webnovel

Prince Almeer A. William | Pukul 13.30

"Dapat dari mana orang itu?" ucap Helen saat menyaksikan acara televisi yang menyiarkan berita pernikahan salah satu selebgram ternama.

Tak lama, Jasmine datang membawakan makanan beserta dengan obatnya.

"Jasmine. Liat. Mirip banget sama punya Mama, kan?"

Jasmine bingung dengan ucapan Mamanya. Dia melihat berita itu. Tapi mimik wajahnya masih menunjukkan kebingungan.

"Kalung yang dipakai gadis itu loh. Mirip banget sama punya Mama. Kalung berlian hadiah ulang tahun Mama dari Papa. Dimana ya sekarang? Kamu simpan di brangkas ya?

"Brangkas? Mama, emangnya kita punya brangkas?"

"Jasmine, Papa dulu punya temen pengusaha berlian. Dan spesial untuk hari ulang tahun Mama, Papa pesen desain yang Khusus dari temennya itu. Kamu tau, berlian itu dari Belgia dan sangat spesial. Inget nggak? Waktu kecil, kamu suka banget pake perhiasan-perhiasan Mama. Apalagi kalung Mama yang itu. Dan pernah juga satu kali, kamu jatohin anting Mama ke toilet. Tapi untungnya ada Bi Siti yang langsung sigap ambilin. Mama nggak tau itu gimana caranya Bi Siti ambilnya." Helen menceritakannya dengan gamblang. Tawanya mengiringi.

Sementara Jasmine membuang muka. Berusaha menyembunyikan kesedihannya dengan menghindar dari tatapan mata sang Mama. Tidak bisa bohong, mendengar Mamanya bercerita, dia sebenarnya sedih. Karena pintu masa lalu itu kembali terbuka. Menyajikan segala bentuk kesenangan yang berubah menjadi kesedihan. Bukan hal yang mudah untuk bisa menerima semuanya dan berdamai dengan keadaan. Sampai sekarang pun, Jasmine masih terus berusaha untuk sepenuhnya berdamai dan tidak mengingat-ingat kejadian itu lagi.

"Ma, udah ya. Sarapan dulu yuk."

Melihat Jasmine matanya sedikit berair, Helen bertanya, "Kamu nangis? Mama tau. Pasti kamu kangen sama Papa ya?"

"Mama..."

Helen mematikan televisi dan ganti mengambil makanan yang sudah dibawakan oleh putrinya. Kali ini raut wajahnya sudah berubah. Tidak seceria pada saat dia menceritakan momen-momen kebersamaan keluarga kecilnya dulu. Menyuap nasi pun seperti orang yang tidak bertenaga. Sambil melamun pula.

"Ma, apa Jasmine bisa pegang omongan Mama kali ini?"

"Apa? Memangnya Mama pernah bohong apa sama kamu sampai-sampai kamu bilang kayak gitu ke Mama."

"Mama harus janji kalau Mama nggak akan minum lagi."

Helen meletakkan piringnya di meja. Lalu dia menghembuskan napas perlahan.

"Ma... ayolah. Kita harus kompak, Ma. Mama nggak boleh kayak gini terus."

Helen mengangguk pelan. Dan Jasmine pindah duduk di sebelah Mamanya. Mereka berdua saling berpelukan satu sama lain.

***

Apa yang sudah terjadi di masa lalu tidak bisa diubah. Mau itu baik atau pun buruk, semua akan tinggal di masanya. Sedangkan sekarang, kita sudah tidak ada di masa itu. Waktu tidak bisa diputar kembali, tapi momennya, kenangannya, akan terus bisa diputar. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kenangan itu mempengaruhi kita atau tidak sama sekali.

