webnovel

Aku Ingin Jadi Istrimu, Arais

Akhirnya mereka sampai di rumah sakit terdekat. Arais buru-buru keluar mobil dan membuka pintu belakangnya, membiarkan Doni menggendong Miraila. Arais berteriak agar suster segera membantunya.

"Suster-suster, ada yang butuh pertolongan." Suster pun berlarian sambil mendorong brangkar. Tubuh Miraila diletakkan di atas brangkar, kemudian dibawa oleh suster-suster itu menuju ruang UGD.

Di depan ruang UGD, Arais merasa tidak karuan. Arais merasa bersalah, takut Miraila tidak bisa diselamatkan. Dengan banyaknya darah yang keluar dari Miraila, itu adalah sebuah bentuk pengorbanan dan juga hutang nyawa yang tidak akan pernah bisa Arais membayarnya.

"Aku gak akan maafin diriku sendiri kalau sampai terjadi apa-apa dengan Miraila. Aku janji jika Miraila selamat, apapun permintaannya akan aku turuti," janji Arais pada dirinya sendiri.

Dony yang sedang duduk di ruang tunggu merasa sakit mendengar ucapan itu. Sungguh dia tidak senang mendengarnya, karena dia merasa Miraila bukan wanita yang baik untuk Arais. Namun, dia pun bisa mengerti bagaimana perasaan Arais sekarang.

"Kenapa kita gak doakan saja Miraila, Pak Arais? Semoga Nona Miraila gak pa-pa," ucap Dony menghibur. "Saya belikan minum dulu, ya, Pak," pamit Dony. Doni pergi untuk membeli minuman agar Arais bisa lebih tenang.

Setelah Doni kembali membawa minuman, Arais meminumnya. Kini dia jauh lebih tenang. Arais pun tidak berhenti berdoa untuk keselamatan Miraila.

"Ya Tuhan. Aku mohon selamatkan Miraila, ya Tuhan. Dia sudah banyak menolongku. Izinkan aku untuk membalas semua kebaikannya padaku." Arais berdoa penuh harap.

Tak lama kemudian dokter keluar dari ruangan itu. "Keluarga pasien." Dokter itu mencari seseorang yang bisa diajak bicara tentang keadaan pasien.

Arais mendekat. "Bagaimana keadaan Miraila, Dok? Dia gak pa-pa 'kan? Dia masih selamat 'kan?" cecar Arais ketakutan.

"Kami berhasil mengambil peluru dari dalam tubuhnya. Sekarang pasien sedang tidur karena kamu sudah memberikan obat tidur. Masa krisisnya sudah selesai. Sebentar lagi kami akan memindahkannya ke ruang rawat. Untung kalian cepat membawanya ke sini kalau ... sampai telat sedikit saja, bisa-bisa pasien mengalami banyak darah dan itu akan sangat fatal," jelas dokter itu.

"Syukur kalau begitu. Apa kami bisa menjenguknya, Dok?" tanya Arais lagi.

"Bisa, tapi setelah dipindahkan ke ruang rawat. sekitar beberapa menit lagi. Silakan Anda tunggu sebentar. Permisi saya pergi dulu," kata dokter lalu meninggalkan mereka berdua.

***

Arais menunggu Miraila sejak semalaman. Dia merasa sangat berhutang budi dan ingin sekali membalas semua jasa-jasanya. Semua masalah pekerjaan diserahkan pada Doni. Yang terpenting baginya adalah melihat Miraila sembuh.

Arais tertidur sambil duduk, wajahnya tersender di samping tangan Miraila. Saat itu. Miraila sudah sadar. Dia mengerjapkan mata untuk beradaptasi dengan cahaya yang ada di dalam ruangan itu. Sangat terkejut melihat Arais ada di sampingnya.

"Ternyata kamu di sini, Arais. Aku harap pengorbananku ini tidak sia-sia. Aku ingin banget bisa jadi istri kamu, Arais," gumam Miraila sambil mengusap kepala Arais yang sedang tertidur.

Miraila sangat senang bisa mendapatkan perhatian dari Arais. Arais terbangun karena merasa ada sentuhan di kepalanya. Namun, dia senang sekali melihat Miraila yang sudah siuman.

"Kamu udah bangun? Bagaimana keadaan kamu? Apa yang kamu rasakan? Kamu mau minum?" Segera mengambil minum yang ada di samping brangkar, dengan penuh perhatian Arais meminumkan minuman untuk Miraila dengan sedotan.

"Terima kasih, ya." kata Miraila sambil tersenyum.

"Sama-sama. Harusnya aku yang mengucapkan itu, karena kamu udah kembali menolong aku. Aku gak tahu harus membalas semua jasa-jasamu dengan apa," tutur arah lembut.

"Kamu gak usah bales aku dengan apa-apa. Asalkan aku bisa sama kamu terus ... itu udah lebih dari cukup," ucap Miraila. Walaupun dia sangat berharap yang lain, itu taktik awalnya agar Arais bisa masuk jebakannya.

