Setelah istirahat makan siang, Mo Tiange kembali ke sekolah.
Di pagi hari, Guru Tua mengajar semua anak di klan untuk membaca. Di siang hari, tidak semua anak kembali ke sekolah. Hanya orang tua yang memiliki harapan tinggi pada anaknya yang menyebabkan anak-anak itu kembali ke sekolah.
Faktanya, Mo Tiange tidak harus belajar terlalu keras - dia adalah seorang gadis. Dia tidak bisa ikut serta dalam ujian kekaisaran atau mencari pekerjaan di kota. Namun, karena Sang Guru Tua benar-benar mengagumi ayahnya, ia selalu memperlakukan Mo Tiange secara khusus. Selain itu, ibunya juga berpikir bahwa karena ayahnya adalah seorang lelaki dengan pengetahuan yang sangat luas, Mo Tiange harus membaca beberapa buku lagi dibanding membuang-buang waktu melakukan pekerjaan rumah tangga yang sepele seperti seorang gadis desa biasa.
Pelajaran siang hari jauh lebih ringan daripada pelajaran pagi hari. Lima atau enam anak yang hadir berlatih menulis sendiri atau meminta Guru Tua mengajari mereka.
Mo Tiange masuk dan memberi hormat pada Guru Tua sebelum menuju perpustakaan.
Keluarga Mo bukan keluarga besar atau berpengaruh. Aula Leluhur hanya terdiri dari satu aula, satu halaman, dan satu sayap timur dan barat. Aula itu digunakan untuk menyembah roh keturunan nenek moyang. Halaman belakang adalah tempat anggur dari Aula Leluhur diminum saat perayaan Tahun Baru atau ketika seorang putra lahir dalam keluarga. Setengah bagian depan sayap timur adalah sekolah, sedangkan bagian belakang digunakan sebagai perpustakaan. Beberapa anak yatim, janda, dan tetua tinggal di sayap barat. Mereka adalah orang-orang yang mengawasi Aula Leluhur setiap hari.
Perpustakaan itu tidak besar - hanya ada enam rak buku yang tersusun di sepanjang dinding. Terdapat sekitar seribu buku disana. Buku-buku tersebut berasal dari warisan generasi klan Mo terdahulu.
Mo Tiange menarik bangku ke arah timur. Buku-buku di rak khusus itu semuanya adalah catatan perjalanan yang ditulis dalam istilah umum dan memiliki banyak gambar - sangat cocok untuk dibaca oleh seorang anak yang memiliki kosakata terbatas seperti dirinya.
Mengenai kegemarannya membaca jenis buku seperti ini, Guru Tua tidak keberatan. Lagipula, anak perempuan tidak bisa berpartisipasi dalam ujian kekaisaran. Apapun jenis buku yang ia baca bukanlah suatu masalah.
Mo Tiange mengambil sebuah buku. Dia juga menemukan sebuah buku yang disebut 'Kamus Besar Ji'. Ia kemudian duduk di samping jendela dan mulai membaca.
Judul buku pertama adalah 'Ringkasan Celestial Pole.'
Buku itu mengungkapkan bahwa dunia ini luas dengan banyak daratan dan lautan yang berlokasi di Celestial Pole yang sangat besar. Selain Negara Jin, ada lebih dari sepuluh negara lain dengan ukuran yang bervariasi. Di wilayah timur laut Celestial Pole terdapat hutan yang luas sementara wilayah barat terdapat gurun yang tak berpenghuni. Bagian utara dipenuhi gletser raksasa dan bagian selatan terdapat barisan pegunungan.
Buku ini mencatat berbagai kisah manusia istimewa di Celestial Pole.
Menurut legenda, ada barisan pegunungan yang memanjang sampai ke bagian paling selatan Celestial Pole, yang dikenal dengan Kunwu. Kunwu membentang ribuan mil dari timur ke barat dan merupakan pegunungan yang tak berujung. Dari zaman kuno, tidak ada yang bisa menyeberanginya. Manusia yang hidup tidak terlalu jauh dari sana terkadang bisa melihat awan ungu pekat dipenuhi dengan binar warna-warni di sekitar gunung. Namun, mereka akan tersesat dalam kabut jika mereka pergi menjelajah. Dengan demikian, jika mereka tersesat dalam kabut tersebut mereka hanya bisa berbalik dan mencoba mencari jalan keluar.
