webnovel

Kematian

[Prekuel]

Sore itu... di dalam ruang keluarga... sebelum menonton acara televisi kesukaan Ibu, kami menanti brownies keju buatannya. Ayah selalu merasa kesal karena ia lebih menyukai acara sepak bola; saat acaranya direbut ia selalu pergi ke tempat lain.

Aku dan Joe tidak mempermasalahkan itu, asalkan kita diizinkan bermain gawai; Ibu bebas menguasai televisinya. Joe saat itu masih berumur 11 Tahun, 4 Tahun lebih muda dariku. Saat itu usiaku masih 15 Tahun—hidup dengan pengasuhan yang baik—nilaiku juga cukup bagus, karena ibu selalu berjuang keras agar kami tumbuh dengan sehat dan bahagia.

"Willy, tolong belikan tepung nak." Ibu sedang membuat adonan menyuruhku untuk membeli tepung yang jaraknya lumayan jauh, aku tidak bisa meninggalkan permainan dan AFK [away from keyboard].

"Aduh... lagi main Bu!" Tanpa sadar aku berteriak karena terlalu fokus pada permainan.

"Joe..." Aku menyanggah karena aku dan Joe adalah satu tim jika salah satu dari kami afk pertandingan akan menjadi tidak seimbang, tim kami akan dirugikan, "Joe harus main!"

"Yasudah Ibu aja deh, sekalian mau belanja kebutuhan lain." Aku tahu bahwa itu salah namun aku dan Joe tetap melanjutkan permainan.

"Willy, kamu sadar kan setelah main harus apa." Ibu terhenti di depanku sesaat sebelum pergi keluar, "Mengajari Joe untuk persiapan ujian, aku tahu Bu!" mendengar itu Ibu pergi.

"Backup aku Joe!" Lawan menyerang dengan anggota penuh sementara Joe berada di belakang tim. "Maaf kak, segera kesana." Joe datang dan musuh terpukul mundur. Joe adalah seorang marksman yang memberikan kerusakan besar namun ketahanan yang lemah sementara aku adalah fighter berada di garis depan. Tidak sulit untuk memenangkan permainan, aku bersorak bersama Joe!

Hari menjelang malam, ibu belum pulang. Aku dan Joe tidak bisa tenang karena brownies buatannya tidak ada di meja. "Kak, kenapa ibu lama sekali?" Tanya adikku yang malang itu. "Tunggu saja, mungkin belanja nya banyak," jawabku lalu kulanjut, "bukannya ini kesempatan untuk terus bermain game!" Joe kembali semangat karena dorongan dari ucapanku.

Ayah pulang jam 10 malam, memarahi kami berdua karena masih bermain game, sementara Joe yang dari tadi bermain denganku terlihat lelah menahan kantuk. Saat ayah sedang menceramahi kami tiba-tiba ada seseorang mengetuk pintu, dia adalah pak Ahmad.

Datang dengan ekspresi sedih, menghela nafas berat dengan suara serak, "Ibu... kecelakaan... tidak... tidak dapat diselamatkan."

Ayah sangat terpukul mendengar hal itu.

Ibu pernah berkata padaku, "Will, apa kamu takut dengan masa depan?" Aku menatap kearah matanya dan dia tersenyum, "Tidak, aku tidak pernah memikirkan itu selama berada disamping kalian." Ibu malah tertawa.

"Tapi will, suatu hari saat ibu pergi, apa yang akan kamu lakukan?" Ibu duduk di sofa setelah meletakkan kue brownies yang masih hangat di atas meja, duduk di sampingku. "Kenapa Ibu bilang begitu." Aku mengambil kue brownies.

"Karena setiap orang akan pergi, dengar will! hal yang paling penting adalah saling membantu satu sama lain, kau tidak boleh egois, tidak boleh jahat pada orang lain maka dengan begitu tidak ada yang perlu kau takutkan, karena kau memiliki banyak orang yang berada disampingmu." Ibu mengelus kepalaku dengan lembut dan diam-diam mengambil remote televisi yang aku sembunyikan di balik punggungku tanpa aku sadari.

Semua kenangan tentangnya hidup di dalam diriku, aku tidak merasa bahwa dia telah pergi.

Aku syok saat mendengar kabar itu dari Pak Ahmad, Ayah menangis tersedu-sedu sementara Joe juga menangis setelah melihat ayah menangis. Ada perasaan tidak enak hati saat melihat orang lain menangis, seperti, apa yang harus aku lakukan untuk membantu atau apakah aku harus ikut menangis.

Beberapa minggu setelahnya...

Paman gemuk dengan setelan hitam bilang padaku untuk menyerahkan masalah ini kepada orang dewasa. Aku mendengar dari percakapan mereka bahwa kecelakaan itu terjadi akibat kelalaian seorang supir truk. Truk yang kehilangan kendali akibat rem yang tidak berfungsi, melaju dengan cepat di jalan. Supir itu mendapat pilihan yang cukup sulit, banting stir kiri yang terdapat seorang pejalan kaki yang tidak sempat berlari, banting stir kanan menabrak rumah makan dengan banyak orang yang berada di dalamnya, atau lurus dengan beberapa pengendara sepeda motor dan juga mobil yang ada di depannya saat berhenti di lampu merah.

Supir itu memilih resiko yang paling minim.

Ibu adalah korban dari kecerobohan yang tidak termaafkan, pengemudi itu divonis 3 Tahun penjara, mendapat keringanan karena pengambilan keputusan yang tepat dan sifat koorporatif yang dia tunjukan selama pengadilan.

Media menyoroti kasus itu, masyarakat mengutuk supir truk itu, namun setelah mereka mendengar statement dari pengacara supir truk, mereka berpikir... jika berada di posisi sopir itu mungkin itu adalah tindakan yang benar.

Ayah yang tidak terima dengan keputusan hakim mengamuk di tempat sidang menimbulkan kegaduhan, ayah di usir keluar dengan cercaan di sepanjang jalan tertuju pada keadilan. Media menyorotinya berbalik ke arah keluarga kami, masyarakat menghina ayah di media massa hingga menyebar ke mulut tetangga.

Rasanya risih, ditatap semua orang.

Ayah melakukan berbagai cara untuk melupakan kejadian itu; hingga sekarang tidak ingin melakukan apa-apa.

Joe putus sekolah saat kelas 2 Smp, memilih untuk pergi dari rumah karena muak melihat ayah.

Dan Aku tidak tahu harus bagaimana.