Tapi matanya yang berkilat seperti memancarkan api.

"Kau berani menghadapinya,satu lawan satu?"sersan itu bertanya lagi.

"Saya? Heh, saya khawatir anak ini akan mati sekali saya pukul!"jawab si Nuad.

"Kau berani melawan orang ini,Bung?"

Sersan itu mengajukan "tawaran" pada si Bungsu. Tapi yang ditanya hanya diam. Masih bersandar kedinding. Si sersan kembali bertanya lagi, akhirnya si Bungsu mengangguk perlahan. Anggukannya di sambut tepuk tangan tentara yang ada dikamar itu.

Segera mereka keruangan yang lebih besar. Tentu saja ketiga teman si Bungsu tak bisa ikut. Mereka di kunci dikamar itu. Si Bungsu kini berada dikamar yang cukup luas. Lebih dari sekitar dua puluh tentara sudah tegak disekitar ruangan. Nuad sudah tegak pula ditengah. Si Bungsu dibawa tegak tiga depa dari Nuad. Dia ditinggalkan disana. Tegak sendiri!

"Nah,segera mulai…"kata sersan itu.

Pertarungan ini adalah seperti adu ayam. Tapi siapa dengan negeri yang sedang SOB, bila seseorang lelaki yang punya sangkut paut dengan peperangan hilang, tak usah terlalu banyak berharap dia akan kembali. Dalam negeri yang SOB, yang berkuasa bukan orang-orang. Yang berkuasa bedil. Bedil tak punya otak untuk menimbang patut atau tidak patut.

Si Bungsu tegak diam didepan OPR yang mata-mata itu. Dikelilingi oleh tentara APRI. Masih syukur sersan yang menangkapnya itu mau mengadu mereka berkelahi. Bagaimana kalau dibiarkan saja. Artinya OPR itu dibiarkan menghajarnya sampai lumat. Dia pasti tak dapat membalas. Kini kesempatan untuk membalas itu ada.

Dia tahu, kalaupun menang, maka kemenangannya hanya akan mendatangkan bencana pada dirinya.

Artinya, kalah atau menang dalam perkelahian seperti adu ayam ini, akibat bagi dirinya hanya satu, Penderitaan! Oleh karena akibatnya tetap sama, makanya dia harus memenangkan perkelahian itu. Pikiranya terputus ketika tiba-tiba Nuad yang bertubuh tinggi besar itu menerjangnya. Si Bungsu mengelak. Tapi terlambat. Ujung tendangan OPR itu menyerempet rusuknya. Dia terjajar kepinggir. Dari pinggir ada yang menendang punggungnya. Dia terjajar lagi ketengah. Rasa sakit menyelusup. Nuad menyerang lagi, tapi dengan cepat si Bungsu mengelak. Pukulan Nuad meluncur diatas kepalanya. Ada suara bergalau dari beberapa tentara yang berjajar di sekitar ruangan.

Kini mereka berhadapan. Tendangan dari salah seorang dari tentara tadi memberikan kesadaran pada si Bungsu, bahwa dia kini berada disarang harimau!

Tendangan sepatu berduri dipunggung terasa mendatang rasa ngilu. Dia bukan hanya tak boleh kalah, tapi tak boleh juga tersandar pada kerumunan tentara di sekilingnya. Kalau dia sampai tersandar lagi pasti punggungnya akan kena hajar lagi. Nuad menghayun tinju, si bungsu mengelak dan membalas dengan sebuah pukulan cepat. tapi tangannya ditangkap Nuad, dengan cepat si Bungsu mengirmkan pukulan dengan tangan kiri, tapi tangannya kirinya ditangkap lagi!

OPR ini memang luar biasa, pesilat yang tak boleh dianggap enteng. Tangannya yang memegang kedua tangan si Bungsu diputar. Si Bungsu berusaha bertahan, tapi dibawah gemuruh suara tentara yang menonton, tubuhnya terseret berputar mengelilingi tubuh Nuad. Makin lama makin kencang. Kakinya terangkat beberapa kali karena kehilangan keseimbangan. Kedua tangannya terkunci pada genggaman Nuad.

