webnovel

Dituduh maling

Setelah aku sedikit membuka kedua mataku, aku melihat Santi yang sudah tertidur pulas di sampingku.

Aku pun bangun dari tidurku dengan sangat pelan, agar Santi tidak terganggu. Sayangnya ranjang yang kita berdua tiduri terlalu empuk, hingga Santi bisa merasakan jika aku terbangun.

"Mau kemana, Mas?" Tanya Santi saat melihatku sudah duduk di pinggir ranjang.

"Mau buang air kecil." Jawabku sambil berjalan masuk kedalam kamar mandi.

Sebenarnya aku ingin keluar kamar untuk makan malam, tapi aku malah masuk kedalam kamar mandi karena terpaksa berbohong pada Santi.

Sengaja aku berlama-lama didalam kamar mandi untuk menunggu Santi tertidur lagi.

Kubuka sedikit pintu kamar mandi untuk mengintip kearah Santi, dan benar saja kalau Santi ternyata sudah kembali tertidur.

Aku segera keluar dari kamar mandi dan menuju ke pintu kamar untuk membukanya.

"Semoga Santi tidak mendengar suara decit pintu kamar yang aku buka."

Kubuka pintu kamar dengan sangat pelan, agar Santi tidak mendengar suara pintu kamar yang aku buka.

"Akhirnya aku berhasil keluar dari kamar tanpa diketahui Santi."

Aku mengelus dadaku sambil bernafas lega, setelah itu berjalan pelan kearah meja makan, karena perutku sudah sangat kelaparan.

"Mau makan saja sampai ngendap-ngendap kayak maling." Ucap seseorang di belakangku yang membuatku berjingkrak kaget.

Aku sangat tahu siapa pemilik suara itu.

Ku balikkan badanku menghadap kearah sumber suara, dan ternyata Ari Kakak kedua Santi sudah berdiri tegak dibelakangku.

"Dasar maling."

Ari menghinaku dengan sebutan maling, setelah itu berjalan kearah dapur sambil tersenyum mengejekku.

Aku sama sekali tak memperdulikan hinaan Ari, aku meneruskan langkah kakiku menuju meja makan untuk segera makan malam.

Ternyata piring-piring diatas meja makan sudah banyak yang kosong, tega banget mereka semua menghabiskan makanan sebanyak ini tanpa memperdulikanku sama sekali.

"Kalau mau makan enak kerja dong, jangan maling malam-malam seperti itu."

Lagi-lagi Ari menghinaku, tapi aku masih tetap diam. Karena aku nggak mau sampai ada keributan di rumah ini hanya gara-gara aku.

Walaupun Ari adalah kakaknya Santi, tapi aku jauh lebih tua dibandingkan Ari. Harusnya dia bisa lebih menghormatiku sebagai suaminya Santi, bukan malah selalu menghinaku seperti ini.

Aku diam bukan berarti aku takut dengannya, tapi karena aku memang masih belum sepadan dengannya. Lihat saja nanti jika aku sudah sukses, aku akan buat dia berada diposisiku saat ini. Karena dia juga belum merasakan berkeluarga, apalagi sampai tinggal di rumah mertua.

"Woe, diajak ngomong malah diam saja, nggak punya telinga?"

Ari menggebrak meja makan membuat jantungku hampir copot karena kaget, hingga piring yang ada di meja makan terjatuh ke lantai dan pecah. Mungkin piringnya sama kagetnya denganku, makanya sampai lompat dari meja makan.

Aku berdiri sambil mengepalkan kedua tangan, ingin sekali aku menonjok Kakak ipar yang sama sekali tidak berperasaan ini. Tapi apalah daya, aku tidak punya kuasa di rumah ini.

Jika aku sampai menonjok nya, masalahnya akan semakin panjang.

Terpaksa lagi-lagi aku harus meredam emosi, hingga aku mengambil nafas panjang berkali-kali agar emosiku tidak memuncak.

"Ada apa ini? Kenapa piringnya bisa pecah?"

Ibu mertua tiba-tiba datang dengan ekpresi yang menyeramkan, seperti ingin menelan ku hidup-hidup. Padahal bukan aku yang menyebabkan piring kesayangannya itu pecah.

