Mobil ayahku berhenti di halaman depan rumahku, dengan segera paman keluar dengan membawa tas berisikan barang-barangku saat dirawat di rumah sakit. Mungkin baginya, berada di sekeliling kakak laki-laki satu-satunya itu terasa begitu tak nyaman. Sangat tidak menyenangkan.
Ayahku yang kaku, idealis, perfeksionis, keras dan penuh aturan. Berbanding terbalik dengan paman Rhon yang begitu bebas dan tidak konsisten.
Tak ada dari mereka yang mirip selain wajah mereka yang terlihat seiras. Rambut terang, mata coklat madu redup, dengan alis tebal menaunginya. Sekilas melihatnya kalian akan bisa menebak bahwa mereka Kaka beradik. Sayangnya hubungan mereka tak terlihat sedekat itu. Bahkan jika diibaratkan, ayahku adalah air yang tenang sedangkan pamanku adalah api yang bergejolak.
"Papa ingin kau tinggal dirumah kita sampai kau benar-benar membaik dan bisa berangkat ke sekolah seperti biasa." Suara papa membuatku segera menoleh, melepaskan pandangan mataku yg sejak tadi mengawasi paman. Ia sudah membuka pintu depan rumahku dan memasukan barang-barangku ke dalam.
"Aku baik-baik saja pa. Besok aku sudah bisa berangkat sekolah." Menjawab dengan cepat pertanyaan ayahku adalah sebuah aturan wajib. Tak ada yang boleh membuatnya menunggu sebuah jawaban, tak ada satu pun.
"Kau yakin, Marie? Wajahmu bahkan masih pucat." Ibuku melanjutkan kekhawatiran ayahku.
Meski aku tinggal di sana untuk sementara, pada akhirnya mereka berdua tak ada di rumah untuk mengurusku bukan? Lalu apa bedanya aku disini?
"Aku yakin. Lagi pula Minggu depan sudah ujian midsemester."
"Benar juga." Ibuku menghela nafas. Nilaiku harus tetap sempurna, tak boleh membuatnya kecewa, tak boleh membuat sebuah ekspetasi yang ia ukir tentangku hancur sehingga tak ada celah bagi teman-teman sosialitanya untuk menjadikan ibuku sebagai topik gosip pagi mereka.
***
"Kenapa kau tak mengatakan apa yang kau rasakan pada mereka?" Pamanku membantuku membuka bungkus obat-obatan yang harus aku minum sore ini, tak lupa menuangkan air putih di dalam gelas.
"Apa gunanya." Aku mendesis sebelum akhirnya menelan beberapa pil sekaligus lalu menenggak air putih dengan cepat.
"Setidaknya mungkin dengan begitu orangtuamu akan memikirkannya. Bahwa kau adalah tanggung jawab mereka." paman Rhon menyilangkan tangan di atas permukaan meja dan menjadikannya sandaran bagi kepalanya saat ini.
"Jangan bilang paman begitu ngotot karena ingin lepas tanggung jawab paman atas diriku?" Aku melirik padanya, paman Rhon sendiri langsung menoleh dan mengibas-kibaskan tangannya.
"Tidak Maria. Kau gadis mandiri yang tak pernah merepotkanku sama sekali, aku hanya perlu mengawasimu sesekali. Kau juga terlihat tidak di dekati laki-laki mana pun." wajah pamanku terlihat santai mengatakan kalimatnya, seakan itu adalah hal wajar untuk diucapkan pada seorang gadis seusiaku.
"Apa maksudnya itu?! Maksud paman aku ini benar-benar tidak menarik begitu?!" Entah kenapa rasanya kesal mendengar kalimat itu dari pamanku. Yang notabene hanya tertarik dengan wanita yang cantik.
"Tidak! bukan begitu. Maria, kau seharusnya bangga. Bahwa kau terlihat begitu tidak tersentuh. Dimana semua gadis-gadis seumuranmu sudah tak lagi memiliki batasan terhadap teman prianya. Kau masih bersih."
Pamanku membeberkan poin yang tepat mengenai hatiku. serupa anak panah yang meluncur dan menancap tepat di lingkaran merah. Aku terdiam. Dan diam-diam merasa bangga. Sebisa mungkin aku menutupi senyumanku darinya.
"Soal Michael.." sebuah dehaman pelan terdengar setelah ia menyebut nama Michael, seakan ini adalah pembahasan serius.
Ukh! Ini dia.. pamanku sepertinya mulai menyadarinya.
"Apakah kau menyukainya?" Pandangan pamanku lurus, langsung pada mataku. Seakan ia sedang menelisik sebuah kebenaran yang aku coba tutupi.
