webnovel

One Thing Lead To Another Event

"ANNA." Melihatnya terlempar begitu jauhnya dariku karena menerima pukulan yang diberikan oleh pria itu. Tembok yang hancur oleh tubuh Anna, beberapa kursi dan meja yang ikut hancur bersamaan dengan kaca karena gelombang kejut yang ditimbulkan oleh pukulan yang diberikan oleh pria itu berhasil membuatku diam terpaku di hadapannya. Terduduk dengan diselimuti rasa takut, serta trauma mendalam akan kehilangan sosok yang begitu berarti. Aku tidak bisa melihat Anna, ataupun mendengar suara yang datang darinya. Seolah keberadaannya, lenyap tak bersisa. "ANNA."

"Dia tidak mungkin selamat dari serangan itu, dan berikutnya adalah …." Dia datang. Melihat ke arahku dengan tatapan membunuh yang sangat jelas terpancar melalui tinjunya yang memancarkan aura hitam. "Berikutnya adalah kau, Kastath." Pria itu melihat ke arah di mana Anna terlempar, terkejut ketika melihat sebuah kilatan berwarna putih dan juga hawa dingin yang tiba-tiba menyelimuti seluruh ruangan. Begitupun denganku, melihat ke sana dengan tangis yang tak lagi mampu untuk bisa aku tahan. "ANNA … ANNA." Memanggil namanya, Anna berjalan ke arahku dan juga pria itu dengan tubuh yang di sekelilingnya terselimuti kristal es. Tatapannya menjadi sangat dingin. Ini adalah Anna, atau lebih tepatnya sisi lain Anna yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Siapa sebenarnya Anna yang ada di hadapanku saat ini? 

"Yoika Aisena." Bersamaan dengan itu, muncul beberapa tombak es yang dengan cepat melayang dan terbang, mencoba menembus tubuh pria yang ia panggil Kastath. "Serangan seperti itu tidak akan mampu untuk mengalahkanku. "Aksrin : Boda Ikhtira." Tubuhnya terselimuti perak, dengan cepat membentangkan kedua tangannya dan menerima semua serangan yang diberikan oleh Anna. "Lihatlah, bagaimana seranganmu tidak memberikan pengaruh apapun padaku." Serangan itu tidak memberikan ruang untuk pria itu mengerakkan tubuhnya untuk mendekati dan melancarkan serangan balik kepada Anna, namun tetap saja, tidak ada satupun dari serangan Anna yang mampu menggores tubuh dari pria itu. 

"Sampai kapan kau akan terus menyerangku seperti itu?" Pria itu perlahan maju dan menepis satu per satu tombak yang ditembakkan ke arahnya. Tidak, Anna dalam bahaya. Tetapi aku tidak bisa melakukan apapun untuk membantunya ataupun menghambat pria itu. Apa tidak ada yang bisa aku lakukan? Dalam waktu yang singkat, tubuh dan pikiranku bergejolak mencari arti dari kejadian yang baru saja terjadi dan bagaimana aku harus bersikap untuk mengatasinya. Anna, mengapa kamu harus melawannya? Tidak. Bukan begitu. Anna … dia sudah memperingatkanku tentang apa yang akan terjadi, tetapi aku bertingkah seperti orang bodoh yang mempertanyakan tindakannya. Aku penyebab semua ini. Anna yang sedang diincar oleh pria dengan aura membunuh yang sangat kuat, dengan nyawa yang mungkin saja dapat menjadi pertaruhannya. Aku … penyebab semua ini. Aku … membahayakan Anna. Setelah semua yang ia lakukan untuk membuatku merasakan sebuah pertemanan, merasakan sebuah kehangatan yang sangat aku inginkan, aku … membuatnya ke dalam bahaya.

"Kau tidak boleh mendekatinya." Tanganku menggenggam pergelangan kakinya, membuatnya sedikit tersentak dan melihatku dengan tatapan yang aku sendiri tidak yakin bagaimana untuk mendeskripsikannya. Marah, bercampur dengan penghinaan dan juga tatapan yang sangat rendah kepadaku. Aku tidak peduli, jangan gerakkan sedikit saja kakimu untuk mendekati Anna. "Jangan dekati Anna, dasar pria tidak tahu malu." Detik berikutnya, aku rasakan benturan hebat antara tubuhku dan juga benda keras dengan ujung yang tumpul dan juga lancip. Aku tidak mengetauhi apapun selain kesadaran sesaat bahwa dia menghempasku jauh dengan menendang tubuhku menggunakan kakinya. Pandanganku kabur, sorot mataku hanya menampakkan warna abu dan juga putih yang begitu jelas sampai membuatku takut karenanya. Darah mengalir dari mulut dan juga kepalaku, dipenuhi dengan luka gores hingga robek pada beberapa bagian tubuh serta tangan yang tidak lagi dapat aku rasakan. "Sepertinya kau tidak memahami posisimu di sini, nona. Apa dia temanmu?" Pria itu menghadap Anna, yang dengan cepat menghentikan serangannya dan menatapa balik pria itu dengan tatapa tajam. "Jauhkan tanganmu darinya, Kastath."

