Lima detik, sepuluh detik.
Apo baru mendapati keanehan dari pemandangan itu. "Eh! Tunggu, tunggu, tunggu, tunggu, tunggu!" katanya seraya menepuki punggung kursi kusir. Kereta pun berhenti seketika. Mata melotot demi melihat apa yang terjadi. Apo sempat ragu menyadari itu adalah seragam dayang. Hanya saja beda warna karena tadi siang biru, sekarang pink berpadu kombinasi putih tulang.
Lelaki yang mendempet pun begitu, dia pasti prajurit gerbang belakang. Apo mungkin tidak pintar, tapi ingatannya masih segar. Baru saja dia bertemu dengan mereka seharian. Mau tak mau Apo terdiam karena salah satunya dia kenal. Nyata sekali rambut jahe berhias bunga Iridesa acak-acakan karena diusak bibir. Desahannya erotis sekali.
"Mmnh, nnh. Nnnh."
Apo lihat payudara besarnya dirogoh jari. Nyata-nyata bagian empuk putih itu diremas begitu kencang. Tak cuma sekali, pula. Tidak jauh dari mereka terdapat kuda berbulu cokelat ditali. Si kuda enak-enak makan rumput, sementara majikannya berbuat tak senonoh dan maju mundur.
"Iridesa ...."
Tutup jendela pun langsung Apo tutup. Dia belum mengundang dayang itu, tapi perjalanan berikutnya sudah dihiasi kekecewaan. Apo terbeku lama sekali. Sampai rumah pun sambutan sang ibu tak menyemangatinya.
"Selamat datang, Natta," kata Phelipe. Wanita itu mengenakan gaun indah seperti sebelumnya. Bagian bawahnya megar dihias tenunan benang perak. Apo dipeluk dan dibelai rambutnya. Pujian terhadap hasil lukis membuat lelaki itu makin badmood sampai tak tertarik solo lagi.
"Ibu ...."
"Iya, Sayang? Capek ya?" tanya Phelipe. "Ibu tahu kok, xixi. Kau sudah berjuang keras hari ini. Good job! Ibu tahu soal melukis, tak ada sanggup menandingi bayiku."
Tidak ada, huh?
Sepertinya Apo perlu perhatian dengan skill-skill tertingginya mulai sekarang.
Lelaki carrier itu menelisik kamarnya lebih jauh sangking tidak tahu mau apa usai bersih-bersih. Dia membuka pintu yang sebelumnya tak pernah dijamah. Di dalam ada banyak piranti melukis. Nattarylie pasti karakter yang mencintai seni. Sebab banyak manequin juga yang berjejer rapi dalam pose ballet. Kanvas yang dipajang tersedia dalam berbagai ukuran. Beberapa ditumpuk, beberapa berdiri, beberapa habis disobek kasar, mungkin Nattarylie kesal jika hasilnya menjadi jelek. Apo terpaku ke sebuah lukisan paling besar yang kain penutupnya baru ditarik. Itu adalah wajah Raja Millerius III yang tengah menyeringai tampan.
"Ha? Sial ...." maki Apo, auto mundur satu langkah.
Mengingat Raja Millerius III memang sosok yang ikonik, Apo tidak mau salah menafsirkan kalau Nattarylie menyukai dominan itu. Toh pusat sistem memang pada sang raja. Mustahil ada karakter game yang membencinya, kecuali memang didesain sebagai villain. Kesembilan player saja melukis Raja Millerius. Apo justru berpikir daripada baper-baperan.
"Hmmm, jadi orang ini pernah rambut panjang ya," batin Apo. "Bagus kok, tidak monoton. Hanya saja yang sekarang lebih rapi." Dia meraba permukaan kanvas itu.
