webnovel

TKC 44

Begitu sampai rumah, Apo langsung mengobrak-abrik ruang kerja pribadi Phillip mumpung orangtuanya belum pulang semua. Raja Millerius mengembalikannya lebih awal karena tugas-tugas kenegaraan. Rencana awal menginap 2 malam batal, karena sebagian hidup sang dominan adalah untuk rakyat Inggris. Apo tak tahan rasa kesalnya setelah bebas berekspresi.

"Arrgh! Dimana sih!" teriak Apo. Dia mondar-mandir mencari buku strategi perang, yang kata Raja Millerius pasti dimiliki sang ayah. Karena treck record Phillip sebagai komandan. Apo tak perlu meminjam kepada orang seperti player yang lain. Tapi, hal-hal seperti ini ternyata tidak diketahui sistem.

Tai, tai.

[Maaf Tuan Nattarylie, saya tidak bisa bantu karena itu bukan termasuk fasilitas player. Anda harus menunggu beliau pulang kalau mau mudah. Lagipula masih sore jam 4 atau 5 sudah sampai. Kenapa tidak sabaran?]

"Bacot! Bisa diam tidak sih?" kata Apo sambil mengangkat tumpukan buku dari laci work-desk sang ayah. Dia memilah dokumen satu per satu. File dibuka-buka untuk memastikan berisi apa, tanpa mengembalikan semua benda sampai ditemukan hal yang dicari. "Aku lagi fokus tahu. Jangan ganggu. Lagian ini masih pukul 1 siang kan. Sayang banget kalau tidak dipakai belajar."

[Ha ha ha, oke]

"Ya, walau aku ingin memastikan saja sih," lanjut Apo. "Sama tidak dengan taktik menyerang di battlefield Mobil Legend. Siapa tahu mirip, kan? Kek yang tembak-tembakan di balik batu. Pake sword. Ganti skin. Terus sesi challenge game Candy Crush pun mirip banget sama Fashion Make Over. Bisa jadi pecah balon, atau cocok-cocokan warna--hmmm ...."

Fokus Apo terdistraksi begitu menemukan lembaran lawas terselip di tengah jurnal. Jantungnya berdebar menyingkirkan cover bongkar pasang dan mendapat jawaban bagus di baliknya. Apo pun senang, hingga tersenyum lebar seperti badut. Buku jadul bersampul cokelat itu dia peluk dan cium bertubi-tubi. "Ahhhh! Ketemu! Ketemu! Ketemu! YESSSSSSS!!!! TIDAK SIA-SIA USAHA TUAN AGUNG INI! AHAHAHAHAHAHAH!" Apo menjujung bukunya setinggi langit. Namun sedetik kemudian berubah uring-uringan. "Aishhhh, apa sih! Jijik lebay banget aku. Begitu saja senang! Apo, Apo ...." omelnya kepada diri sendiri. "Pokoknya ini demi aku ya! Bukan dia! Biar menang dapat uang 5 juta dolar! MUAHAHA! Aku tidak memperjuangkan si bocil kematian, ckckck." Dia membuka buku tersebut di ruang tengah. Para dayang geleng-geleng karena diminta membersihkan sisa ulahnya.

Apo tidak mau tahu, melainkan menyerap materi sambil menikmati berbagai kue. Dia skip makan siang untuk menelaah, kira-kira 400 soal level 10 besok seperti apa. "Hm ... kayaknya aku paham deh. Ini tuh macam Evony Knight game kurang lebihnya. Cuma versi nyata saja. Ada pasukan musuh, lahar api, batu besar, jebakan, dan bagaimana cara lewat kalau ada binatang buas menghadang." Dia pun mengangguk pelan.

[Betul, Tuan. Tapi semakin tinggi level cara lewatnya semakin sulit. Anda harus teliti mengidentifikasi dari nomor 1-400 nanti]

Apo refleks mengibaskan tangan. "Iyuh, sudah tahu. Diam dulu, otakku sedang memproses rules and guildness," katanya percaya diri. "Lagian kayaknya lebih susah Fire Fighter loh. Jelas-jelas bos-nya bukan monster buatan developer. Ini sih lebih ke strategi 100%."

[Ha ha ha ha ha]

"Jangan ngerendahin dong. Kau salah cuy, ini kan bidangku," imbuh Apo, yang cukup membaca sekilas untuk mencerna topik pembahasan. Dia terlalu asyik, tanpa sadar sudah menghabiskan separuh buku saat Phillip pulang pukul 5. Sang ayah terkejut melihatnya khidmad menghapal jenis senjata sambil tiduran di sofa panjang. Lelaki itu mendekat diikuti Phelipe yang membawakan jaketnya dari belakang. Gumaman-gumaman kecil Apo ucapkan, hingga keduanya tak mau mengganggu.

Phillip diseret Phelipe masuk, sebelum menyapa sepenuh hati. Akibat arah pandang memunggungi, Apo tidak tahu keduanya lewat sama sekali. Si manis ketiduran hingga pukul 8 malam. Buku setebal 200 halaman tersebut Apo peluk dengan mulut sedikit terbuka.

"Wahh, Ayah ... coba sini, yang dibaca hampir habis loh. Lihat ...." kata Phelipe, padahal baru akan memberikan support sistem berupa camilan senampan.

"Iyakah?"

Phillip mendekat perlahan.

