webnovel

Tidak Ada yang Istimewa Selain Mengikuti Semuanya

Menjadi berbeda ternyata bukan sebuah pilihan. Ada berbeda yang menjadi bagian dari takdir seseorang, bisa diubah atau bahkan sulit diubah. Seperti gadis yang rambut hitamnya tidak pernah dirintikan dengan catokan rambut seperti banyaknya gadis sepantarannya, dan sekarang rambut lurusnya itu sebentar lagi menyentuh pinggang walaupun tingginya hanya 153 cm saja. Apalagi badannya yang berat badannya yang mentok 40 kg saja. Dan kali ini dia sedang jalan memasuki gerbang sekolah di awal kelas sebelas SMA, yang lagi lagi berbeda dengan kelas sebelumnya.

Ini menjadi yang ke delapan kalinya ia pindah sekolah. Tidak ada yang mau, tapi kali ini orang tuanya yang meminta karena tunangannya ada di SMA Bayangkara, yang padahal hanya berbeda kecamatannya saja dengan sekolah sebelumnya. lagi pula, di sekolah sebelumnya juga tidak ada yang harus ia pertahankan, sementara di sini ada tunangannya yang mungkin bisa memberikan kesan bahagia untuk sisa-sisa hari di hidupnya.

Dan seperti pindah sekolah sebelumnya, rutinitasnya pasti di antar oleh kedua orang tuanya sampai ke kelas. Tapi kali ini ia di antar menemui tunangannya.

"Kamu udah sarapan Tama?" tanya Papa Niken, sedangkan Mama merapikan rambut Niken.

"Udah, Om. Om, Tante sama Niken juga udah sarapan?"

Papa mengangguk, dan mengajak Tama berbicara berdua saja. Niken melirik keduanya yang membelakanginya. Tidak ada yang ia inginkan selain kebahagiaan, apa pun yang dilakukan orang tuanya juga menjadi keinginan mereka.

"Kalau kamu rasa Tama nggak pantas dalam sikapnya ke kamu, bilang ya ke Mama," ujar Mama menyadarkan Niken dari lamunannya.

Niken mengangguk, "Iya, Ma. Sebaliknya."

"Sebaliknya?"

"Kalau aku ngerasa sikap aku juga gak baik buat dia, aku bilang."

Mama tersenyum, "Anak baik."

Papa dan Tama kembali ke hadapan Mama dan Niken. "Ayo, Mah. Tama yang nganterin ke kelas, satu kelas sama Tama," kata Papa.

"Satu kelas juga?" tanya Niken tersentak.

"Iya, Nik," Tama yang menjawab.

Papa dan Mama pun meninggalkan mereka berdua usai mencium kening Niken dan mengingatkannya untuk tidak meninggalkan obatnya ke mana dan di mana pun dia berada. Hanya saja jadinya Niken dan Tama diam tanpa ada yang mencuri pandang.

Dengan kakunya Tama bertanya, "Ayo ke kelas."

Niken mengangguk saja, dan Tama langsung jalan di depannya. Seperti osis yang mengantar anak baru ke kelasnya, Tama tidak melambatkan jalannya dan Niken sama sekali tidak mempercepat jalannya. Tidak akan mulai sesuatu tanpa ada yang memulai. Keduanya merasa tidak enak satu sama lain, dan itu tidak akan menumbuhkan cinta yang berbalas.

Bahkan saat tiba-tiba Tama berhenti, ia sama sekali tidak berkata. Niken yang jadi kebingungan, "Ini kelasnya?"

Tama baru mengangguk, "Kamu mau duduk sama aku? tapi aku udah ada teman satu meja."

"Ya nggak apa-apa. Gak harus sebelahan juga."

"Nanti kalau Papa kamu nanya, kelasnya di depan taman sekolah ya."

Niken mengangguk, "Emang tadi Papa ngomong apa aja ke kamu?"

"Kamu jangan sampai nggak minum obat."

"Oh iya."

"Ya udah, kamu bisa duduk di kursi belakang yang kosong. Ada temannya kok, tapi kayaknya belum datang."

Niken mengangguk tanpa sempat membalas.

"Nanti istirahat aku mau ngomong, ya."

"Oh iya."

"Ayo," ajak Tama untuk masuk ke dalam kelas.

Saat baru beberapa langkah memasuki kelas, Tama kembali berhenti dan Niken pun. "Semuanya dengerin! Di awal hari kelas sebelas ini, kita dapat teman baru namanya Niken Kaina Anjana!" teriak Tama menarik semua perhatian yang sudah ada di kelas. Lalu Tama memberi kontak mata untuk Niken memperkenalkan dirinya.

"Hallo semuanya, salam kenal, panggil aja Niken."

"Hallo Niken," sapa semuanya yang ada di kelas.

Tama mulai berjalan lagi, tapi saat Niken akan mengikutinya. Tama menengok sedikit dengan memberi tatapan dingin, "Ke kursi yang tadi aku tunjukin."

