Mungkin karena James lama tinggal di luar negeri, sehingga menggenggam tangan dan bergandengan sepertinya hal yang biasa. Namun, dokter itu sepertinya tidak sadar bahwa itu tidak berlaku untuk budaya Timur.
Jean dapat merasakan tatapan mencemooh yang tergambar di mimik wajah para suster dan dokter yang kebetulan melihat mereka bergandengan, tapi apa yang bisa dilakukannya?
Jean sudah menolak dan mengatakan pada dokter tampan itu jika dia merasa risi, tapi James tidak mengacuhkan permintaannya. Lelaki itu malah menangkup telapaknya di atas jemari Jean, dan dengan percaya diri menuntun langkah mereka menuju ruang makan dokter di lantai lima.
"Masuklah," ujar James sambil menahan pintu untuk membiarkan Jean masuk.
Interior ruang makan dokter yang berukuran 3x7m itu terang benderang. Dindingnya yang di cat putih tampak pucat diisi dengan furnitur dari kayu maple. Empat meja panjang tersusun di sisi kiri-kanan, membelah ruangan menjadi dua.
Self service counter terdapat di bagian depan. Di sana sudah disiapkan microwave, toaster, mesin kopi, kulkas dengan berbagai bahan makanan beku yang dapat diolah sendiri. Jika malas, dokter dapat langsung mengambil cake dan roti yang selalu tersedia di rak snack.
Saat Jean akan beranjak menuju counter, James menahan tangannya. "Duduklah, Jean. Hot latte-kan seperti biasa."
Senyum Jean mengembang ketika lelaki itu menawarkan minuman favoritnya. "Ya."
“Perfect!” James memberinya kerlingan mata sebelum berbalik menuju counter, sementara Jean berjalan ke arah berlawanan dan mengambil tempat duduk kosong untuk mereka.
Sambil menunggu, dia mengedarkan pandangan. Sekelompok dokter muda di sudut ruangan tampak sedang menikmati tontonan yang asik dengan wajah semringah. Dokter lainnya memilih bermain game agar tetap terjaga. Hanya sedikit yang tidak dapat menahan kantuk dan tertidur dengan beberapa cara aneh.
Dikembalikan lagi pandangannya pada punggung James yang sibuk berkutat dengan mesin kopi dan sepiring snack. Dia sudah mengenal James sejak diterima bekerja di RSU Srikana Medika-Surabaya, sekitar satu tahun yang lalu. Adanya chemistry yang kuat terhadap James, membuat kedekatan mereka terjadi begitu saja.
Dia sudah banyak mendengar gosip jika lelaki dengan raut muka blasteran dan senyum yang melumpuhkan itu, dikabarkan telah mematahkan hati banyak rekan medis yang jatuh cinta padanya.
Tentunya, itu tidak mengherankan. Selain karena James berasal dari keluarga terpandang, juga dokter berbakat yang sedang mengajukan studi S2 di luar negeri. Ditambah lagi sifatnya yang humoris, perhatian, dan single! Faktor terakhir ini yang membuat kepala UGD rumah sakit ini memiliki banyak penggemar rahasia.
Masalahnya, James seperti menempel padanya—mereka makan bersama, jadwal jaga yang sama, melalui keadaan darurat bersama, dll—sehingga dari kaca mata para staf lain, mereka terlihat seolah terlibat cinta lokasi. Padahal tidak, menurut Jean.
Tidak mungkin James menyukainya yang bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa yang bisa dibanggakan. Dan, meskipun tampan, Jean menghargai James sebagai sahabat, karena lelaki itu selalu bisa membuatnya merasa nyaman.
Seperti Mike, pikirnya muram.
"Nah, silakan dinikmati, Non," ujar James membuyarkan lamunannya.
"Ugh … panas. Terima kasih, James." Jean menyeringai sambil menerima hot latte dari tangan James.
Sambil sesekali meniup uap panas yang keluar dari gelas kertas, dia menyeruput minuman hangat itu. Aroma kopi dan rasa hangatnya, membuat pipi Jean bersemu. Sepotong muffin bertabur kepingan cokelat, yang menyusul masuk dalam mulutnya, membuat Jean mendesah untuk menyatakan kenikmatan.
Entah lapar ataukah muffin itu terlalu lezat, saat menelan potongan terakhir dari muffin kedua, Jean baru sadar jika sedari tadi James mengamatinya. Jean buru-buru menelan dan menyeruput lagi kopi untuk membersihkan tenggorokannya.
"Err ... muffinnya enak. Kau tidak mau makan?" tanya Jean sambil melirik muffin terakhir.
Meskipun ingin, tapi dia tidak mungkin memakan semuanya, itu tidak sopan. Jadi, dijilatinya noda cokelat yang menempel pada jari, sambil menunggu dan berharap bahwa James tidak menginginkan muffin itu.
"Jean, apakah kau mau menikah lagi?" Pertanyaan James, membuat Jean hampir saja memuntahkan lagi muffin yang barusan di telan. "Maksudku, kau masih muda, cantik, pintar—paket yang sempurna. Aku yakin banyak lelaki yang tergila-gila padamu, tapi mengapa kau belum juga menikah? Please, jangan marah, ya."
