"Jangan, tidak perlu," kata Raja Millerius tegas. Intruksinya membuat ekspresi si ajudan bingung. Apalagi lukisan bobrok itu tak boleh dibuang. Benda tersebut harus diletakkan ke tempat semula. Keamanan cukup ditingkatkan di sekitar kamar yang akan dipakai.
Raja Millerius tetap professional dengan menyelesaikan kegiatan kencan bersama Sia. Dia meladeni obrolan mereka hingga waktu benar-benar habis. Pertemuan diakhiri dengan saling memberikan hormat. Raja Millerius meletakkan telapak tangan ke dada kanan, sementara Sia menjumput kedua sisi gaun seolah selesai berdansa. Mereka melempar senyum tipis satu sama lain untuk formalitas. Tapi Raja Millerius tidak naik untuk menjemput bantal gulingnya.
Sang dominan membentak prajurit yang mengingatkan soal jam tidur. Dia keluar sendiri menggunakan kuda kesayangan berbulu hitam.
Raja Millerius menyambar jubah dari Zelina yang datang tergopoh-gopoh. Tanpa peduli pemandangan sekitarnya jelaga. Lelaki itu membelah malam untuk mengarungi perjalanan 2 jam lebih menuju kediaman Livingstone. Dua dayang nyaris menutup pintu rumah saat dirinya menerobos gerbang tanpa permisi.
Raja Millerius berteriak melebihi standar kebangsawanan buku etiket.
"NATTARYLIE! KELUAR KAU! NATTA! NATTA! NATTARYLIE JERMAINE!"
Phillip dan Phelipe sampai tersentak di dalam sana. Mereka mengintip lewat jendela kamar, padahal belum selesai puk-puk Apo yang pulang sambil menangis. Si manis terkejut mendengar suara beratnya. Raja Millerius mengulangi sekali lagi dengan tenaga yang lebih besar. Hasil teriakannya pun jadi lantang. Apo dipapah Phillip dan Phelipe menuju balkon agar kedua insan bisa saling bertatapan. "NATTA! AYO TURUN SEKARANG!" katanya dengan napas berisik. "AKU INGIN BICARA LANGSUNG DENGANMU! NATTA! CEPAT!"
Satunya lelah, satunya bengkak beruraian air mata.
Apo tidak tahu harus bereaksi bagaimana karena ada kedua orangtuanya.
"AKU MENEMUKAN PESANMU DI SANA! JANGAN TAKUT! BISA KAU JELASKAN SELENGKAPNYA SEKARANG?! NATTA!" kata Raja Millerius frustasi. "AKU TAK MENERIMA JAWABAN TIDAK, OKE?! INI ADALAH PERINTAH RAJA!"
Phillip dan Phelipe saling berpandangan karena kurang paham obrolan mereka. Beda dengan Apo selaku orang yang menorehkan angka "58010563" dalam pojok kanvas lukisan.
Semula Raja Millerius berpikir deretan angka itu mewakili waktu pembuatan karya, tapi setelah dipikir ulang dia sadar semuanya ditulis memakai kode rahasia strategi peperangan.
Jika dibalik dalam bahasa Gengis, yang notabene suku pedalaman tua di Irlandia, artinya "Aku mencintaimu, dan jangan pernah tinggalkan aku."
Raja Millerius tak sebodoh itu karena kado diserahkan dari kereta kuda Nattarylie J Livingstone, sosok carrier yang paling dia kasihi.
"Tapi saya kan ... badannya sakit semua ...." rengek Apo, tidak tahan lagi. "Tadi jatuh, ugh ... mmn--Yang Mulia ... terus ada juga yang berdarah ... kaki saya ...." adunya dengan air mata berjatuhan kembali. "Pokoknya saya minta maaf sudah masuk ke tempat Anda tanpa permisi. Serius. Saya tidak punya itikad mengganggu kalian berdua kok. C-Cuma, ugh--hiks ... hiks ... hiks ... pokoknya saya benar-benar minta maaf ...."
Phelipe pun memeluk Apo sebelum roboh seperti beberapa saat lalu. Lambat laun dia kurang suka jalannya hubungan tersebut, dan ingin menarik Apo dari persaingan di kerajaan. Phillip sendiri mulai setuju tapi Apo belum mengiyakan. Para Livingstone tua pening sebelah akibat kelakuan bayi tunggal mereka.
"KALAU BEGITU AKU SAJA YANG MASUK! TUNGGU SEBENTAR!!" kata Raja Millerius kesal. Siapa pun refleks menyingkir memberikan jalan. Langkahnya bisa membumihanguskan Inggris, Irlandia, dan Skotlandia. Apalagi hanya kediaman Livingstone yang "tak seberapa". Dominan itu tidak butuh izin dari siapa pun jika urusannya di luar kenegaraan. Apo Nattawin direbut dari orangtuanya untuk dipeluk, sementara Phillip dan Phelipe tidak bisa murka, meski hati sudah menyumpah serapah.