Ruangan ini dirasakannya mulai berputar. Suatu saat OPR itu melemparkan tubuh si Bungsu. Tanpa bisa bertahan sedikitpun, tubuhnya meluncur menabrak palunan tentara.

Dirinya ditangkap ramai-ramai, setelah di pukul dan ditendang beberapa kali, kembali tubuhnya di lemparkan ketengah.

Suara hiruk pikuk itu nyaris tak terdengar ketika tubuhnya jatuh ditengah ruangan, Lalu sebuah injakan sepat berduri Nuad membuat dia ingin muntah.Terdengar tepuk tangan. Suara tertawa.

Si Bungsu merangkak bangkit. Lalu Nuad mendekat dan mengayunkan sebuah tendangan yang mendarat didagu si Bungsu, sampai tubuhnya terangkat keatas karena tendangan berkekuatan penuh itu. Lalu terlempar, dan terhempas lagi ke lantai. Dia hampi tamat. Darah meleleh dibibirnya yang pecah dan hidungnya yang remuk.

Seseorang menyiram wajahnya dengan air yang berasal dari penples, tempat air militer. Bibirnya yang pecah terasa pedih. Namun air itu membuat kesadarannya agak lebih baik.

Kenapa secepat itu dia ditaklukkan Nuad? Padahal dia mahir Karate dan Yudo yang dilatih oleh temannya yang bernama Kenji ketika di Jepang?.

"Hei, ayo berdiri!" dia dengar seruan orang-orang.

Dia masih menelungkup beberapa saat. Mengembalikan kesadarannya lebih penuh. Memulihkan tenaganya perlahan-lahan. Ketika ada yang menendang kakinya, dia lalu bangkit.

Kini orang yang berdiri di depannya sudah bertukar. Bukan lagi Nuad. Tapi OPR lain. Nuad kelihatan tegak di sudut seperti seorang hero. Seolah-olah si Bungsu bukan tandingannya. Seolah-olah perkelahian sebentar ini menurunkan martabatnya saja. Dengan tatapan yang amat merendahkan, nampaknya dia "mewakilkan" perkelahian itu pada temannya sesama OPR. Si Bungsu tegak dengan kesadaran lebih baik dari tadi. Dia sempat melirik betapa Nuad yang sedang menghisap rokok dengan sikap petentengan.

"Kau coba saja dengan Siswoyo…!" ujar Nuad padanya.

Ucapannya disambut dengan tawa oleh tentara yang memenuhi ruangan itu. OPR yang bernama Siswoyo itu maju. Perlahan si Bungsu menyusun konsentrasi. Berapa lamakah dia tak lagi berkelahi? Dan yang lebih penting sudah berapa lamakah umur sumpahnya, bahwa dia takkan mempergunakan kekerasan kepada bangsanya sendiri?

Tidak, sumpah itu sudah batal sejak peristiwa dengan Nuad, si OPR, beberapa hari yang lalu di Simpang Aur kuning.

Bukankah dia sudah berniat untuk tak kalah? Siswoyo, OPR yang kampungnya entah di mana di Jawa sana, bergerak maju dengan mengirimkan sebuah pukulan. Namun yang dia hadapi kini adalah seorang lelaki yang telah pulih ingatannya. Lelaki yang telah masak oleh seribu pertarungan.

Mulai dari zaman Jepang dan agresi Belanda ketika dia masih berusia dua puluhan, sampai ke Jepang. Singapura dan Australia.

