webnovel

Please Fall For Me

warning mature content 21+ Lili, gadis muda sebatang kara yang harus menikahi teman masa kecilnya dikarenakan orang tuanya meninggal. Alan yang semula berhubungan baik dengan Lili entah kapan mulai berubah sangat dingin terhadap Lili, bahkan setelah mereka menikah. apa yang sebenarnya menimpa mereka? mengapa Alan menikahi Lili jika tidak mencintainya? pelan-pelan tabir rahasia mulai terungkap "Mungkin pernikahan kita adalah sebuah kesalahan. bukankah begitu? meskipun aku sangat mencintaimu. mungkin selamanya kau hanya menganggapku sebagai adikmu. mungkin selamanya kau tidak akan pernah mencintaiku. lagipula, bagaimana mungkin pria setampan dirimu, sedewasa dirimu dan semapan dirimu akan tertarik padaku."- Lili "Cinta adalah kelemahan, dan aku tidak mau larut dalam suatu kelemahan yang tak berujung"- Alan follow instagram : Saavana_wn favebook : Saavana

Saavana · สมัยใหม่
Not enough ratings
124 Chs

Menghindar

"aku ingin kau menemui om Chris itu lagi"

"apa!? Nooooo! big no!" Dela berdiri dengan suara yang keras membuat seisi ruangan kelas menoleh ke arah kami, termasuk dosen di depan sana yang memandang Dela sambil menautkan kedua alisnya. cepat-cepat aku langsung pura-pura serius membaca buku.

"ma.. maaf" Dela menunduk malu sambil membekap mulutnya sendiri lalu dia kembali duduk sesaat setelah mencubitku di sebelahnya.

***

hari ini aku pulang dari kampus lebih awal dari biasanya. aku tidak ada jadwal apapun sore ini seperti Dela yang harus menyelesaikan tugas kelompoknya di kelas.

aku berjalan di lorong kampus dengan langkah gontai, aku memandangi sekelilingku. fakultasku memang selalu ramai dengan kegiatan di jam-jam sore seperti ini, entah itu kegiatan akademik maupun non akademik. biasanya akupun ikut dalam kegiatan seni dikampusku, aku beberapa kali mengikuti kontes bernyanyi antar fakultas maupun universitas, entahlah kadang-kadang aku bernyanyi di sela waktu kosongku. bernyanyi hanyalah sekedar hobi yang kulakukan saat aku merasa bosan.

aku terus melangkahkan kakiku menuju gerbang fakultas. tak berapa lama kemudian aku melihat seorang pria yang tersenyum kearahku ditengah orang-orang yang berlalu lalang. aku memfokuskan pandanganku ke arahnya.

"Hai.." sapanya menghentikan langkahku.

"halo kak Abi" jawabku singkat. ia memakai kemeja berwarna biru donker yang sangat kontras dengan kulit putihnya. wajahnya terlihat segar dengan mata yang berbinar-binar menatapku. sesekali aku dapat mencium aroma tubuhnya yang sangat maskulin itu, tak heran teman kampusku banyak yang tergila-gila padanya. prestasinya tak usah ditanyakan lagi, dia sudah sering memenangkan lomba debat mewakili universitasku dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan yang sukses dipimpinnya.

"kau sudah sembuh?" tanyanya menyelidik. aku mengangguk mengiyakan.

"syukurlah kalau begitu" balasnya terlihat lega.

"aku..., aku sebenarnya ingin mengajakmu untuk-"

"maaf kak, saat ini aku sedang tidak bisa pergi kemana-mana" jawabku cepat-cepat memotong perkataannya. kata-kata kak Alan terus terngiang di kepalaku untuk menjauhi kak Abi. mungkin harga diri kak Alan terlalu tinggi hingga tak mau di cap sebagai suami yang diselingkuhi istrinya, yah walaupun sebenarnya aku dan kak Abi tidak memiliki hubungan seperti yang dia pikirkan.

"kenapa?" tanya kak Abi yang terdengar kecewa.

"aku harus menyelesaikan laporanku" aku terpaksa berbohong lagi padanya. sebenarnya aku tidak bermaksud menyembunyikan pernikahanku dari kak Abi, hanya saja aku tidak ingin pernikahanku yang kacau sampai terendus di kehidupan kampus saat usiaku masih belia seperti ini.

"tapi ada yang ingin kubicarakan padamu"

"maaf kak, kali ini aku benar-benar tidak bisa. mungkin lain kali kita bisa bicara lagi" aku melirik jam tangan di lengan kiriku seolah terburu waktu. aku ingin cepat-cepat pulang sebelum terlibat lebih jauh lagi dengannya.

"baiklah, lain kali saja" jawabnya singkat. meskipun nada bicaranya kecewa namun senyum lembut masih terukir manis diwajah rupawannya.

"yasudah, Lili duluan ya kak" pamitku seraya membalas senyumannya. akupun buru-buru melangkahkan kaki berlalu dari hadapannya.

***

Aku menghirup aroma terapi dari sabun di bath up, aku memejamkan mata menikmati ritual mandiku setelah seharian menghadapi terik panas matahari. Aku butuh waktu untuk sekedar merilekskan otot-otot tubuhku dan meregangkan syaraf-syarafku. Ahh, rasanya nyaman sekali. Selama beberapa hari ini aku lelah sekali bermain kucing-kucingan dengan kak Abi.

