Gay panic, Apo pun merona dilihat ratusan penonton yang melongo akan pemandangan itu. Dia menyikut sang raja berkali-kali, tapi bibir harus tetap senyum slay agar tidak OOC. Apo tidak mau poinnya berkurang lagi, tapi Demi Tuhan malu karena lelaki dan malu karena situasi itu beda ya! Beda! Pokoknya Apo masih sangat lurus!
"Kendalikan otak kalian semuaaaaaa!" jerit Apo dalam hati.
"Kita menuju tenda sekarang. Dayangku pasti punya obat untukmu," bisik Raja Millerius, yang napasnya membuat risih telinga.
Apo makin badmood karena sistem bilang poinnya tinggal 79.000. Lagi-lagi Victoria menang, padahal belum kalah samasekali. Jumlah HEART-nya pasti sekarang plus-plus. Beda dengan Gavin, yang sama-sama bernasib sepertinya, tapi entah kenapa lirikan lelaki itu tidak membuat Apo nyaman.
Saat Apo dibantu turun dari kuda pelototannya membuat merinding. Dia pun mengabaikan sepasang mata yang tidak melepaskan mereka berdua. "Apa sih? Anying ...." batinnya. "Kau kan cuma player di sini? Suka Yang Mulia betulan ya? Cih, ambil tuh ambil! Siapa juga yang kepingin jatuh sesakit ini. Aduh bokongku ...." batinnya, lalu meremas bagian pinggang.
"Selamat datang, Yang Mulia."
Giliran Apo melotot karena definisi "tenda" yang dia pikirkan tak semewah itu. Sebab meski terbuat dari kulit tebal yang dijahit, pondasinya berdiri kokoh dengan tirai emas dan sofa ditata rapi. Baru masuk pun dia didatangi tiga dayang siaga. Posturnya dibantu duduk rapi dengan kaki diluruskan karena celana robek bagian lutut. Apo mendesis-desis akan sakitnya yang luar biasa, padahal di dunia nyata kebanting macam apapun dia biasa. Paling tidak, sanggup menahan perih lah! Jaim. Ini kenapa perasannya jadi sensitif ya? Bedebah!
"Wah, kelihatannya sakit sekali. Lecet ya, Tuan Nattarylie? Saya ambilkan pembersih luka dulu."
"Sama kapas, jangan lupa."
"Iya. Terus minuman hangat buat beliau."
"Aduh ...." keluh Apo tak sabaran. Dia juga dikipasi dua dayang dari samping. Mereka tampak khawatir, apalagi ada yang menyebut darah tembus segala--
"Ehem, kalau begitu aku keluar dulu."
Raja Millerius III tiba-tiba kabur begitu saja. Dia ngibrit dari pandangan dan menemui dua tamu kehormatan yang permisi datang. Mereka adalah Sir Phillip dan Misstress Phelipe. Pasangan deputi gubernur London itu ingin tahu bagaimana kondisi anak tunggal mereka.
[SISTEM: Halo, Tuan Nattarylie. Turut berduka atas kekalahan Anda! Sekarang berbahagialah karena bertemu dengan orangtua. Ingat, mereka sangat menyayangi Anda loh. Jangan sia-siakan hal ini! Tring! Tring!]
[Mohon tunggu 30 detik!]
"Dih, malas sekali kalau harus menyapa bapak-bapak dan ibu-ibu-"
"Aduh, Baby ...."
Baru saja Misstress Phelipe muncul di ambang pintu, Apo pun ingin menarik ucapannya langsung. Wanita memakai gaun super cantik yang kelap-kelip. Rambut hitamnya dikepang memutar dengan gelombang-gelombang berhias pita merah muda. Phelipe ternyata baru umur 41 (layar sistem memperlihatkan data-nya), maka bagaimana Apo tidak jatuh cinta?
GILA YA! CUMA 1 TAHUN DI BAWAH APO LOH! ADIK KELAS! MANA MUKANYA AWET MUDA SEKALI! ASKSKSKSKSKSKSK--
Eh, ngomong-ngomong ... boleh tidak sih naksir ke ibu sendiri?
"Ibu ...." rengek Apo seketika akting manja kepada wanita itu. Dia ikut petunjuk sistem agar memakai panggilan tadi, senang rasanya dipeluk sambil duduk apalagi muka-nya dibenamkan ke dada empuk itu. "Ibu, aku jatuh ...."
"Cup, cup, cup, Sayang. Ututu ... bayiku," kata Phelipe sambil membelai-belai rambut Apo. "Sini, Ayah. Coba lihat luka anakmu. Cukup besar loh! Isssh, jelek sekali jadinya. Ayah pasti bisa membantumu."
"Mana."
"Iniii."