Kini, ketika Siswoyo mengirimkan sebuah pukulan, pukulan si Bungsu justru menyongsong amat cepat dan amat telak. Yang kena adalah kening Siswoyo. Lelaki itu pada mulanya hanya tersurut dua langkah. Tapi setelah itu beruntun terjadi hal yang aneh. Mula-mula matanya jadi juling. Kemudian tegaknya sempoyongan. Lau tubuhnya berputar. Lalu jatuh di atas kedua lututnya. Si Bungsu masih tegak di depannya, dalam jarak tiga depa dengan tenang.

"Hayo Sis! Bangkit. Hajar pemberontak itu!" terdengar seruan-seruan.

Namun tubuh Siswoyo tiba-tiba jatuh tertelentang. Mulutnya berbuih. Matanya yang juling pada putih semua. Dua tentara maju serentak, memegang nadi dan meraba dada Siswoyo.

"Semaput…", ujar tentara itu.

Suasana jadi sepi. Sekali pukul Siswoyo yang berdegap itu bisa keblinger pingsan? Ah, apakah ini suatu kebetulan atau Siswoyo salah mengatur pernafasannya? Tak mungkin anak muda itu tiba-tiba menjadi begitu tangguh. Padahal sebentar tadi dia jadi mainan oleh Nuad. Tiba-tiba terdengar suara.

"Awas, saya hajar orang Minang yang jadi mata-mata gerombolan ini….!"

Orang berkuak. Yang ngomong adalah Nuad, OPR yangg tadi menghajar si Bungsu. OPR yang beberapa hari lalu mengaku orang Bukittinggi, orang Kurai. Yang memohon-mohon sambil menangis agar nyawanya diampuni. Ngeri melihat mata samurai si Bungsu ketika dia diancam di Tambuo.

Kini, dengan pongah dia bilang akan menghajar "orang Minang" yang jadi mata-mata gerombolan!

Si Bungsu menatap dengan tajam. Sinar kebencian yang hebat membersit dari matanya. Beberapa tentara yang kebetulan tegak di depannya, merasa bulu tengkuk mereka merinding melihat tatapan mata anak muda itu.

"Saya akan layani Saudara, dengan syarat Saudara menyebutkan dimana kampung Saudara…" ujar si Bungsu dengan nada datar.

Suaranya terdengar jelas. Tak urung pertanyaan itu membuat Nuad tertegun.

"Jangan banyak bicara, buyung. Atau kau ingin mengulur-ulur waktu, agar lebih lambat saat datangnya kematianmu?"

"Saya orang Situjuh Ladang Laweh. Orang Minangkabau. Saya tak malu mengaku sebagai orang Minangkabau, meski negeri saya memberontak. Dan meski saya tak ikut memberontak, tapi saya tak pernah menghina orang-orang Minang lainnya yang lari ke rimba. Saya ingin dengar di mana kampung Saudara".

Nuad kaget mendengar ucapan anak muda ini. Dia tertegak menghentikan langkahnya.

"Katakan, Nuad. Dimana kampungmu. Atau karena di ruangan ini banyak orang dari Jawa, lantas kau malu mengaku sebagai orang Minang?" ujar si Bungsu tajam.

"Jahanam kau. Aku orang Bukittinggi. Tapi aku tak masuk kelompok pemberontak busuk seperti kalian!"

"Nah, dengarkan baik-baik, Nuad. Jika hari ini seluruh gigimu kurontokkan, maka itu bukan karena kau jadi OPR. Bukan karena kau orang Pusat. Tapi karena mulut dan ucapanmu yang beracun itu".

Ucapan si Bungsu terputus, karena tiba-tiba dengan penuh keyakinan, Nuad menyerang dengan dua kali tendangan silat yang tangguh. Tapi anak muda yang dia hadapi kini adalah anak muda yang telah siap. Si Bungsu mengelak ke samping, lalu kakinya menyapu kaki Nuad yang sebelah, yang tegak di lantai. Gerakan itu demikian cepat dan demikian telak.