Seiring berjalannya waktu, orang-orang mengatakan bahwa gunung-gunung itu adalah pegunungan Dewa - hanya Dewa yang bisa mencapai pegunungan ini.
Para Dewa yang tinggal di pegunungan Kunwu menyerap embun dari awan di pagi hari dan mengkonsumsi sari bulan di malam hari. Mereka bisa melakukan segalanya. Mereka memasuki dunia fana untuk menemukan manusia dengan akar spiritual dan membawa mereka kembali ke gunung Dewa untuk mengajari manusia itu tentang kultivasi. Jika upaya kultivasi mereka berhasil, manusia itu akan menjadi Dewa. Begitu menjadi Dewa, mereka bisa melakukan hal-hal mustahil - mereka bisa memindahkan gunung dan mengeringkan laut. Satu langkah di atas awan bisa membawa mereka ribuan mil jauhnya. Mereka tidak akan menua dan hidup selamanya.
Semua orang di dunia ingin mencapai gunung Dewa untuk melatih Immortal bones (1)1 mereka. Sayangnya, akar spiritual sangat jarang ditemukan dan tidak dimiliki oleh semua orang. Kebanyakan orang hanya mendengar tentang Dewa dari legenda.
Sebuah kisah tentang seorang raja dari Negara Chu kuno dicatat dalam buku ini. Sang raja memiliki ambisi untuk Hukum Dao (2)2 dan ingin belajar untuk menjadi Abadi. Karena itu, ia memanggil semua Daois di dunia ke ibukota untuk menemukan seorang Daois yang unggul dan menunjuknya sebagai guru negara. Ketika semua Daois bersaing dengan menggunakan Hukum Dao, seorang pengemis yang sangat kotor memasuki aula dan berkata, "Kalian semua hanya cocok untuk membantuku membawa sepatu ini." Semua Daois sangat marah, namun pengemis itu hanya tertawa terbahak-bahak. Ia mengangkat satu jarinya dan sebuah telaga tiba-tiba muncul di tengah aula tersebut. Dia kemudian mengangkat tangannya dan telaga itu terbakar, mengejutkan semua orang di sana. Ketika Raja Chu ingin menjadikannya guru negara, pengemis itu tiba-tiba menghilang di balik asap.
Selain itu, terdapat kisah lain. Kali ini tentang seorang cendekiawan dari Negara Liang. Keluarganya miskin, tetapi dia sangat rajin belajar. Dia akhirnya mendapat peringkat tertinggi dalam ujian kekaisaran. Tetapi saat pesta perayaan diadakan untuk menghormati mereka yang lulus ujian, ia menyinggung seorang pejabat pengadilan yang berpengaruh. Oleh karena itu, ia ditugaskan untuk mengawasi perpustakaan akademi kekaisaran. Cendekiawan yang meraih peringkat tertinggi dalam ujian kekaisaran tersebut dipaksa untuk bekerja di perpustakaan selama sepuluh tahun. Masa depannya tampak buruk. Namun, setelah sepuluh tahun, ia menemukan Kitab Hukum Keabadian(3)3 di perpustakaan. Pejabat ini mampu menguasai Hukum Dao hanya dalam semalam. Setelah mengetahui tentang hal ini, pria berpengaruh yang menugaskannya untuk mengawasi perpustakaan sangat ketakutan. Namun, cendekiawan itu melepaskannya sambil tertawa dan melarikan diri, mengendarai angin.
Mo Tiange sedang membaca dengan penuh semangat ketika seorang pria tiba-tiba berdiri di depannya. Mo Tiange mendongak dan buru-buru menutup bukunya. Ia berdiri dan berkata, "Guru."
Guru Tua mengangguk. Dia mengambil buku itu darinya dan membalik-balik beberapa halaman. "Apakah kau mengerti semua isinya?"
Mo Tiange menjawab, "Jika saya tidak mengerti satu kata, saya akan mencarinya di kamus. Jika saya masih tidak mengerti, saya akan menulis kata tersebut untuk bertanya kepada Guru nanti."