Apo cek-cek ulang, dia punya banyak style melukis. Scroll ke bawah, selain naturalis ada juga yang romantisis dan realis. Sistem lantas memaparkan kisah asli novel yang diadaptasi dalam game, ternyata pasangan Raja Millerius tidak diikutsertakan di sini karena bisa menjadi pesaing. Statusnya "defeat" yang artinya meninggal, tapi mereka sempat tunangan atas perjodohan keluarga. Pihak developer sengaja melakukan itu agar persaingan antar player adil. Mendapatkan posisi Queen dan perintilannya ternyata pekerjaan besar.
"Hei, sistem," panggil Apo.
[SISTEM: Iya, Tuan Nattarylie? Ada yang Anda tanyakan lagi?]
Apo menilik luka pada kakinya. "Kok sudah sembuh, ya? Cepat banget?" tanyanya. "Perasaan kemarin masih berdarah dan memar."
[Ya itu memang setting-an game kami, Tuan. Ibarat Anda bermain masak-masakan, membuat mie bisa 5 menit di dunia nyata, tapi kami hanya memberikan waktu 5 detik. Biar cepat lah. Itu sudah kebijakan]
"Ho ...."
[Seru ya? Makanya jangan menyerah. Besok masih ada challenge level 5! Go! Go! Go! Go! Tring! Tring!]
"Halah, semangat-semangat apa," kata Apo sambil mengeluarkan undangan reward-nya. "Lebih baik kau beri aku solusi sekarang! Ini enaknya dipakai apa, ya? Iridesa kan sedang mengadon bayi. Aku tidak mau mengganggu pacarannya."
[Hmm ... ini agak membingungkan. Karena belum pernah ada yang menolak reward sebelumnya]
Apo pun berkedip kaget. "Eh? Iyakah?"
[Iya, Tuan Nattarylie. Toh kalau mau mengajak Nona Iridesa ke Louvre tidak perlu menunggu reward. Anda bisa gunakan tiket biasa. Tapi kami akan komunikasikan kepada Yang Mulia lagi, agar stempel kerajaannya tidak sia-sia. Bagaimana?]
"Ribet sekali kedengarannya," kata Apo. "Tidak bisa dengan orang lain ya? Misal kau berubah jadi manusia?"
[Saya hanyalah artificial intelligence berbasis mesin, Tuan Nattarylie. Mungkin versi upgrade baru bisa]
"Ya ampun." Apo coba memutar otak lagi. Dia mondar-mandir di dalam kamar sembari menyentuh dagu. Wajahnya cukup serius seolah menghadapi serangan lawan. Namun, kala wajah Phelipe hinggap dalam kepala. Senyumnya pun kembali lagi. "Ah! Aku tahu! Mengajak Ibu tidak apa-apa kan?"
Sekalian kencan yang romantis~
Ehehey~
[Tidak apa-apa, Tuan Nattarylie]
"Yeaaaayy!"
[Tapi Nyonya bersama Tuan Phillip sekarang. Anda benar-benar meninggalkan beliau untuk dinner luar biasa ini? Saya ingatkan lokasi Louvre yang di undangan berbeda dengan tiket biasa. Lantainya paling tinggi dan hanya untuk dua orang. Biasanya memang diperuntukkan untuk bertemu anggota kerajaan]
"Anj--arrghhhh! Ya sudahlah! Sekalian tidak pergi saja!" Apo mencak-mencak dan gelimbungan di atas ranjang. Dia memukuli bantal guling sangking jengkelnya ke situasi. Kenapa sih dunia tidak pernah memihaknya?! Biarkan dia senang total tidak bisa ya? Shh!
[Jadi, malam ini Anda mau gabung dinner dengan Tuan Phillip dan Nyonya Phelipe?]
"Iyaa, hmmh. Terserah!" bentak Apo sambil melemparkan sebuah bantal.
[Okeee. kalau begitu jawaban Anda kami--]
"EHHHHHHH! JANGAN DULU! TUNGGU SEBENTAR!" Apo auto duduk karena ingat wajah kecewa ayahnya. Phelipe pasti sudah cerita tentang dirinya yang menang. Bisa mati Apo kalau nanti ikutan di meja makan. Phillip mungkin akan men-julid padanya lagi. Apo tak tahan kalau dibanding-bandingkan dan ditanyai kenapa malah dinner di rumah, padahal mendapat reward.
