Belum sampai Ji Yi mengatakan "bunuh diri", ketika ia tiba-tiba terdiam selama dua detik. Kemudian dengan takut-takut dia berkata, "Jangan marah. Saat aku melihatmu pergi ke kamar mandi dengan wajah yang pucat pasi, aku agak khawatir, jadi…"
Khawatir? Jari-jari He Jichen agak gemetar sembari memencet rokoknya.
Ji Yi menunduk dan berpikir sejenak sebelum melanjutkan bicara dengan pelan, "Aku akan membantumu membayar kerusakan pada pintu. Mengenai kamar ini… aku akan membereskannya sekarang…"
Sambil berkata demikian, Ji Yi membalikkan badannya.
Sebelum gadis itu sempat menghampiri barang-barang yang berantakan di lantai, He Jichen tiba-tiba mengangkat tangannya, membuang rokok ke tong sampah, dan mengambil dua langkah lebar ke arah Ji Yi.
Ji Yi yang merasakan pemuda itu mendekat, spontan menoleh. Sebelum sempat melihat mata pria itu, He Jichen telah meraih lengannya dan dengan cepat menariknya ke dalam dekapannya, memeluknya erat.
Aroma tubuhnya yang khas seketika itu menyelubungi sekujur tubuh Ji Yi.
Awalnya Ji Yi terkejut, tetapi setelah tiga detik berlalu, dia menyadari apa yang sedang mereka lakukan. Tubuhnya membeku, jantungnya bergejolak, dan sedetik kemudian Ji Yi merasa sangat kebingungan dan mulai memberontak dari dekapan He Jichen.
Menyadari apa yang berusaha dilakukan oleh gadis itu, He Jichen semakin mempererat dekapannya. Dia sama sekali tidak memberi Ji Yi kesempatan untuk melepaskan diri.
Dari balik pakaian He Jichen yang tipis, Ji Yi dapat dengan jelas merasakan kehangatan tubuhnya.
Ji Yi merasa jantungnya berdebar tak karuan; ia merasa jengah dan tidak nyaman. Dengan gugup gadis itu menahan napas. Wajahnya terasa terbakar karena malu.
Ji Yi sangat ingin melepaskan diri dari dekapan He Jichen.
Pemuda itu teringat akan luka di pinggang Ji Yi, karenanya ia tidak berani mendekapnya terlalu erat, takut jika melukainya. Pada saat yang bersamaan, Ji Yi semakin memberontak, tetapi ketika dia hampir terlepas dari dekapannya, He jichen mendadak berkata, "Bisakah kau memelukku?"
Pemuda itu terdengar sangat lembut, tetapi dalam suaranya ada kesedihan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Ji Yi merasa hatinya seolah ditusuk oleh sebuah benda tajam. Seketika itu juga ia berhenti memberontak, dan tubuhnya membeku di tempatnya berdiri.
Setelah sekitar tiga detik, Ji Yi bersuara, "Aku…"
Beranggapan bahwa Ji Yi akan menolaknya, He Jichen buru-buru berbicara terlebih dahulu. "Tolong peluklah aku. Hanya untuk beberapa saat. Sebentar saja…"
He Jichen terdengar jauh lebih lembut dibandingkan dengan sesaat yang lalu. Ji Yi tidak yakin apakah itu hanya bayangannya saja, tetapi dia seolah mendengar He Jichen memohon padanya.
Seorang pria yang begitu sombong dan angkuh, mengapa dia memohon sesuatu dariku?
Dalam keheranannya, Ji Yi mendengar suara He Jichen dari atas kepalanya. "…sebagai teman. Apakah boleh?"
Teman… Bagi Ji Yi, dia adalah teman yang paling penting dalam hidupnya ketika mereka masih muda dulu …
Ji Yi ingin menolak He Jichen, tetapi kata-katanya seakan tercekat di tenggorokannya. Tak peduli sekuat apapun dia mencoba, ia tak dapat mengucapkannya.
Kebisuan dan keragu-raguan Ji Yi memberi He Jichen sebersit harapan dan perlahan dia mempererat kedua lengannya yang memeluk gadis itu.
Tidak seperti sebelumnya ketika Ji Yi mencoba melepaskan diri darinya, tubuh Ji Yi kini berubah tegang.
Dengan hati-hati, He Jichen mendekapnya dengan lebih erat. Karena Ji Yi tidak memberontak, perlahan dia menundukkan kepala, dan membenamkan wajah di rambut gadis itu.