Dean Gino Abiyaksa hadir dengan segala story line nya di masa lalu. Dan hal itu membawanya pada sikap-sikap buruknya selama ini. Hidup di keluarga yang sangat menjunjung tinggi martabat dan reputasi, membuat Gino lebih memilih untuk memendam sendiri segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Amarahnya tidak tersampaikan dengan benar. Lukanya tidak terobati, dan kekecewaannya terus mendarah daging. Sampai sekarang, jangankan mengingat-ingat masa lalunya, hanya dengan melihat Wilan dan Maya saja terkadang sudah membuatnya dipenuhi dengan amarah. Terutama dengan Maya. Entah sampai kapan, baginya Maya adalah penyebab Mamanya meninggal. Seandainya Maya tidak pernah hadir dalam hidup Wilan, mungkin dia masih merasakan kasih sayang keluarga yang utuh. Dan seandainya Wilan tidak bertingkah, semuanya akan baik-baik saja.

Basket menjadi salah satu caranya sejenak menghilangkan penat. Di lantai bawah, di samping garasi mobil, adalah tempatnya bermain basket kalau ada di rumah. Seperti sore ini, sebelum ke kampus, dia memilih untuk bermain basket terlebih dahulu. Entah sudah berapa lama dia bermain, yang jelas saat Rio datang menghampiri, keringat sudah mengucur di seluruh badannya. Dan napasnya juga sudah ngos-ngosan.

"Ada apa? Apa yang membuatmu marah?"

"Mas Rio."

"Papa bilang sesuatu?"

"Enggak. Papa nggak ngomong apa-apa. Cuma inget sesuatu aja."

Rio turun dari tangga dan mendekati Gino yang masih sibuk mendrible bola basket.

"Gino. Kamu selalu mikirin masa lalu. Kamu ini masih muda. Santai lah dikit."

"Bicara emang paling gampang."

Tiba-tiba Rio melepaskan Jas, dan melinting kemeja dark grey-nya. Lalu menyahut bola yang di pegang Gino sambil berkata, "Ayo, kita selesaikan pertandingan ini."

"Papa bahkan minta untuk berhenti main basket. Tapi siapa yang peduli. Gue akan tetep main basket sampe kapan pun."

"Gino kita semua paham perasaanmu. Dan juga, bukannya itu kebiasaanmu?"

"Apa?"

"Menyalahkan Papamu dalam segala hal. Hahaha."

Gelak tawa Rio menghiasi. Sementara Gino, hanya tersenyum tipis.

Cukup lama mereka berdua bermain basket. Dan sepanjang permainan, mereka tak henti terlibat perbincangan. Permainan baru selesai saat Gita datang bersama dengan Prince.

"Wah wah wah, seru banget nih kayaknya. Jadi siapa yang menang?"

"Uncle dong. Iya kan?" teriak Prince.

Permainan terhenti, Gino dan Rio langsung mengambil minuman yang dibawakan oleh Gita.

"Uncle menang, kan?" sekali lagi Prince bertanya. Memastikan apakah tebakannya benar atau salah.

"Sorry Prince. Kali ini Papio yang menang." Rio menjawab sedikit meledek kepada Gino.

Prince melepaskan gandengan tangan Gita lalu berjalan menghampiri Gino. Dan seperti biasa, Gino langsung membentangkan tangannya untuk memeluk, setelah itu menggendong Prince.

"It's Ok, Uncle. Lain kali Uncle pasti menang lagi. Seperti biasanya."

"Loh jadi Cuma Uncle aja nih yang dikasih semangat. Papio nggak dikasih selamat?" protes Rio.

Prince meminta turun dari gendongan Gino dan beralih kepada Rio.

"Selamat ya, Papio. Hari ini Papio ngalahin Uncle. Padahal kan Uncle jago banget main basketnya. Tapi hari ini Papio yang menang."

Semuanya tertawa mendengar celoteh bocah berusia lima tahun itu. Kehadiran Prince memang selalu bisa memecahkan suasana. Kepolosannya, keluguannya, kemurniannya, selalu memberikan energi yang positif bagi siapa saja yang ada di dekatnya. Prince Almeer Ataro William. Anak pertama Gita dan Rio, kesayangannya Gino dan seluruh keluarga Abiyaksa. Kecuali Maya. Lagi-lagi Maya. Dia memang peran utama dalam segala hal di keluarga Abiyaksa.