Guru Tua mengembalikan buku itu kepadanya dan berkata, "Bagus. Membaca banyak buku adalah cara terbaik untuk membangun kosa katamu. Silahkan lanjutkan."
"Ya, Guru."
Matahari jatuh di barat. Mo Tiange mengembalikan buku itu ke rak buku dan pergi membersihkan sekolah.
Anak-anak lain sudah pulang. Guru Tua juga pergi ke aula belakang untuk makan. Ia sekarang sendiri di aula depan.
Setelah selesai membersihkan meja dan menyapu lantai, ia pergi membuang sampah. Namun, ketika melewati pintu belakang Aula Leluhur, ia berhenti sejenak.
Tampaknya ada cahaya di dalam aula.
Dia memperhatikan aula beberapa saat sebelum pergi ke arah aula tersebut.
Wanita tidak diizinkan masuk ke dalam Aula Leluhur. Bahkan wanita bersuami pun tidak diizinkan masuk - hanya suami mereka yang bisa memasuki Aula Leluhur. Oleh karena itu, meskipun aula ini dipenuhi dengan memorial tablet, Mo Tiange belum pernah melangkah masuk.
Saat ini, pintu aula sedang tertutup. Cahaya bulan yang tampak seperti kabut membuat Mo Tiange sulit untuk melihat ke dalam dengan baik. Ia melihat ke kiri dan ke kanan. Meskipun ia tidak melihat siapapun, ia masih ragu. Namun, ia tidak tidak tahan lagi dan segera meletakkan baki sampah. Lalu, ia diam-diam berjinjit ke dalam aula.
Aula itu memiliki langit-langit yang sangat tinggi. Setelah pintu ditutup, seluruh aula menjadi gelap. Satu-satunya penerangan datang dari sinar redup yang masuk melalui jendela dan pintu belakang.
Dengan hati-hati, ia melangkah maju dan melihat secercah cahaya. Cahaya tersebut ternyata berasal dari memorial tablet di atas.
Sederet memorial tablet tersimpan di aula. Ada sekitar empat puluh hingga lima puluh tablet tersebar di seluruh dinding di kedua sisi. Hal ini membuat tempat itu tampak sangat menakutkan.
Mo Tiange sedikit meringkuk. Namun, sesuatu yang aneh terjadi - cahaya itu memancarkan sinar yang lebih terang ketika dia mendekat. Tidak dapat mengendalikan rasa penasarannya, ia mendongak dan menemukan hanya ada satu memorial tablet di baris paling atas.
Memorial tablet itu berwarna putih. Namun, seharusnya hanya ada satu batu giok putih, yakni yang berada di rumah kakeknya dan batu itu pun telah diukir menjadi gambar para penguasa Dao ...
Sementara itu, warna memorial tablet ini sepertinya perlahan berubah menjadi lebih terang. Aura putih seperti kabut juga melayang di disekitarnya.
Mo Tiange memperhatikan sekelilingnya sejenak sebelum menyeret kursi dari sudut ruangan menuju rak memorial tablet. Dia menginjak kursi dan dengan hati-hati mengulurkan tangan untuk mengambil tablet.
Dia sangat kecil - hampir setengah tubuhnya harus bersandar di rak untuk mencapai memorial tablet.
Aula tersebut terasa dingin. Gadis kecil itu merasakan aura putih menyebar ke tangannya. Sekarang, ia bisa melihat memorial tablet dengan jelas.
Mo Tiange membalik memorial tablet dan melihat ada beberapa kata di atasnya: Mo Yaoqing. Itu berbeda dari tablet lain karena hanya ada satu nama di atasnya.
Aura putih hampir menenggelamkan tubuh mungilnya. Saat dia memeriksa memorial tablet, ia melihat cahaya putih menjadi lebih terang. Cahaya putih yang awalnya redup perlahan menjadi terang. Matanya kian melebar saat melihat hal yang begitu ajaib.
Tiba-tiba, cahaya bersemburat ke arahnya, membuatnya ketakutan. Pandangannya menjadi buram seketika. Perlahan, matanya tertutup lalu ia terjatuh dari kursi.