"Itu, Bu. Si maling habis mengamuk karena diatas meja makan nggak ada makanan." Jawab Ari yang membuat dadaku kembali sesak.

Dari tadi aku sudah menahan rasa emosiku, tapi anak itu selalu mencari gara-gara denganku. Perasaan aku tidak pernah punya salah dengannya.

"Hey, berani-beraninya kamu mecahin piring kesayanganku. Gaji kamu berbulan-bulan saja tidak cukup buat gantiin piring kesayangan ku itu."

Ibu mertua menunjuk-nunjuk wajahku dengan kemarahannya. Ku maklumi kalau Ibu mertua sangat marah melihat piring kesayangannya pecah, karena semua peralatan makan di rumah ini dibeli dari luar negeri, dan harganya sudah pasti sangat mahal.

Tapi Ibu mertua tidak berhak marah padaku apalagi sampai menunjuk-nunjuk pada wajahku, karena bukan aku yang memecahkan piring itu.

"Bukan aku yang pecahin, Bu."

Aku mencoba membela diri dan bicara sejujurnya, tapi tetap saja Ibu mertua tidak akan percaya padaku.

"Aku nggak mau tau, kamu harus ganti piring itu."

Ibu mertua menyuruhku mengganti piring kesayangannya yang dipecahkan oleh Ari. Bagaimana aku bisa mengganti piring mahal itu, dan dimana aku bisa membeli piring mahal itu?

Apa aku harus pergi ke luar negeri lebih dulu untuk membeli piring kesayangan Ibu?

Tapi darimana aku bisa mendapat uang sebanyak itu untuk pergi ke luar negeri dan membelikan piring untuk Ibu?

Astaga, hanya gara-gara sebuah piring saja membuat kepalaku hampir pecah memikirkannya.

"Pekerjaannya saja maling makanan, mana bisa gantiin piring mahal Ibu." Ujar Ari sambil menyunggingkan sudut bibirnya, setelah itu pergi tanpa rasa tanggung jawab.

"Jangan harap kamu bisa makan enak di rumah ini selagi piring mahalku belum tergantikan."

Ibu mengancamku, setelah itu pergi meninggalkan ku sendirian dimeja makan.

Aku ke meja makan rencananya untuk makan malam, tapi malah mendapat masalah. Padahal aku sama sekali tidak berbuat apapun.

Kenapa keluarga istriku begitu sangat membenciku hanya karena aku tamatan SD, dan pekerjaanku juga hanya sebagai kuli batu bata.

Padahal itu semua bukan keinginanku, tapi itu semua karena takdir. Dan aku yakin suatu saat nanti aku bisa mengubah takdirku menjadi jauh lebih baik, hingga keluarga ini tidak bisa ber kata-kata saat melihatku sukses.

Biarkan untuk saat ini aku ber angan sambil mengumpulkan uang buat modal usaha nanti. Walaupun hinaan selalu aku terima dengan hati yang sangat perih.

Semua ini memang salahku, sebelum menikah aku tidak mencari tahu dulu keluarga istriku seperti apa, terutama Ibu mertua.

Hingga sekarang aku harus menjadi hinaan di keluarga sang istri karena pendidikanku yang hanya tamat SD.

Walaupun aku hanya tamatan SD, tapi aku tidak pemalas. Aku setiap hari bekerja dari pagi hingga malam untuk mencari nafkah dan berusaha untuk membahagiakan istriku, walau pekerjaanku hanya sebagai kuli batu bata.

Istriku memang tidak pernah mengeluh dengan penghasilan ku, tapi Ibu mertua yang sangat tidak terima jika pekerjaanku hanya seorang kuli batu bata.

Entah kenapa aku merasa hidup Santi selalu diatur oleh Ibunya, padahal Santi sudah menjadi Istriku.

Aku berjanji pada diriku sendiri jika suatu saat aku pasti bisa sukses, hingga saatnya tiba aku akan menampar kata-kata keluarga Istri yang sering menghinaku dengan kesuksesanku.

Sering aku berfikir kalau nasib hidupku sudah sangat mirip seperti sinetron, tapi sinetron dalam dunia nyata yang benar-benar sangat nyata, dan semoga saja tidak ada duanya. Semoga tidak ada orang yang mengalami nasib buruk sepertiku.