"Dan bagaimana kalau aku tidak ingin melakukannya? Dia sangat rapuh, hanya dengan serangan seperti itu saja dia sudah berubah seperti orang mati." Leherku dicengkramnya, mengangkat tubuhku ke atas dan menggoyangkan tubuhku, memberikan rasa sakit yang luar biasa pada bagian dada dan juga leherku. "Anna … j-jangan ter-p-cin o-eh-a." Pria itu menatapku dengan sinis, sementara Anna terdengar samar memanggil namaku. Kembali aku memuntahkan darah ketika pria itu semakin keras mencengkram leherku, mengenai pakaian yang ia kenana dan membuatnya semakin terlarut dalam amarah. "Jauhkan tanganmu darinya, Kastath."

"Aonore." Dengan cepat Anna menghentakkan kakinya, mengubah seluruh ruangan menjadi gletser. Semua yang terjadi, yang terdapat di dalam ruangan perlahan ditutupi oleh es yang membeku, namun tidak dengan pria itu. Dia berhasil menghalau beku yang bergerak menyelimutinya dengan aura hitam yang kini menyelimuti seluruh tubuhnya. "Aksrin : Fuli Boda Proteca."

Terasa sangat jahat dan kejam, aura ini. Anna tidak mungkin bisa menang melawannya. Aku … tidak bisa melakukan apapun untuk membantunya. Seluruh tubuhku terasa kaku, napasku terasa sangat memburu. Anna … Anna … Anna.

"Kau tidak bisa mengalahkanku hanya dengan es seperti ini, nona." Wajahnya yang tidak sedikitpun menampakkan rasa takut membuat Kastath menjadi menaruh waspada padanya. "Lalu mengapa kau menjadi waspada seperti itu kalau seranganku tidak akan bisa mengalahkanmu?." Bergerak perlahan mendekati Kastath, setiap langkah yang diambil oleh Anna membuat Kastath tampak gusar. Anna mengarahkan tangannya pada Kastath, membuat bunga es yang menyelimuti tubuh pria itu namun dengan cepat aura hitam yang menyelimutinya menghalau bunga es itu untuk menutupinya. "Jadi kau sudah mulai serius menghadapiku. Kalau begitu aku akan …." Tidak sempat untuk menyelesaikan apa yang diucapkannya, bongkahan es besar menembus mengenai tubuhnya, membuatku terjatuh dari genggamannya. "Kalau begitu, aku akan menghabisimu, Kastath." Pria itu terjatuh, terduduk lemas sekilas terlihat seperti tidak lagi bernyawa, dengan lubang pada perutnya serta bongkahan es yang berubah merah karena terkena darahnya. 

"Toika Aisena." Beberapa tombak es muncul dari lantai, dengan cepat menusuk Kastath pada setiap sisi tubuhnya, Menembus hati, kaki, tangan, dan juga lehernya. Pria itu tidak bergeming, namun darah mengalir dari serangan yang diberikan Anna padanya. Aku tahu, Kastath tidak akan selamt dari apa yang baru saja menyerangnya. "Kina … kamu tidak apa-apa Kina?" Dalam samar aku melihat dirinya yang begitu putih memanggil namaku dalam tangis yang pilu. Tangan lembutnya mencoba menghentikan pendarahan yang aku alami dengan membekukannya, namun sebelum semua dapat aku cena dengan baik, pandanganku … menghitam.

"Kina … Kina … KINA." Tawa menggema, membuat Anna melihat ke arah di mana Kastath berhasil ia lumpuhkan. "Dia … tidak ada?"

"Kau pikir bisa mengalahkanku?"

"Aku akan datang, begitupun dengan mereka. Semua untuk membawa kembali surga yang dicuri dari kami."

"KELUARLAH KASTATH, AKU AKAN MEMBUNUHMU SAAT INI JUGA."

"Tenanglah nona, bolehkah aku memanggil dirimu seperti itu? Aku sudah melihat sebagian kemampuanmu, dan kau juga sudah melihat kemampuanku. Aku akan mengakhiri hal ini, sampai jumpa lagi … Aisena nao Kyor."