[Iya, Tuan Nattarylie? Apa Anda berubah pikiran?]
"Emmh, bagaimana ya ...." gumam Apo. "Ini jam 7 malam kan? Tidak masalah apa kalau konfirmasi ulang?" tanyanya, meski rasanya ingin menangis.
[ Tidak apa-apa, Tuan Nattarylie. Jam makan malam kan paling lambat pukul 8. Sekarang masih ada waktu]
"Brengsek, ceceran harga diriku ...." Apo refleks menutup mukanya. "Aku tidak tahu lagi."
Tidak butuh waktu lama, Apo pun disuruh memilih baju lagi seperti barbie-barbie-an. Dia memencet biru teal, yang dikombinasikan dengan warna emas. Bros merah di beberapa bagian menyempurnakan kesan di badannya. Make-up tipis-tipis khas Nattarylie di-apply dayang dengan cepat. Lelaki carrier itu dijemput keretanya pukul setengah 8.
"Ayo, Sayang. Agak cepat ....!"
Phelipe menyemangatinya padahal baru selesai makan malam.
"Tadi sedang apa saja sih? Janjian dengan Yang Mulia tapi main-main? Kau paham tidak siapa yang akan kau temui nanti?" omel Phillip sambil menyilangkan lengan di depan dada. "Ayah bingung melihatmu." Mereka melepaskannya di teras kastil. Apo dag-dig-dug ser ketika menaiki kereta.
"Kan, kan, kan," batin Apo sambil melirik Phillip sekilas. "Baru begini saja sudah galak. Untung aku ingat soal bapak-bapak itu. Mampus."
"Hati-hati, bayiku~"
Phelipe melambaikan tangan.
"Jangan gegabah!" bentak Phillip tetap pada raut militernya.
Apo sampai kepikiran dengan profil Phillip selengkapnya. Dia pun membaca track record sang ayah sebelum menjadi Gubernur London. Oh, pantas saja, anjing! Phillip ternyata bagian dari pasukan angkatan darat. Dia termasuk pentolan yang menjaga keamanan perbatasan wilayah Inggris, tapi banting setir sejak mendapat perintah dari sang raja langsung.
"Ayahku benar-benar setan," batin Apo tak karuan.
Lelaki carrier itu pun dimuat selama 15 menit. Dia dipersilahkan masuk ke Louvre, yang ternyata merupakan kastil super duper megah. Tapi beda dengan Istana Noble Consort atau Norton Kie, Louvre dibangun dengan menonjolkan menara super tinggi di tengahnya. Apo deskripsikan itu mirip milik Rapunzel yang ditawan dalam buku dongeng. Dia harus naik ke lift yang dindingnya terbuat dari kaca tebal. Ketika semakin tinggi dia bisa melihat pemandangan luas nan luar biasa di game ini.
"Selamat datang, Tuan Nattarylie. Silahkan lewat sini. Yang Mulia sudah menunggu Anda," sambut barisan dayang yang memakai baju warna pink seperti milik Iridesa.
Apo pun mengepalkan tangan. Meski Iridesa tak ada di sana, entah kenapa rasanya jengkel sekali. "Ya, terima kasih," katanya. "Permisi dan maaf jika terlambat."
Mereka kompak berubah pose menjadi menunduk. Langkah demi langkah Apo berubah hening karena ini dinner yang serius. Hanya suara ketukan sepatunya lah yang terdengar di sana. Apo lihat punggung Raja Millerius sudah di ujung balkon dalam balutan baju hitamnya.
"Kau ternyata menundangku, Nattarylie?" kata Raja Millerius sarkas. "Tidak tahu apa yang telah merubah pemikiranmu."