Aku mendengar suara-suara di kamar. Ah, mungkin kak Alan sudah pulang mengingat sekarang sudah mulai malam. Aku baru akan menyudahi ritual mandiku ketika tiba-tiba semua menjadi gelap gulita dan membuatku terkejut .

"HHHUUUUAAAA" aku berteriak kencang karena takut berada di tempat yang gelap. sontak aku langsung berdiri dan meraba-raba dinding kamar mandiku. Aku gemetaran dan hampir terjatuh karena licin. Kenapa disaat seperti ini tiba-tiba mati listrik? Sial sekali nasibku saat ini.

Dengan tangan gemetar dan kedinginan aku meraba-raba sekitarku untuk mencari handuk atau apapun yang bisa menutupi tubuhku namun tak juga aku mendapatkannya bahkan gagang pintupun gagal ku dapatkan

"kak Alaaan!" aku setengah berteriak memanggilnya tanpa pikir panjang namun kak Alan tak juga datang. Tunggu dulu, apa mungkin kak Alan sebenarnya belum pulang dan yang kudengar tadi adalah hantu atau sekawanan perampok? Lalu aku harus bagaimana? Pikiran-pikiran negatifpun mulai memenuhi benakku

"kak Alaan.." aku mengucapkannya terputus-putus karena suaraku yang gemetar. Aku meringkuk antara ketakutan dan kedinginan ketika aku merasa pintu di buka perlahan oleh seseorang.

"kak.." aku mencicit ketika sosok itu dengan cepat memelukku mengalirkan kehangatannya pada kulit telanjangku. Astaga, aku baru ingat kalau sekarang keadaanku sedang telanjang tanpa sehelai benangpun. Dengan masih gemetar aku mencoba melepas pelukan itu setelah aku tahu itu memang benar kak Alan dari aroma tubuhnya..

"tak apa, tenanglah.... Jangan takut" aku merasa suaranya bagai mendayu menawarkan sebuah kenyamanan yang tidak bisa aku tolak. Mataku terbelalak dan kemudian memeluknya erat sambil sedikit sesenggukan masih dengan rasa takut yang tertinggal. Nafasku memburu tak beraturan.

sepertinya trauma itu masih sangat membekas dalam diriku hingga membuatku begitu takut berada dikegelapan seorang diri.

mungkin aliran listrik dirumah sedang korslet atau bagaimana sampai tiba-tiba listrik padam seperti ini.

"a.. apa yang.." aku memekik ketika kak Alan mengangkat tubuh telanjangku ala bridal style keluar dari kamar mandi. Kak Alan hanya diam saja dan membawaku ke bawah selimut ranjang kami

Ia membaringkanku di sampingnya dan memelukku erat.

"tidurlah.." ucapnya serak. Aku dapat merasakan napasnya yang pendek-pendek menahan sesuatu.

Dua puluh menit kami masih dalam posisi yang sama. Ya, bagaimana mungkin aku bisa tidur dengan merasa aman ketika aku sadar sepenuhnya aku tidak mengenakan apa-apa di bawah selimut ini. Tapi untuk sekedar berjalan kearah lemari saja aku tidak bisa saking gelapnya. Tak ada yang bisa kulakukan selain mengeratkan selimut di tubuhku.

"jangan bergerak-gerak. Lili!" aku merasakan sesuatu yang keras menusukku di bawah sana. suara kak Alan berubah serak.

"aa. Aku.." aku menggingit bibir bawahku. Aku merasa gelisah dengan kedekatan tubuh kami saat ini.

Aku mendengar kak Alan berdecak kesal dan mengeratkan pelukannya padaku, ia bahkan mulai menyelipkan wajahnya di ceruk leherku yang membuatku merinding. Sekarang aku lebih takut padanya dari pada kegelapan ini. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku ini penakut?

"ahh kak!" suara protesku lebih terdengar seperti desahan dari pada nada marah. Aku merutuki diriku sendiri ketika kak Alan menciumi cuping telingaku dan makin gencar menjelajahi tubuhku. Pikiranku terlempar kembali pada saat kak Alan memperkosaku malam itu. aku bergetar hebat dengan mata terpejam. Apa kak Alan akan memaksaku lagi? Apa kak Alan akan berbuat kejam lagi padaku? Apa kak Alan tidak akan mempedulikan aku lagi selain dirinya?

tanganku yang sedari tadi mencoba mendorongnya langsung di cekal di atas kepalaku membuatku semakin panik.

Sekelebat pikiran negatif dan peristiwa menakutkan itu kembali membayangiku membuat bibirku meloloskan suara isakan dengan mata berair. Aku merasakan pergerakan kak Alan terhenti ketika mendengar isakanku itu. ia seperti membeku sejenak kemudian duduk dan memberiku kemejanya yang kebesaran itu padaku.

"kau tidak tahu seberapa menyebalkannya kau saat ini" aku dapat mendengar nada gusarnya yang frustasi menahan sesuatu. aku tidak begitu memahaminya dan sibuk menenangkan perasaanku

"pakailah dan cepat tidur. Dasar cengeng" aku menerima kemeja kantor yang belum sempat ia ganti itu dan cepat-cepat memakainya sebelum kak Alan menyerangku lagi. Aku tak peduli lagi apakah kemeja itu terbalik atau tidak yang terpenting adalah melapisi tubuhku walaupun akhirnya kak Alanlah yang bertelanjang dada.

Sepanjang malampun aku terjaga dengan pertanyaan yang sama di benakku

apakah aku bisa tidur dengan aman sekarang?