Saat Prince ada di rumah Abiyaksa, maka Gino akan menjadi sosok Uncle yang paling manis di seluruh dunia. Tidak akan terlihat sosoknya yang kaku, pendiam, apalagi marah-marah. Semua itu seketika hilang.

"Mamita, hari ini aku mau nginep lagi disini, ya," pintanya.

"Hari ini kan Prince harus ke acara Birthday nya Kia. Besok aja ya nginepnya."

"Tapi aku maunya hari ini Mami."

"Prince..."

"Please... Papio, Please." Dia menyatukan kedua tangannya.

Astaga, wajahnya Prince super menggemaskan. Rambut keritingnya yang mulai panjang sedikit mengganggu pandangan matanya. Tapi itu justru menambah kelucuannya. Sesekali dia singkirkan ke samping. Meskipun ujung-ujungnya kembali lagi.

"Papio baru inget, hari ini kayaknya Uncle sibuk di kampus. Iya kan Uncle?"

"Betul sekali." Gino menjentikkan jemarinya.

Raut wajah Prince seketika memelas. Lucu sekali. Hanya karena tidak bisa menambah masa menginapnya bersama Gino, Prince langsung menunduk lesu. Padahal beberapa menit yang lalu dia memberi semangat kepada Uncle nya.

Tak ingin melihat kesayangannya itu sedih, Gino lantas berucap, "Gini deh. Besok kan sekolahnya Prince libur. Jadi, pagi-pagi sekali, Uncle akan jemput Prince. Kita jalan-jalan dan main seharian. Gimana?"

"Beneran Uncle?"

"Bener dong."

"Yeeyy... Yaudah Mamita, Papio, sekarang kita pulang. Kan kita harus ke Birthday nya Kia. Iya kan?"

"Oke. Let's Go."

Sekali lagi Gita dan Rio hanya bisa tertawa melihat tingkah laku putranya. Sedekat itu adiknya dengan anak semata wayangnya. Iya. Kedekatan Gino dengan Prince memang tidak diragukan lagi. Dan Prince juga selalu mengikuti apa pun yang Gino lakukan. Bahkan rambut saja, Prince juga mau gondrong seperti Uncle. Seandainya bisa tumbuh brewok sejak bocah, pasti Prince juga mau menumbuhkannya. Jangan tanya kenapa. Karena jawabannya pasti lah, biar seperti Uncle. Hebatnya, saat bersama dengan Prince, Gino tidak pernah memperlihatkan arogansinya itu. Amarahnya seketika lenyap saat dia sudah mendengar suara Prince.

Prince selalu ingin dekat dengan Gino. Dan Prince juga sangat suka saat-saat bersama Gino. Kenapa? Karena bersama Gino lah Prince bisa mendapatkan apa yang tidak diperbolehkan Mami Papinya. Gino selalu memanjakan Prince. Menuruti apa pun kemauan Prince. Sedangkan Gita dan Rio memberikan batasan-batasan. Bahwa tidak semua hal bisa mereka berikan. Tidak semua keinginan Prince harus dipenuhi. Meskipun sebenarnya sangat bisa bagi mereka menurutinya. Tapi Prince harus belajar memilah mana yang perlu dan tidak. Prince tidak boleh terlena dengan kemewahan dan kemudahan yang ada di keluarga Abiyaksa.

Sebagai orang tua, Gita dan Rio tidak ingin Putranya itu dikendalikan oleh kemewahan sejak dini. Menuruti segala kemauan anak bukanlah bentuk rasa sayang. Tapi itu sama saja membentuk karakter anak menjadi manja dan ke bergantungan. Karena si anak merasa mendapatkan kemudahan saat dia menginginkan sesuatu. Tinggal bilang, pasti akan terpenuhi.

Untungnya, Prince hanya dua minggu sekali menginap di rumah Abiyaksa. Jadi, Gita dan Rio masih memaklumi sikap Gino. Meskipun begitu, mereka juga terus menegur agar tidak terlalu memanjakan Prince. Tapi yang namanya Gino pasti tidak akan begitu saja menerima dan mendengar.