webnovel

Status Pemilik Villa

Waktu semakin larut mereka masih saja menikmati malam di taman ini. Makanan yang mereka pesan pun juga sudah habis dari tadi.

Merasa betah di tempat ini ia tidak mau menyia-nyiakannya. Kemungkinan kondisi yang sangat berbeda dengan di kota.

Ke tiga saudara ini hanya bisa menghabiskan waktu mereka pada waktu liburan. Itu pun waktu masih kecil.

Mereka sekarang sudah beranjak dewasa. Ketiganya juga sudah harus mengurus kebutuhan masing-masing.

Kebutuhan yang berbeda berarti aktifitas yang mereka lakukan juga berbeda. Banyak hobi diantaranya juga berbeda mungkin karena sifat mereka yang berbeda walaupun mereka kembar.

Hal terpentingnya adalah mereka saling menjaga. Itu telah ditanamkan oleh orang tua mereka sejak dini.

"Tadi kakak elu telepon?" Tanya Bram yang merasa sudah lama sekali ke tiga bersaudara itu berkumpul bersama pergi ke villa datang bersamaan.

"He'em." Jawab Daffa.

"Disuruh pulang elu?" Tanya Bram lagi.

"Mau nyusul ke sini katanya." Jawab Daffa.

"Enak dong kita bisa main bola bersama-sama lagi." Jelas Bram senang.

Ke dua kakaknya juga selalu bermain bola tatkala pergi ke villa. Banyak teman yang mereka miliki di sekitar villa.

Penduduk sekitar sangat ramah pada setiap orang. Mereka memiliki sangat menghormati keluarga Adrean yang juga ramah pada mereka.

"Aku punya firasat tentang kedatangannya kali ini." Kata Daffa setelah menyesap minuman yang ia pesan.

"Bisa dibilang firasat baik bisa juga tidak." Lanjutnya.

"Kalian bertiga itu sebenarnya punya kekuatan pikiran atau bagai mana?" Tanya Bram yang memang sahabat paling dekat Daffa penuh penasaran sejak dulu.

Mendengar pertanyaan sahabatnya itu, Daffa hanya mengendikkan bahunya. Semua orang belum tahu identitas sebenarnya dari semua anggota keluarga pemilik villa megah dan mewah ini.

Mereka hanya tahu status pemilik itu sebuah keluarga dari kota yang sangat rendah hati. Keluarga dengan anak-anaknya yaitu satu kakak perempuan dan ketiga anak laki-laki.

Ketiga anak laki-laki ini pun mereka tidak mengira kalau mereka kembar karena wajah mereka yang berbeda. Dibalik itu antara satu dengan yang lain memiliki ikatan batin yang cukup kuat.

Kejadian demi kejadian antara satu saudara dengan saudara yang lainnya dapat mereka rasakan. Lebih tidak menyangka lagi setiap kejadian tak akan pernah lepas dari saudaranya sendiri.

"Berapa Bang?" Tanya Bram pada Sang Penjual yang sudah terkenal kocak.

"Mau dihitung sekarang apa nanti?" Tanya balik Sang penjual berharap pengunjungnya memesan lagi.

"Sekarang lah Bang." Jawab Bram.

"Tadi nambah apa aja Mas?" Tanya Sang Penjual.

"Lihat aja tuh Bang." Balas Bram sambil melihat sampah plastik yang terkumpul di atas tikar di depannya.

"Kejam amat sih lho." Kata Seorang pemuda yang ada di sampingnya.

"Ntar kualat lho." Lanjutnya.

"Jadi elu nyumpahin gue." Kata Bram.

"Emang gue tega sampai nyumpahin elu. Kuntilanak aja gak berani deket-deket sama elu apa lagi gue sampai nyumpahin elu." Cerocos Daffa.

"Bener tu Mas." Sela Abang Penjual tanpa diminta.

"Abang apaan sih?" Kata Bram membela diri.

"Tambah cakepnya kalau menghormati orang yang lebih tua." Jelas Abang Penjual.

"Abang punya anak gadis nih pasti abang nikahin tu sama temen aden." Lanjutnya kepada istrinya Bram.

"Iya Bang dikawinin aja biar gak ada lagi cewek yang deketin dia. Ntar kalau seperti itu terus akunya Bang yang kalah saingan." Kata Bram tersenyum renyah.