"Kemari," kata Raja Millerius. Apo pun terlempar pasrah ke dadanya. Si manis menangis sejadi-jadinya dalam sandaran yang dibutuhkan seharian. Dia mencakar seperti kucing bau susu. Inginnya sih meraung-raung, tapi suaranya terlanjur mencicit habis. "Sshh, shhh, shhh, sshhh. Aku di sini, Natta. Aku sudah di sini denganmu."
Apo tak menjawab sama sekali. Dia ditenangkan, selagi Phillip dan Phelipe memutuskan keluar kamar.
Raja Millerius tahu mereka berjaga di balik pintu. Bisa jadi semalaman andai dia tak keluar hingga pagi.
Apapun lah. Biarkan dulu.
Sekarang yang terpenting deep-talk dulu dengan Apo. Sang dominan ingin tahu apa yang ingin Apo katakan lewat lukisan tersebut.
Segala penjelasan dia dapat, sambil cuddling di ranjang si manis.
Apo dia pangku sepanjang waktu, meski carrier itu tidak pernah berani menatap balik.
"Aneh banget kan, Yang Mulia? Saya sudah kasih warning dari awal ..." katanya setelah cerita berakhir. "Saya tahu diri kok, sorry. Hal-hal tentang dunia lain memang membingungkan. Tapi saya memang bukan asli sini," jelasnya lugas. "Saya sudah 42 tahun loh. Lelaki tulen. Kerja serabutan bikin roti enak. Ibu asli saya pun belum tahu siapa benarnya."
Raja Millerius mengangguk saja.
"Lalu?"
"L-Lalu?"
Apo mendongak begitu dagunya diangkat jari. Mau tak mau mereka bertatapan, meski berefek jelek pada debaran jantungnya.
"???"
"Y-Ya kalau bisa jangan marah dong waktu saya tak panggil bocil," kata Apo dengan tatapan gelisah. "Itu bukan merendahkan, ya. Please. Saya hanya terbiasa melihat lelaki seumuran Anda seperti bocah. Kalau bukan karena badan baru ini saya pasti lebih tinggi. Lebih macho,Yang Mulia! LAKIK! Anda mungkin bingung bisa saya keteki karena tinggiku benar-benar mirip tiang," celotehnya seperti beo.
Raja Millerius justru terkekeh. Bahunya bergetar-getar membayangkan sosok yang dia manja adalah lelaki dalam lukisan. "Oh ya? Persis seperti kau tunjukkan padaku berarti."
"Iya lah! Betul! Anda dapat nilai 100 kali 100!" kata Apo dengan kening berkerut lucu. "T-Tapi, jangan anggap itu bohongan ya! Saya marah! Tidak ada kata "besok" lagi karena saya hampir meminum racunnya! Mati! Mati! Mati! Mati! Matiiiiiiiiiiii-"
"Oke, oke. Shhh."
Sang dominan membungkam mulut Apo dengan jari. Dia menggeleng pelan, agar si manis paham dia tidak suka mendengar kosa kata tersebut.
"Sekarang menurutku sudahi pikiran tadi. Kita tidur. Besok harus berangkat lagi karena kebetulan lomba-nya bukanlah fisik."
"Iyakah?"
"Iya. Kau tetap bisa mengistirahatkan kaki sambil lanjut berusaha."
"Terus?"
"Terus, ya menulis surat untuk lansia di atas 100 tahun. Itu kan bagian dari tugas ratu Inggris. Kau harus pandai membuat mereka semangat hidup, walau hanya di panti jompo pantas mendapat perhatian keluarga kerajaan setiap berulang tahun," tuturnya.
"Oh."
"Aku benar-benar baru tahu," batin Apo heran.
Mereka mengobrol panjang pertama kalinya malam itu. Mulai dari hal-hal kecil hingga seberapa yakin sang dominan mengenali style lukisan Apo. Si manis sendiri tertidur pulas mirip bayi di dalam gendongan ibu. Dia tetap dipeluk erat, selagi Raja Millerius memperbaiki posisi. Sempat ingin nafsu sang raja lepas, tapi berakhir hanya dengan kecupan tipis ala kupu-kupu. Yang sedih adalah dia ingin menemui sosok Apo asli, meskipun hanya sebentar.
Raja Millerius harap bisa melihat langsung tatapan mata cokelat jernih Apo. Dia berhasrat mengingat detail memori itu daripada sekedar lukisan koyak.
"Hmm, Nattarylie ... Nattarylie," gumam Raja Millerius sebelum menutup mata. "Memang masih bingung, tapi aku senang dengan kejujuranmu. Sebaiknya besok kita mulai dari awal lagi."