Phillip yang posturnya tinggi gagah dan pirang pun masuk segera. Pakaian ala kerajaannya tidak kalah bagus dengan deputi gubernur lain, banyak lencana yang terpasang di seragam biru itu, meski tak seheboh milik Raja Millerius III. Phillip duduk di sebelah kiri Apo dan mengecek lututnya. Bagian itu sudah dibalut, tapi puk-puk mereka berdua tak berlangsung lama. Apo harus dipapah untuk membersihkan diri. Phillip batuk-batuk dan Phelipe hanya tersenyum melihat tembusan darah di celana bagian bokong anaknya.
"Ayah ini. Jangan begitu dong ke anak sendiri. Dia kesusahan loh, Yah. Pasti pusing, juga mudah dehidrasi."
"Iya."
"Ibu sudah bangga melihatnya tadi bersemangat sekali. Paling depan!"
"Hm, tapi jatuh sebelum finish."
"Ayah ...."
"Sedikit lagi, Bu. Nattarylie harus dilatih ulang kalau nanti sudah sembuh."
"Tidak, ya. Takkan pernah kuizinkan. Dia sudah jago," bantah Phelipe. "Buktinya lolos jadi kandidat ke-6 kan? Itu lebih dari mumpuni, tahu. Hari ini cuma kurang beruntung."
Philip tetap mendengus keras, Apo lihat ekspresinya bukan kecewa, melainkan lebih kepada sebal. Lelaki itu ngomel akibat merasa kalah dari kubu Victoria Dreese. Apo sadar kalah berkali-kali memang anjing sekali.
"Hmm, sebelumnya aku tidak kepikiran. Tapi, mungkin ini pertaruhan antar nama keluarga juga, ya? Mereka jadi bangga kalau anaknya jadi istri raja?" batin Apo. Mencuci pembalut saja tidak dia pikir lagi. Malahan galau karena memikirkan dunia game kalau dijalani jadi rumit begini.
Kenapa tidak langsung challeng-challenge saja sih?
Kebanyakan roleplay bisa membuat Apo hampir lupa diri.
Lelaki carrier itu pun dibawa pulang keretanya. Dia buang muka dari Raja Millerius III yang mengawasi dari atas kuda. Sang raja tadinya bermain panahan sambil menunggu sore tiba, tapi lelaki itu sempat menoleh padanya, entah kenapa. Field sudah sepi, tinggal prajurit dan dayang yang menemani. Apo sempat mendengar sekilas "Dia malu-malu", tapi siapa yang bilang tidak tahu. Apo bodoh amat karena hari ini melelahkan. Badannya pegal semua, padahal jatuhnya cuma sekali.
"Tapi Nona Victoria memang keren sih. Gerakannya pas akhir bagus ya! Pantas menang. Uwu ...."
"Iya!"
"Jadi beliau terpilih makan malam berduan dengan Yang Mulia dong nanti? Waaaaw, iri sekaliiii. Mau deh jadi kandidat istri raja juga. Seru!"
"Ya kaaan! Setidaknya meski kalah, kita pernah bertemu langsung gitu, sama beliau."
"Ugh, bagaimana sih rasanya jadi dayang pusat? Mereka beruntung bisa melihat Yang Mulia setiap hari."
"Mm, tampan ...."
Baru sampai, telinga Apo sudah gatal dengan gosip dalam rumahnya sendiri. Bagunan yang disebutnya "kastil" itu dipenuhi orang kurang supportive rupanya. Siapa yang menang, berarti itu yang mereka jagokan. Ini seperti pembunuhan mental, yang mana Apo akan struggle sendiri agar tidak meminum racun.
"Bajingan," maki Apo saat rebahan di atas ranjang. Jangan salah sangka dia tetap mengangkang dan nyaman. Kamar dikunci karena Apo uring-uringan. Dia belum pernah berada di tensi ini. Efek memiliki rahim luar biasa sekali bedanya.
Diantara semuanya, Apo bersyukur sekarang lebih perhatian. Tidak asal ambil pembalut lagi, karena peduli ukuran dan lain-lain.
Ah, malu juga ketembusan seperti tadi. Sang Ayah pasti jengkel karena tahu peristiwa itu dilihat Raja Millerius langsung. Mungkin menurutnya itu mencoreng gelar gubernur yang dimiliki.
"Tidak di dunia nyata atau game, semua Ayah-ku tetap brengsek ya," gumam Apo sambil mengucek kelopak. Dia sendiri kaget kenapa tiba-tiba mengalirkan air mata, padahal rasanya tadi baik-baik saja. "Tapi versi sini mendingan sih. Lebih gentlemen dan sayang Ibu. Cuma, ya tetap jahat. Hhh ... soalnya dia dapat istri secantik ibu--mmmh, tapi akunya tidak," katanya iri. "Ayah ... hiks, kita ini seumuran tapi hidupmu sempurna sekali. Hiks, hiks, hiks ... kau pasti tidak pernah tahu rasanya membuat adonan roti ...."
Malam itu, Apo pun ketiduran dengan mata bengkak. Dia lelah lahir batin dan melewatkan makan malam begitu saja.