Meskipun begitu hatinya tak dapat dibohongi, ada hal yang tak seperti biasanya terjadi pada suaminya.
"Ya sudah, Mas, pergi dulu, aktifkan terus ponselmu, ya." Pak Radit mencium kening istrinya.
Bu Regina mengangguk sambil mengelus perutnya yang masih rata. Belum terlihat ada janin yang berkembang di sana.
"Semoga semua baik-baik saja, ya, Nak," gumam Bu Regina lirih, mengajak anaknya yang masih di dalam perut mengobrol.
Bu Regina kemudian masuk ke dalam rumah. Duduk di sofa sembari memperdengarkan musik klasik pada janin dalam perutnya.
Perasaannya masih saja tak karuan, ada hal yang mengganjal di hatinya. Ia terus melantunkan doa untuk keselamatan suami dan keluarganya.
Bu Regina terus saja melirik jam yang menempel di dinding ruang tengah tersebut. Menunggu jam istirahat yang biasanya tak terasa menjadi begitu terasa lama.
Tepat pukul setengah satu siang, Bu Regina segera mengirim pesan chat pada Pak Radit —suaminya—.
[Mas, bagaimana kabarmu?] Tulis Bu Regina kemudian ia mengirimkannya.
[Baik, Sayang. Jangan khawatir, kasihan dedek di dalam perut.] balas Pak Radit.
[Entah kenapa perasaanku tak enak, Mas.] Bu Regina mengungkapkan perasaannya.
[Tenangkan dirimu, Sayang. Kedepannya ujian mungkin lebih berat. Hari ini aku ada lembur.]
Deg!
Lagi-lagi ungkapan dari Pak Radit terasa janggal bagi Bu Regina.
[Mas, kalau bisa jangan lembur dulu.] balas Bu Regina, berharap balasan dari suaminya.
Nihil. Pesan itu tak juga dibaca.
Tanpa terasa waktu telah menunjukan pukul lima sore. Suaminya belum pulang juga. Perasaan tak enak semakin menghantui hatinya.
"Ya Allah, semoga tak terjadi apa-apa denganmu, Mas," gumam Bu Regina lirih.
Meskipun ia tahu kalau suaminya itu akan lembur. Berkali-kali ia melihat layar ponselnya, siapa tahu ada balasan chat dari Pak Radit.
Sunyi. Ponsel itu tak memperlihatkan notifikasi pesan masuk dari suaminya. Hanya ada beberapa notifikasi dari media sosial. Biasanya Bu Regina selalu aktif ber-sosmed untuk menghilangkan jenuh. Akan tetapi, sekarang pemberitahuan sosmed itu tak menarik perhatian sama sekali.
Malam tiba, Bu Regina masuk ke dalam kamar. Namun, matanya tak mau terpejam. Ia terus berguling-guling tak tentu posisi.
Entah pukul berapa, Bu Regina akhirnya bisa tidur. Pastinya lewat tengah malam.
Pagi hari, saat tersadar dari tidurnya, Bu Regina melirik tempat di sampingnya. Kosong. Pak Radit belum pulang juga. Refleks tangannya meraih ponsel di atas nakas.
Ia segera membuka aplikasi biasa suaminya mengirim pesan. Tak ada pesan masuk dari Pak Radit.
"Kemana kamu, Mas ...," gumam Bu Regina dengan perasaan gelisah.
Perasaannya tak menentu, harap-harap cemas menanti kepulangan suaminya. Ia keluar kamar dengan langkah gontai. Menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah selesai membersihkan diri, Bu Regina berdandan secantik mungkin. Berharap ketika suaminya pulang nanti ia tampil cantik.
Ponsel yang di simpan di nakas, berdering menandakan ada telepon masuk. Seketika detak jantungnya berdegup kencang.
'Suaminku', begitu nama yang tertera di layar ponsel. Bu Regina tersenyum sumringah. Setelah dari kemarin tak ada kabar dari Pak Radit.
"Halo, Sayang," ucap Bu Regina ketika sambungan telepon terhubung.
'Selamat pagi, kami dari kepolisian hendak mengabarkan bahwa suami ibu, yang bernama Bapak Radit telah mengalami kecelakaan,' tutur Polisi di seberang telepon.