"Betulll, ihhh. Sedikit lagi harusnya selesai, tapi Natta kemungkinan tidak kuat, Yah," kata Phelipe, lalu mengambil buku itu hati-hati. Phillip menerimanya untuk disimpan kembali. Seorang dayang mengangguk diperintah meletakannya di tempat semula. "Cuma Ibu lebih khawatir dia belum dinner sih. Dari tadi pasti cuma makan roti-rotian."

Phillip mengambil alih bayinya. "Tidak apa-apa. Itu cukup. Selama tidak berlarut sampai berhari-hari bukan masalah." Dia pun menggendong Apo ke dada. Phelipe segera menyingkir agar memberikan jalan sang suami memindahkan Apo ke kamar.

"Tapi kan--"

"Ibu ...."

Phillip menaiki tangga sambil menggeleng.

Phelipe pun paham dia harus meluruhkan overthinking yang timbul. Semua agar tak terjadi kecemasan part 2 diantara mereka.

Terganggu pergerakan, Apo justru bangun usai ayahnya keluar. Dia heran kenapa bisa sesemangat itu dalam melakukan sesuatu (padahal dulu biasa saja).

"Aduh!"

Apo menggampar pipinya sendiri.

"Sakit juga ya ... buset. Kukira ini seperti di dalam mimpi. Jadi bingung apa bedanya."

Tubuh kembali rebahan santai. Lengan dia lipat sebagai bantal tambahan, selagi membayangkan muka Raja Millerius.

"Tapi dia memang ganteng sih, serius."

Mukanya mulai memerah.

"Apalagi kalau senyum tipis-tipis. Kadang pengen peluk dan kubawa pulang. Tapi, ck. Rese banget kenapa sih?! Geblek! Keselll kenapa dia baik sekali padaku. Sianjing buat penderita Daddy issue sepertiku kan jadi repot ...."

Apo menarik selimut untuk menutupi mukanya.

"Yang Muliaaaaa. Yang Muliaaaa. Yang Muliaaaaa! Aarrrghh---di sini tidak ada ponsel apa ya, buat bilang pengen ketemu terus," keluhnya, meski langsung triggered. "Astaga! Nyebut Apo. Kau ini lagi ngomong apa?! Stop tololnya! Dia itu lagi sibuk! S-I-B-U-K! SIBUK, PAHAM?!"

"...."

"Tapi, memang seru sih kalau diajak jalan beliau. Mukanya adem sekali. Huhu ...."

Kelopak mata Apo mengayun turun.

"Mau bareng sama Yang Mulia. Mau cium ...."

Bantal di sebelah kiri Apo ambil untuk digigiti.

"Mau sering-sering lihat dia. Terlalu keren ...."

Jemarinya meremas-remas ke sana.

"Pokoknya mau menang lagi. Mau pokoknya. Huhh ... sebel kalau dia sama orang lain. Sama aku saja ...."

Apo berhenti karena merasakan otak dan hatinya penuh. Akhir-akhir ini dia sulit menyimpan semua hal jika sudah sendirian. Entah faktor apa yang mendasari Apo tidak mau pusing. Dia benci makin mirip perempuan yang hidupnya sering capek cuma karena overthinking.

Eh, sebentar-sebentar.

Bukannya ada yang lebih penting? Kenapa dia jadi mirip kucing musim kawin? Ada apa sebenarnya?

"Aku kok aneh begini," batin Apo. "Memang dikatakan wajar? Sampai penasaran rasanya di-itu ...."

Terlalu stress membuat Apo segera masuk kamar mandi. Dia berdiri lama di bawah shower untuk mengguyur kepala yang panas. Bersih-bersih memang paling cocok untuk melepaskan penat. Lelaki carrier itu tidak sentuh diri melainkan menyelinap ke ruang seni tengah malam.

Kali ini dengan kesadaran tinggi Apo meluapkan emosi lewat melukis. Apo rasa dia paham bagaimana sudut pandang Nattarylie kala jatuh cinta. Cat akrilik Apo toreh ke dalam palet warna-warni. Tanpa memakai waktu lama Apo mencoret wajah tampan di dalam benaknya. Kali ini bukan Vampir tapi sosok Satan bersayap yang sangat psikotik. Bukan pula sendirian, tapi sosoknya ditambahkan ke dalam sana.

Apo dicekik dari belakang menggunakan jemari berkuku tajam. Ekspresinya tak kalah menarik karena menyeringai seperti pemenang. Dada Apo memang dibanjiri darah merah yang mengalir hingga perut. Namun dia tak menangis, karena sosok di dalam kanvas adalah dirinya sendiri.

Apo Nattawin Wattanagitiphat.

Si buruh buluk, yang sudah 42 tahun, berkacamata, buncit, dan memiliki kulit kecokelatan. Besok pagi, Apo bertekad menang dua sesi juga bonus level agar bisa memberikan cat ini secepat mungkin.

"Ha ha ha, oke. Mari kita lihat bagaimana reaksimu kalau tahu ini diriku yang asli," kata Apo sambil menepuk-nepukkan tangan. Sarung Apo lepas agar tidak perlu cuci tangan. Dia puas melihat hasil, meski lukisan tersebut terlihat janggal. "Hmm ... enaknya kuberi judul apa ya? Satan and His Naughty Mistress? Bengek--pffftt!! Atau Trap With His Highness Satan? Apapun lah. Pokoknya aku tidak mau kau suka aku cuma sebagai tokoh fiktif ...."