webnovel

Pertempuran

Seorang gadis dengan seragam SMA lengkap dengan cardigan berwarna kuning pastel itu menatap sekeliling dengan takut. Di sisi kanan ada rombongan lelaki dari sekolahnya, dan di sisi kiri ada rombongan lelaki dari SMA Merpati. Gadis itu tau mereka pasti akan tawuran. Sejak dahulu, SMA Garuda dan SMA Merpati tidak pernah damai, mereka merupakan musuh bebuyutan. Entah bagaimana ceritanya ia bisa terjebak di tengah-tengah seperti ini. Ingin lari namun kakinya terasa lemas. Hingga sebuah tarikan membuatnya bergeser ke pinggir.

"Lo mau mati?"

Gadis itu terdiam kaku. Ia tidak berani menatap manik mata tajam itu lebih lama lagi.

"Sekarang ngapain diem? Pulang!"

Gadis itu mencengkeram pinggir roknya. Keringat dingin mulai keluar dari telapak tangannya. Dengan ragu, ia menatap pemuda di hadapannya. "Harusnya gue yang tanya sama lo, lo mau mati karena tawuran? Heran gue sama lo kenapa nggak ada bosennya tawuran mulu."

Pemuda yang ber-nametag Alterio itu meletakkan tangannya di pinggang kanan. "Cih, nasehat lo nggak akan mempan buat gue."

Gadis itu menghembuskan napas gusar, ia melipat kedua tangannya di depan dada. "Kenapa lo batu banget sih jadi cowok? Kalo tante Irene tau lo masih tawuran, lo bisa kena marah lagi!"

"Pulang! Nyawa lo bahaya di sini!" tegas Alterio sembari menatap sekeliling karena kondisi sudah tidak kondusif. Rahangnya mengeras. Seperti sedang menahan emosi.

"Tap-"

"Pulang, Brisia! Gue nggak bisa jamin lo masih hidup kalo lo tetep di sini!"

Brisia memandang Alterio khawatir, kemudian ia berbalik untuk mencari taksi. Di dalam taksi pikirannya terus tertuju pada Alterio. Ia khawatir tentu saja, Alterio adalah tetangganya sejak lima tahun yang lalu.

Ponsel Brisia bergetar menandakan ada pesan masuk. Ia segera membukanya.

Mama:

Sia, mama pulangnya agak malam. Kamu kalau mau makan beli aja ya

Brisia menghela napas pelan sebelum membalas pesan dari Mamanya.

Brisia:

Iya ma

Mama:

Sampai nanti, sayang

Brisia menutup ponsel dan menyimpan di dalam tasnya yang berwarna cokelat tortilla. Keadaan seperti ini sudah biasa, semenjak Ayahnya meninggal, Ibunya sering bekerja hingga larut malam. Setibanya di depan rumah, Brisia segera turun dan masuk ke dalam rumah. Ia membersihkan badan lalu merapihkan rumahnya. Jika dibandingkan dengan rumah Alterio, rumah Brisia tidak ada apa-apanya.

***

Alterio menatap tajam musuh yang ada di hadapannya. Penampilannya begitu berantakan, baju dikeluarkan dengan kancing baju bagian atasnya yang dibiarkan terbuka, tidak lupa Alterio memakai bandana hitam dengan tulisan Nestra, dan kalung dengan liontin huruf A. Ya, Nestra adalah nama geng yang dipimpin oleh Alterio.

"Maju lo semua!" Alterio melangkah maju dengan tegap tanpa rasa takut sedikit pun. Ia langsung meninju wajah Ferdi yang merupakan ketua geng Grata. Pasukan Nestra yang lainnya pun langsung menyerang musuh.

Tepat di depan SMA Garuda, kedua geng motor itu saling bertempur menyebabkan jalanan macet dan membuat risau warga setempat. Tidak ada warga yang berani melerai karena takut terkena salah sasaran.

BUGH!

Ferdi berhasil memukul rahang Alterio, menyebabkan darah segar mulai mengalir di sudut bibir pemuda itu. Dengan kasar Alterio mengusap darah di sudut bibirnya dan balas menyerang musuh.

Alterio berhasil menendang perut Ferdi membuat cowok itu tersungkur ke bawah. Alterio tidak memberikan Ferdi ampun, ia semakin memukuli wajah musuhnya yang sudah terlihat lemah. Ferdi memuncratkan darah dari mulutnya, sebentar lagi mungkin ia akan pingsan.

"Denger." Alterio menarik kerah seragam Ferdi. "Berani mengusik kami, tandanya siap untuk berperang!"

Alterio tersenyum devil ketika mengucapkan kalimat itu. Kalimat yang merupakan slogan Nestra.

"Gue nggak akan kalah dari lo, tunggu pembalasan gue," balas Ferdi pelan karena tenaganya sudah menipis. Tidak lama kemudian ia jatuh pingsan.

"Lemah." Alterio menendang kaki Ferdi, ia kemudian melihat sekeliling yang ternyata tawuran ini dimenangkan oleh Nestra.

"Cabut sebelum ada polisi!" perintah Alterio yang langsung dilaksanakan oleh anggotanya. Suara knalpot motor terdengar bersahut-sahutan ketika mereka meninggalkan tempat itu.

***

Sia menghentikan kegiatannya yang sedang menulis jawaban ketika deruman motor terdengar. Ia mendongak, dan mendapati Alterio yang baru saja sampai dirumahnya.