Benar kan?!
Aku mengaku pada pamanku bahwa Michael adalah teman yang menyelamatkan aku. Tidak ada kebohongan tentang hal itu bukan? Lalu soal sebuah sandangan 'teman', memang nyatanya kami belum memiliki hubungan apa pun kan? Sebuah kecupan dan pengakuan dari Michael tak akan cukup bagiku untuk berpikir bahwa kami adalah sepasang kekasih, selama ia belum memintaku untuk menjadi kekasihnya secara terus terang.
Tapi pertanyaan pamanku ini... Bukannya menanyakan kami sepasang kekasih atau bukan malah bertanya tentang perasaanku pada Michael. Seakan yang membahayakan baginya adalah ketika aku lebih tertarik pada Michael ketimbang Michael yang menyukaiku.
Apakah terlihat sangat jelas kalau aku menyukainya? apakah semudah itu paman menebak dari ekspresiku?
"Tidak." Jawabku selugas mungkin. Aku memang tidak pandai berakting, tapi menutupi perasaan adalah keahlianku selama ini.
"Benarkah?" Paman makin mengamati gerak-gerikku dengan ekspresi curiga. sialnya, pria di hadapanku ini adalah buaya darat yang terbiasa menghadapi wanita tipe apa pun.
"Ya, memang kenapa?" Aku balik bertanya agar mengurangi rasa canggung yang aku alami sekarang.
"Syukurlah, karena penampilan Michael tak memperlihatkan dia pria yang baik. Lagi pula dia-"
Apa katanya barusan?!
"Jangan seenaknya menilai seseorang dari penampilannya paman, dia berkali-kali menolongku dan menjagaku. Paman lihat sendiri kan? Dia menemaniku di rumah sakit pada pagi hingga paman datang. Lalu kembali bekerja pada malam harinya. Michael tak tidur sama sekali! Dia juga tak melakukan hal-hal buruk padaku atau memanfaatkan uangku." hanya untuk menjelaskan hal ini, nafasku memburu.
"Terlalu awal untuk mempercayainya kan?"
"Bukankah orang-orang juga selalu salah menilai paman." Mataku menyipit melihat pamanku.
"Apa maksudmu?" alis paman bertautan, aku yakin, ini adalah topik yang akan sangat mengganggunya.
"Orang-orang pasti menganggap paman adalah pria hebat, cerdas dan menghormati wanita. Seorang pangeran! Nyatanya paman suka mempermainkan wanita!" Suaraku meninggi saat mengatakan kalimat terakhir. Biar saja! salah siapa menyepelekan penampilan orang lain!
Mulut pamanku menganga, ia tak mempercayai apa yang telah aku katakan padanya.
Tentu saja, karena biasanya aku adalah gadis penurut.
Ah.. seharusnya aku tak terbawa emosi. Hanya mendengar Michael disepelekan saja, rasa kesalku seakan langsung meletup ke puncak kepala. Bagaimana mungkin pamanku tak berpikir aku menyukainya?!
"Maaf karena menjadi paman yang brengsek!!" ia bangkit dari duduknya, masih menatap tak percaya padaku.
Oh tidak! aku melampaui batasnya.
"Paman dengar.."
"Aku tidak peduli orang lain mengatakan apa pun, Maria! tapi kau, tidak bisa. Aku yakin apa yang terjadi padaku kau akan mengerti, hanya kau di keluarga ini yang bisa mengerti!" pamanku mulai kembali duduk, menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
"Paman, maafkan aku." aku mendekat dan mendekapnya. Ia tak pernah menceritakan apa pun alasannya, ia hanya mendeskripsikan perasaannya. Ketakutannya, kesepiannya rasa frustasi dan kebingungan yang menyesakan dada.
Sejujurnya, aku sangat tidak memahami apa pun keinginannya. Selain merasa kesepian dan ingin dikasihi.
"Aku tahu kau menyukai pemuda itu, aku hanya merasa khawatir Maria." suaranya pelan, aku melepaskan pelukanku.
"Aku dan dia tak memiliki hubungan apa pun. Dan aku yakin dia tak akan melakukan hal buruk padaku, paman. percayalah.."
Aku sedang berbohong. hubunganku dengan Michael memang rumit, tapi aku ingin kami bisa bersama.
"Baiklah kalau begitu, aku pegang kata-katamu. Tapi jika suatu saat dia menyakitimu, aku adalah orang pertama yang harus kau beritahu dan jangan menghalangiku untuk menghajarnya." aku merasakan keseriusan dalam ucapannya.
Semoga itu tak akan terjadi, karena jika iya mungkin aku akan hancur sebelum mengatakannya pada paman Rhon.
***