Kaki Nuad yang sebelah itu tersapu dan tubuhnya terputar di udara. Lalu jatuh berdembum ke lantai! Jika mau, si Bungsu bisa menyusul sapuan kaki itu dengan sebuah hentakan tumitnya ke dada Nuad yang jatuh tertelentang. Tapi itu tak dia lakukan. Dia tetap tegak menanti. Suasana yang tadi riuh rendah tiba-tiba berobah jadi sepi. Nuad merangkak bangkit dengan sakit di punggung dan rasa heran di hati. Apakah dia jatuh karena serangan anak muda itu atau karena lantai yang licin hingga dia tergelincir? Dia lihat anak muda itu masih tegak dua depa di kirinya.

Hm, aku pasti tergelincir karena lantai licin. Bukan karena serangan. Mana bisa anak itu menyerang dan merubuhkanku, pikir Nuad menentramkan hatinya. Dia bangkit.

Kalau mau, saat itu si Bungsu bisa membalas dengan menendang dagu Nuad. Persis seperti yang dilakukan OPR itu tadi pada dirinya. Tapi dia telah belajar berkelahi secara sportif. Dia tak mau mengambil keuntungan ketika lawan dalam posisi sulit begitu. Dia nanti OPR bertubuh besar itu tegak.

OPR itu tegak dan menggelengkan kepala dua tiga kali untuk menghilangkan rasa puyeng. Lalu menggeram dan membuat ancang-ancang silat. Kemudian setelah melirik-lirik dua tiga kali, dia menyerang dengan pukulan dahsyat dan cakaran-cakaran berbahaya. Namun kali ini, ganti tangannya yang akan mencakar itu kena tangkap. Dan sebelum dia sadar sepenuhnya, si Bungsu membalik sambil menyentakkan tangan Nuad. Tubuh Nuad tertarik rapat ke punggung si Bungsu.

Dengan sebuah gerak membungkuk yang cepat dan kuat, tubuhnya terangkat melayang lewat kepala si Bungsu, dan dirinya kembali jatuh dengan suara berdembam yang pedih ke lantai batu! Dia kena bantingan soinage, sebuah banting Judo yang telak.

Terdengar seruan kagum, kaget dan heran dari mulut tentara-tentara itu. Si Bungsu membiarkan tubuh Nuad tergeletak nanar. Dia merasakan kepalanya berdenyut. Tapi yang paling sakit adalah pinggulnya yang serasa remuk menerkam lantai.

"Kau takkan jadi terhormat hanya dengan menghina orang kampungmu, Nuad!" ujar si Bungsu perlahan.

Nuad menyeringai, bukan karena ucapan si Bungsu. Tapi karena kenyataan pahit yang dia dapati. Ternyata anak muda itu tak mudah dia taklukkan. Tapi, betapapun, dia harus menghajarnya. Bukankah tubuhnya lebih besar dan dia lebih ditakuti? Perlahan dia bangkit. Tegak dengan pinggul agak dimajukan ke depan karena sakit.

Sebenarnya dia sudah ingin menyudahi saja perkelahian ini. Tapi dia malu. Lagipula, apa yang dia takuti? Bukankah dia berada di pihak APRI dan anak muda ini di pihak PRRI? Dengan pikiran demikian, dia membuka kopelriem-nya. Ikat pinggang tentara besar dan berbesi-besi itu dia lecutkan pada si Bungsu. Namun sekali lagi, tangan anak muda itu mengirimkan pukulan yang amat cepat, dan kuat, ke perut Nuad. Tubuh anggota OPR itu terlipat ke depan. Lalu sebuah tendangan menghantam dadanya. Nuad tertegak lagi. Lalu sebuah pukulan telak dan kuat sekali, menghantam mulutnya.

Darah merah mengucur deras ketika kepalanya terdongak ke belakang. Siapapun yang berada dalam ruangan itu merasa pasti, bahwa paling tidak delapan buah gigi Nuad, atas dan bawah, telah rontok oleh pukulan seperti palu besi itu. Dan kesombongan mata-mata APRI itupun runtuh.

Chương tiếp theo