"Aku akan penuhi semua permintaan kamu. Apapun yang kamu mau, aku akan wujudin. Kamu sebutkan saja apa yang kamu inginkan dariku," kata Arais agar dia lebih tenang. Miraila senang karena Arais mulai masuk jebakannya.

"Aku gak minta apa-apa, tapi aku pingin banget satu hal," jebak Miraila.

"Apa?" tanya Arais.

"Aku ingin jadi istri kamu,"ungkap Miraila dengan mata penuh harapan. Dia memang sudah lama jatuh cinta pada orang tersebut.

Arais memundurkan badannya. Dia tidak menyangka kalau permintaan Miraila sebesar itu. Karena tidak bisa berkata apa-apa, dia kebingungan dan memandang ke segala arah dan tak berani menatap Miraila.

"Aku tahu ini permintaan yang mustahil. Gak usah dipikirin. Anggap aja aku lagi ngelindungan." Walaupun dia masih berambisi menjadi istri Arais, dia akan bermain halus sampai Arais mau menerima permintaannya.

***

Arais kembali ke kantor. Kali ini dia sudah siap untuk melihat Pranaya dipermalukan. Pranaya sudah ada di ruang meeting, mereka akan membahas proyek baru yang akan dilakukan oleh Zuyo grup setelah gagalnya proyek dari Armour Estetic.

"Selamat pagi semuanya. Aku di sini sebagai pemimpin tertinggi dari Zuyo Group. Di sini aku memerintahkan kepada Bapak Pranaya untuk memimpin proyek baru kita. Tapi karena beliau sudah terlalu tua, akan ditemani oleh Doni. Maaf Pak Pranaya tolong ambilkan minuman, aku haus. Ambilkan air mineral dua botol untuk aku," suruh Arais di depan semua orang.

Pranaya tidak menolak, dia pun langsung bangun dan keluar dari ruangan. Semua orang kebingungan.

Bagaimana bisa seorang anak menyuruh ayahnya sendiri untuk mengambil minuman? Mereka saling berbisik dan menatap heran pada Arais. Tak lama kemudian Pranaya datang membawa dua botol air mineral.

"Ini, Pak. Minumannya," kata Pranaya sambil menyodorkan dua botol itu.

"Buka dan ambilkan sedotan! Aku gak mau sampai bajuku basah karena air mineral yang tumpah," pinta Arais dengan arogan. Dia senang sekali mengerjai Pranaya.

Pranaya yang baru saja akan duduk, segera mengurungkan niatnya. Dia kembali ke luar ruangan untuk mengambil sedotan yang diminta oleh Arais.

"Baik, Pak, saya akan ambilkan sedotan dulu." Kembali pranaya menerima dengan ikhlas semua hinaan itu.

Orang-orang semakin heran dengan tingkah dua orang tersebut. Ada OB atau OG, kenapa harus menyuruh orang nomor satu di perusahaan tersebut?

Pranaya kembali dengan membawa sedotan.

"Sedotannya apa ini? Aku gak mau sedotan plastik, aku mau sedotan stainless! Kamu gimana, sih, itu aja gak bisa? Bagaimana mau mengurus proyek besar, kayak gini aja nggak becus," omel Arais di depan semua orang.

Orang-orang merasa kasihan dengan amarah yang keluar dari mulut Arais. Setahu mereka Arais itu anak yang sopan dan berbakti kepada orang tuanya. Namun, hari ini semua itu terbantahkan oleh sikap Arais yang sangat tidak baik Pak Pranaya.

"Pak Pranaya adalah ayah anda sendiri, kenapa Anda memperlakukannya seperti seorang pembantu?" protes salah seorang karyawan. Dia merasa tidak tega melihat bosnya sendiri diperlakukan sangat tidak manusiawi.

"Kamu protes? Kamu mau saya pecat? Ini tentang proyek besar, aku gak mau proyek ini dipegang oleh sembarangan orang. Dia ambil sedotan aja nggak bisa, apalagi mengurus proyek sebesar ini! Kamu tahu kalau proyek ini gagal lagi seperti proyek yang kemarin, berapa kerugian yang akan diterima perusahaan ini? Apa kamu mau menggantinya kalau sampai gagal lagi? Bisa kamu menggantinya dengan gaji kamu yang kecil?" sungut Arais pada karyawan itu.

Karyawan itu pun tertunduk, dia tak bisa berkata apa-apa.

"Siapa lagi yang mau protes? Siap-siap kalian akan aku pecat! Kalian ini cuma bawahan, gak usah sok tahu dan menasehati aku! Aku lebih pintar dari kalian." Arais kembali menunjukkan kekuasaannya.

Doni yang mengikuti rapat hanya bisa diam. Bukannya dia tidak peduli dengan nasib Pranaya, dia mempunyai sebuah rencana, tetapi dia akan lebih dulu mengikuti permainan Arais.