Seketika itu langkah Niken langsung berhenti. Yang ada pada kenyataan memang selalu jauh dari harapan kebahagiaan manusia. Tidak ada yang spesial dari pindah sekolah, apalagi bagi Niken ini sudah seperti kebiasaan. Dia seperti hanya singgah di suatu pulau saja. Dan pindah sekolah kali ini juga tidak memberi kesan bahwa dia pindah karena seseorang yang merupakan tunangannya. Ini berbeda dari semua cerita yang pernah ia baca setiap satu minggu sekali sebelum ia periksa jantung ke dokter. Bahkan kalung tetap Niken kenakan daripada harus memicu kesalahpahaman, tapi sama sekali tidak memperlihatkan mereka berdua sudah diikat atau pun setidaknya Tama ingat, dia yang meminta Niken untuk memulai ini semua.

Walau begitu, adanya seseorang yang baru itu karena adanya seseorang yang lalu. Bukan, tidak ada yang tahu bagaimana kenangan Tama di sekolah ini, yang juga mungkin akan berubah jika semua orang tahu kalau Niken tunangannya. Apalagi saat Niken sedang berjalan ke mejanya di pojok kelas, matanya tertarik melihat susunan organisasi kelas yang mana nama Pria Tama Sakta terpampang sebagai ketua kelas. Tidak mungkin ada yang tidak mengerti bagaimana posisi ketua kelas di luar itu yang menjadi tipe ideal setiap perempuan yang ada di kelas XI IPA 2. Karena Niken pun langsung sadar diri.

Tidak ada sesuatu yang jelas selain awan adanya di langit dan tanah adanya di bumi. Bukan sesuatu yang jelas dari manusia yang diam saja membiarkan semuanya. Akan tetapi tidak termasuk Niken yang ikut saja ke mana laki-laki yang di depannya ini berjalan. Sampai akhirnya Tama berhenti tepat di bawah pohon taman yang membelakangi semua kelas.

"Mau ngomong apa?" tanya Niken sambil melihat Tama yang terlihat masih memeriksa keadaan sekitar.

Tanpa sempat Niken bertanya lagi. Tama baru membalas kontak mata Niken yang sudah lebih awal memerhatikannya. "Aku mau minta maaf dulu soal aku nggak bisa antar kamu ke meja."

"Nggak perlu minta maaf, aku ngerti kamu ketua kelas."

"Kamu udah tahu?"

Niken hanya mengangguk.

ada jeda yang Tama berikan, sampai akhirnya ini yang ia pikirkan, "Kalau gitu, aku juga mau calonin diri buat ketua osis tahun depan, Nik."

"Terus apa hubungannya?"

"Aku gak bisa kasih tahu semuanya kalau kamu tunanganku."

Niken sedikit tersenyum mendengar itu, "Siapa yang minta diakuin?"

Tapi justru itu pertanyaan yang membuat Tama merasa bersalah, " Bukan gitu, Nik."

"Tam, malam itu kamu yang lebih meminta aku untuk jalanin ini dulu. Ya udah, aku juga gak ngasih kamu persyaratan apalagi peraturan."

"Tapi setiap perempuan itu pasti mau diakui, Nik."

"Aku perempuan yang kekurangannya langka, Tam."

"Ya itu justru yang harus aku tahu gimana caranya untuk.."

"Untuk memperlakukan aku?" potong Niken, "Jangan lakuin perjodohan ini karena kamu kasihan ke aku, Tam!"

"Niken."

"Iya, aku bercanda."

"Niken," tapi Tama sebelum ini juga tahu, yang tadi tidak pantas ia katakan bahkan saat Niken tidak memberinya tekanan.

"Pertunangan bukan sesuatu yang boleh dilanggar, tapi juga bukan sesuatu yang nggak boleh kita batalin, apalagi kalau kita nemu yang buat kita merasa lebih baik. Mau kamu dan aku, itu sama sama hak kita, Tam. Yang penting kamu ingat aja kalau udah mau yang lain, putusin pertunangan kita, aku juga sebaliknya."

"Sepertinya aku yang lebih banyak kekurangannya, Nik."

"Tapi kalau kita sama sama, jadi banyak kok, Tam."

Bahkan ternyata semua keinginan hati itu tidak ada yang tahu. Setelah percakapan singkat tapi sedikit panjang itu, tangan Tama menggenggam tangan Niken. Ini di luar dari apa yang dipikirkan Tama selama di kelas, dan ini menjadi kali pertama Niken setelah selama ini dia merasa tidak pantas menjadi seseorang untuk orang lain.

Tet tet tet

Akan tetapi semua itu dilepaskan Niken saat alarm jam mendeteksi denyut jantungnya yang tiba-tiba cepat dari sebelumnya. Dan tangan kanan Niken mengepal dada bagian kirinya.

"Kamu nggak apa-apa?" Tama panik.

"Obat a-aku.."

"Obat kamu mana, Nik?"

Niken tidak bisa menjawab itu karena semuanya terlihat kabur dari semua warna, dan brugggh. Tama langsung sigap memeluk Niken di pangkuan tangannya.