Jean mempelajari raut wajah James lekat, bertanya-tanya apakah lelaki itu bermaksud mencemoohnya? Namun, ekspresinya begitu serius, hingga mau tidak mau Jean harus berpikir keras. Dia meletakkan gelas dan menghembuskan napasnya. Jarinya memainkan gelas kertas itu, sembari menimbang jawaban apa yang harus diberikannya pada James.
Mungkinkah lelaki itu suka padanya, seperti yang digosipkan semua orang? Ditepis segera pertanyaan bodoh yang timbul di kepalanya. Selama ini, dia menolak untuk percaya. Bagaimanapun, latar belakang mereka jauh berbeda dan tidak pantas baginya untuk bersanding dengan seorang dr. James.
"Aku tidak tahu James. Aku senang menjadi sibuk, sehingga tidak ada waktu untuk memikirkan itu," jawab Jean akhirnya. Melihat reaksi dokter di depannya yang ternganga, Jean tidak tahan untuk menggodanya. "Kenapa bertanya? Ada calon yang mau kau kenalkan padaku, ya?"
"Ada, uhm ... aku." Gantian jawaban James membuatnya ternganga. "Aku ingin mengajukan diri, bagaimana menurutmu?"
Jean mengejap beberapa kali, sebelum mengunci pandangannya pada James. Tidak ada tanda-tanda bercanda dalam nada suara atau tatapan matanya, membuat dia meringis. Rahangnya berkedut seolah seseorang telah mencekalnya kuat.
"Kuharap kau tidak sedang sakit atau barusan terjatuh di kamar mandi, James. Kau tidak mungkin tertarik pada seorang janda berumur 26 tahun." Jean terkekeh, diseruputnya lagi kopi yang mulai dingin dan mendapati tangannya gemetar. Dia pernah berpikir romantisme sudah mati untuknya, namun kata-kata James barusan membuat Jean berpikir dua kali.
"Jean, aku serius—"
"Tidak, James. Kaulah paket yang sempurna dan kau berhak mendapatkan seseorang yang statusnya lebih baik dariku,” potong Jean dengan nada suara meninggi dan serius.
Bukan hanya James, dia sendiri terkejut dengan reaksinya, tapi demi Tuhan! Jean tidak bisa membiarkan lelaki itu terbangun di kemudian hari dan menyesal karena telah mengambil keputusan yang salah.
Jean melirik sekilas ke sekitar, beberapa dokter jaga yang tadi sedang asik sendiri, mulai mengalihkan perhatian ke arahnya. Mereka memandang satu dan lainnya dengan tatapan bertanya-tanya mengenai apa yang terjadi.
Tubuh Jean gemetar dan matanya mulai berkaca-kaca. Ini tidak adil bagi dia yang sudah merasakan sakitnya kehilangan. Dan, akan tidak akan adil bagi James, jika dia menerima lelaki itu.
Telapak hangat lelaki itu yang menangkup kedua tangannya, menghantarkan getaran aneh yang merambat di nadinya. James tersenyum untuk menenangkan, seperti seorang dokter yang menyatakan bahwa besok dia sudah bisa pulang ke rumah dalam keadaan sehat.
"Menikahlah denganku, Jean," bisik James lembut.
Namun, bukan kelembutan yang dirasakan Jean. Dadanya sakit dan pandangannya berputar, ketika kata-kata itu kembali bergaung dalam pikiran. Tanpa berkata apapun, Jean bangkit dan bergegas pergi meninggalkan ruang makan. Meninggalkan James dan mimpi indahnya.
Langkahnya cepat menyusuri koridor rumah sakit yang sepi. Suara tapak kaki di atas lantai vinil berdentam-dentam bersama dengan pikiran lain yang membuatnya sesak. Sejak kematian Mike, Jean belum berpikir untuk menikah lagi. Hatinya sudah mati dan Jean tidak yakin akan sanggup untuk menjalin bahtera rumah tangga lagi dengan siapapun.
Dalam lengah, seseorang membekap mulut Jean, lalu mendorongnya masuk ke ruang janitor yang gelap. Pintu di belakang mereka langsung menutup otomatis.
"Jean." Jarak mereka sangat dekat, Jean bisa merasakan embusan napas lelaki itu menggelitik daun telinganya.
"James? Apa yang kau—"
Sebelum kata-katanya selesai, James sudah membungkam Jean dengan bibirnya. Ciumannya begitu lembut dan tanpa paksaan. Lelaki itu melakukannya sekali, kemudian menjauh. Jean menelan ludah, bibirnya gemetar. Tidak, seluruh tubuhnya gemetar.
Oh, dia berharap James tidak dapat melihat reaksinya, seperti dia yang tidak dapat melihat reaksi James.
"Jean, aku serius. Ini bukan masalah status janda atau gadis. Kau sempurna di mataku dan aku menginginkanmu." Bisikan James di telinganya, menghantarkan getaran hingga ke syaraf-syaraf sensitif pada tubuhnya. Bagian yang dia pikir telah mati bersama Mike.
"A-aku ... aku tidak tahu harus berkata apa, James. A-aku—"
Bibir lelaki itu kembali turun dan menciumannya perlahan, melumat bibirnya seolah itu adalah makanan terlezat di dunia. Lidahnya merayu Jean dan membuatnya kepayang. Kemudian, tanpa ragu, lelaki itu merangkul pinggang rampingnya, menghilangkan jarak antara mereka ketika Jean merespon ciumannya.
"Katakan 'ya, aku bersedia', Jean, supaya aku bisa membawamu pulang segera."