"Pasti wajahnya memar lagi," gumam Sia lalu melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti.

"Sia." Alterio menghampiri Sia dan duduk di kursi kayu berwarna cokelat.

"Apa?" jawab Sia tanpa menoleh. Itu membuat Alterio kesal dan menarik buku yang sedang Sia baca.

"Al! Kebiasaan deh," kesal Sia lalu merebut bukunya kembali.

"Lo sok cuek banget sama gue, lagian lo nggak bosen apa belajar mulu?"

"Nggak. Sekarang gue tanya sama lo, lo bosen nggak tawuran mulu?"

Alterio menenggak minuman soda milik Sia yang masih utuh. "Enggak, kan tawuran itu hobi gue."

Sia memukul lengan Alterio dengan buku paket yang cukup tebal. "Lo tuh ya! Mana ada hobi tawuran?"

"Mendingan lo belajarnya udah dulu. Obatin gue dong, Si."

Sia membuang muka. "Males banget."

Alterio memegang rahangnya yang tampak memar. Memasang wajah melas. "Bu Dokter, rahang gue memar nih, obatin dong."

Sia memutar bola matanya malas sambil menutup pulpen standarnya, lalu bangkit dari kursi. "Tunggu di sini. Gue ambil obat dulu."

"Siap, Bu Dokter."

Setelah mengambil kotak obat dari dalam rumahnya, Sia langsung membukanya dan mengobati Alterio dengan hati-hati. Ini sudah biasa, setiap kali Alterio tawuran selalu Sia yang mengobatinya.

"Lo tadi abis kemana? Jam delapan malam baru pulang," tanya Sia dengan tangan yang masih sibuk mengobati luka Alterio.

"Abis nongkrong lah. Makanya Si, sesekali lo tuh nongkrong coba jangan diem di rumah terus."

"Nongkrong? Nggak penting," balas Sia cuek.

"Anak rumahan banget ya lo, AAAA! Aduh! Pelan-pelan dong Si, perih nih." Alterio meringis kala lukanya terasa perih.

"Selesai." Sia menutup kembali kotak obat dan menaruhnya di atas meja.

"Lo mau ikut gue makan nggak?"

Sia menggeleng. "Masih ada telur sama kecap."

"Makanan di rumah gue lebih enak. Ayok ikut." Alterio menggenggam tangan Sia dan membawanya ke rumah karena sekarang jamnya makan malam.

"Eh Sia, sini sayang." Irene menyapa Sia dengan ramah dan merangkulnya. Itu membuat Sia menjadi tidak enak karena harus menumpang makan di rumah Alterio.

"Ma, malam ini Sia makan bareng sama kita ya," ujar Alterio membuat Sia menunduk malu.

"Wah bagus dong, kebetulan malam ini Bi Ijah masak banyak."

"Eum, makasih tante. Maaf kalo Sia ngerepotin."

"Kamu nggak ngerepotin kok, Si. Ayok duduk."

Sia menurut dan langsung duduk di meja makan, di depan Irene yang sekarang sibuk menata makanan di atas meja.

"Al, kamu mandi dulu sana. Lho sebentar, itu muka kamu kenapa? Tawuran lagi kamu?" tanya Irene curiga.

"Tenang aja Ma, udah diobatin sama Sia kok." Alterio menjawab sambil menaiki tangga, bersamaan dengan Marinka yang baru saja menuruni anak tangga.

"Dasar adek badung," sindir Marinka.

"Masalah buat lo?"

Marinka memutar bola matanya malas kemudian duduk di sebelah Sia. "Si, kamu kalo disuruh obatin Al jangan mau."

Sia terkekeh sebentar. "Iya kak, lain kali nggak lagi deh."

Tidak lama kemudian, Alterio dan Julian datang. Makan malam kali ini tampak spesial bagi Sia. Alasannya? Sia tidak pernah lagi merasakan hadirnya sosok ayah, melihat keluarga Alterio yang begitu lengkap membuat Sia ikut bahagia.

"Si?" panggil Alterio ketika keduanya ada di teras saat makan malam telah selesai.

"Hm?"

"Lo tadi kenapa diem aja?"

"Gue kangen Ayah," ujar Sia membuat Alterio menoleh dan terdiam. "Kangennnn bangetttt."

Alterio menyentuh dagu Sia dan mengangkatnya agar gadis itu mendongak menatap langit. "Bintangnya indah kan, Si?"

Sia mengangguk sembari mengeratkan cardigannya ketika angin malam menusuk permukaan kulitnya.

"Gue yakin, Ayah lo pasti udah jadi bintang terindah di langit. Dia pasti tenang di sisi Tuhan, dan dia pasti bangga punya anak sepintar lo yang selalu menyumbang piala untuk sekolah. Jangan sedih Si, lo pasti bakal ketemu sama Ayah lo di surga nanti."

Sia mengangguk. Apa yang diucapkan Alterio memang benar dan sedikit membuat hatinya tenang. "Makasih ya, Al. Gue pulang dulu."

"Hm. Langsung istirahat dan jangan mikir macem-macem."

Alterio mengawasi Sia dari belakang sampai gadis itu masuk ke dalam rumahnya. Setelah pintu rumah Sia tertutup, baru lah Alterio masuk ke dalam rumahnya sendiri.

***

Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!

Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius

AlyaaNabilahcreators' thoughts
ตอนถัดไป