"Elu pikir gampang apa kawin?" Tanya Daffa.

"Kawin mah gampang." Kata Sang Penjual menyela perbincangan keduanya.

"Yang susah tu ngejalaninnya." Lanjutnya setelah beberapa saat.

Dreeeeet

Dreeeeet

Dreeeeet

Benda pipih yang tergeletak di atas alas tikar itu kembali bergetar kembali saat sang pemilik mengeluarkan dompet yang ada di saku celananya. Ia hendak membayar semua yang telah dimakan bersama sahabatnya itu.

Sang pemilik melihat Id pemanggilnya, ia membuang nafasnya kasar. Saat akan mengambil benda pipih itu dompetnya terjatuh dari tangannya.

Bram sempat melirik isi dompet sahabatnya itu. Dia melihat sebuah foto yang tak asing baginya. Mencoba mengingatingat kembali foto orang yang ada di dalam dompet sahabatnya itu.

Percaya tidak semua pemuda pasti menyimpan foto pacarnya, akan tetapi tidak buat Daffa. Ia hanya menyimpan beberapa foto keluarganya.

Panggilan itu dirijeknya tanpa berpikir panjang. Bukan hanya sekali tetapi si pemanggil mencoba untuk menghubunginya lagi.

Melihat raut wajah sahabatnya yang tidak bersahabat setelah melihat id yang tertera pada ponselnya Bram pun semakin penasaran. Saat panggilan yang entah kesekian kalinya.

"Berapa Bang?" Tanya Seorang Pemuda yang baru saja menjatuhkan dompetnya tanpa sengaja.

"Bentar Mas kita berhitung sama-sama ya?" Canda Abang penjual sambil menghitung jumlah tagihan mereka, sedangkan Daffa menyebutkan semua makanan yang telah habis mereka santap.

Pada saat itulah juga ponsel itu bergetar dengan id pemanggil yang sama. Saat keduanya asik berhitung Bram merampas benda pipih yang ada di depan Sang Sahabat.

Melakukan hal itu sebenarnya bukanlah sifat Bram. Ia selalu menghargai privasi sahabatnya itu. Hal itulah yang disukai Seorang Daffa darinya.

"Apa'an sih elu? Kepo amat?" Tanya Daffa hendak merebut ponselnya kembali.

"Nenek sihir ternyata." Kata Bram dengan jahilnya.

"Umur panjang itu mah namanya." Kata Abang penjual setelah selesai menghitung uang pembayaran yang diberikan oleh Daffa.

"Baru diomongin udah kliring-kliring." Lanjut Abang penjual setelah beberapa saat tercipta keheningan.

"Udah Bang barter aja kali. Nenek sihirnya buat abang trus anak gadis Abang buat ini temen gue yang cakep nya udah kelezatan." Kata Bram dengan menunjuk sahabatnya itu dengan dagunya.

"Barter kepala elu." Kata Daffa menjitak kepala sahabat yang baru saja memujinya itu.

"Nenek sihirnya itu gak sembarang nenek sihir Bang. Nenek sihirnya cantik kok. Gak nyesel Abang pastinya." Bram memberikan penjelasan itu kepada Abang Penjual sambil mengelus-elus kepalanya sakit akibat dijitak oleh sahabatnya itu.

"Makasih Bang." Kata Pemuda yang tadi membayar makanan yang telah ia habiskan bersama sahabatnya.

Daffa dengan sigap langsung berdiri dan melangkahkan kakinya lebar. Tak lupa Ia memasukkan dompetnya kembali saat berdiri.

Langkahnya terhenti saat teringat dengan ponsel miliknya yang kini ada di tangan Bram. Ia pun kembali untuk mengambil ponsel itu.

"Mau tetep disini elu?" Tanya Daffa dengan merampas ponsel miliknya.

"Lha tadi gue kira elu mau survai rumah anak gadis orang." Celetuk Bram.

"Dari pada gue ikut capek-capek survai mending gue mah tunggu di sini aja." Lanjutnya.

"Ikut pulang ke villa kakak gue atau tetep disini aja terserah elu." Kata Daffa berkacak pinggang.

"Iya-iya." Balas Bram sambil berdiri melangkahkan kakinya mengejar sahabatnya yang belum jauh darinya.