Bu Regina terpaku sesaat, seakan memastikan kebenaran apa yang ia dengar barusan. Seperkian detik kemudian ia menyadari jika apa yang didengarnya adalah nyata. Dunia seakan runtuh bersamaan dengan air mata yang luruh membasahi pipinya.
"Su—suami saya ada di mana, Pak?" tanya Bu Regina di sela isak tangisnya dengan suara bergetar.
'Suami, Ibu, sekarang berada di Changi Hospital,' jawab Polisi.
"Ba—baik, saya ke sana," ujar Bu Regina cepat.
Ia menghapus air matanya, menguatkan diri untuk menuju ke rumah sakit tempat suaminya berada. Rasa mual yang biasa menderanya di pagi hari pun mendadak hilang, saking fokusnya ia pada kabar dari kepolisian tadi.
Bu Regina menyambar kunci dan langsung menaiki mobil. Melajukannya sendiri ke tempat tujuan. Ia memang memiliki mobil sendiri, namun sejak hamil Pak Radit melarangnya untuk menyetir.
Sesampainya di rumah sakit, ia segera masuk dan menanyakan keberadaan suaminya.
"Pak Radit yang kecelakaan di mana?!" tanya Bu Regina dengan panik.
"Oh, yang kecelakaan semalam. Ada di ... ruang jenazah," jawab Suster.
Bu Regina menutup mulutnya tak percaya, suami yang dicintainya telah pergi untuk selama-lamanya. Padahal kebersamaan mereka baru seumur jagung. Masih hitungan bulan.
Ia kemudian berlari dengan diikuti seorang suster. Di depan ruang jenazah ada beberapa polisi yang berjaga. Hingga selangkah lagi memasuki ruang jenazah Bu Regina masih sangat berharap bahwa yang dialaminya ini adalah mimpi belaka.
Suster tadi memapah langkahnya, mendekati bed yang berisi seseorang tertutup kain putih. Perlahan tapi pasti, selangkah demi selangkah ia mendekati jasad yang terbujur kaku tersebut hingga sampai di sampingnya.
Tangan Bu Regina gemetar saat hendak membuka penutup kain jenazah.
'Tuhan, kumohon, semoga ini hanya mimpi,' gumam Bu Regina dalam hati.
Ia masih saja berharap bahwa semua itu hanya mimpi buruk dan akan hilang kala ia terbangun dari tidur.
Sekarang ia telah memegang kain itu, menurunkannya secara perlahan hingga wajah pucat terpampang nyata di hadapannya. Wajah tampan yang biasa menemani hari-harinya, begitu pucat. Sudah tak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
Seketika tangisnya kembali pecah, memenuhi ruang mayat yang dingin dan sunyi. Suara tangis yang menggambarkan kepedihan dan menyayat hati.
"Mas ... kenapa kamu pergi ...!" teriak Bu Regina di tengah tangisannya yang begitu menyayat.
Bergeming. Jasad itu tetap pada tempatnya, tak ada respon sedikitpun meski istri di sampingnya menjerit-jerit histeris.
Kesadaran Bu Regina menghilang bersamaan dengan tubuhnya yang ambruk. Untungnya suster tadi sigap menahan. Kemudian, para polisi membantu membawa tubuhnya ke ruang perawatan sementara.
Polisi kembali menghubungi keluarga terdekat Bu Regina. Hanya ada no Pak RT di ponselnya yang sekiranya bisa diandalkan. Tak lama kemudian, Pak RT datang dan mengurus semuanya. Mulai dari kepulangan sampai selesai pemakaman.
Bu Regina sudah di dalam kamarnya saat sadar dari pingsan. Ada beberapa tetangga yang duduk di sampingnya. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi. Kemudian kembali menangis pilu.
Para tetangga hanya bisa mengucapkan kata sabar dan tabah untuk menguatkan. Tapi nyatanya hati Bu Regina tetap hancur dan remuk redam.
Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke luar kamar. Sudah banyak orang berkumpul, termasuk mertuanya yang tak pernah menyambanginya.
Bu Regina dipapah menuju jenazah yang telah berbalut kain kafan. Ia duduk di samping kepala jenazah suaminya. Menutup mulut agar tangisnya tak kembali pecah.
Para pelayat berdatangan silih berganti, sebagian tetap di ruang tengah sambil membaca Surat Yasin.