Hanya Dia Yang Kuasa,

Yang mampu menyelamatkan Nirwana,

Membawa rasa ke dalam cinta,

Memberikan hati sebuah penyesalan,

Kembalikan,

Kembalikan,

KEMBALIKAN KEPADA KAMI,

TEMPAT KAMI UNTUK MENGGANTUNGKAN HARAPAN,

"Di mana, aku?" Dalam pikiran yang begitu bergejolak, sorot mataku begitu gelap tidak mampu menerka. Aku tidak bisa merasakan seluruh tubuhku. Mereka tidak bisa digerakkan. Di dalam kegelapan ini, tanpa sedikitpun cahaya, aku tidak bisa mengetahui bagaimana posisi tubuhku sekarang. Apa aku berdiri? Telentang? Miring? Telungkup? Entahlah. Aku tidak mengerti. Dengan sekuat tenaga ku mencoba untuk menggerakkan kedua bola mataku. Melihat ke kiri, hanya ada hitam. Begitupun saat melihat ke arah kanan, hanya ada hitam. Sebenarnya aku ada di mana? Apa yang terjadi padaku? Sungguh aku tidak mengerti. "Mrs. A, lakukan tugasmu. Jangan sampai ada kesalahan. Karena kau mengerti, lekaki tua itu tidak menyukai adanya kesalahan, dan dia pasti tahu jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan skenario yang dibuatnya." Suara itu menggema di ruang hitam—atau setidaknya begitu ku menyebutnya—tempat di mana ku berada. Suara seorang wanita, yang sepertinya membuat panggilan telepon dengan wanita lain yang ia panggil Mrs. A.

"Darimana asal suara itu? Siapapun tolong. Tolong aku." Tidak terdengar lagi. Suara itu lenyap, benar-benar hilang tidak ada jejak. Bagaimana ini? Aku sangat takut. Jantungku berdetak lebih cepat tetapi berbeda dengan tubuhku yang masih kaku tidak bisa digerakkan. Ini sangat menyiksa. Siapapun yang melakukan hal ini, ku harap dia punya alasan yang bagus atau aku akan mendaratkan beberapa pukulan ke wajahnya.

"Mengapa kau begitu khawatir? Tenang saja. Semua akan berjalan sesuai perintah yang diberikan Tuan Ki. Dan ku harap kau pun memanggil dia dengan sebutan yang sama denganku." Mrs. A mencoba menenangkan seseorang yyang sedang tersambung dengan jaringan telepon itu.

"Bahkan kalau panggilan itu hanya satu-satunya jalan agar ku tetap hidup, aku akan memilih untuk mati." Suara itu nampak kesal. Mrs. A mengeluarkan tawa dingin. "Baiklah Nyonya, akan ku laksanakan perintahnya. Tolong, jangan laporkan apa yang sudah ku lakukan kepadamu pada Tuan Ki. Kau tau, walaupun kau membencinya, tetapi dia sangat menyayangimu," sambung Mrs. A. "Aku tidak ingin membicarakannya. Cepat, lakukan tugasmu atau dia akan kembali memarahiku." Suara itu meninggi. Terdengat jelas kalau dia marah karena mungkin saja merasa dipermainkan oleh ucapan Mrs. A. Aku tidak bisa menyalahkannya, karena dapat ku pastikan akan melakukan hal serupa.

"Aku ingin lihat bagaimana reaksimu saat ini."

"Jangan bermimpi Mrs. A." Bersamaan dengan itu, sambungannya terputus. Mrs. A kembali tertawa, tetapi kali ini dia terdengar sangat senang. "Kau sama sekali tidak berubah, bagaimanapun ia mencoba untuk mengubahmu."

Tiba-tiba saja ruangan hitam atau yang ku duga seperti itu secara mengejutkan perlahan berubah. Suara bergetar terdengar menggema, sangat memekakkan. Ingin rasanya menutup kedua telinga, tetapi dengan tubuh yang tidak bisa digerakkan, aku hanya bisa memejamkan mata kesakitan.

Sakit sekali. Kumohon. Kumohon berhenti.

Tak cukup dengan menutup mata, ku mencoba untuk membuat pikiranku teralihkan dengan bergerak-lebih tepatnya hanya berguling satu langkah tak penuh-ke kiri dan kanan. Tetapi tetap saja, suara dengung ini tidak bisa berhenti terdengar. "Sekarang ... apa yang harus ku lakukan terhadapmu. Gadis kecil yang tidak beruntung," ucap Mrs. A. Setelahnya, tiba-tiba saja ruang hitam ini berhenti mengeluarkan suara dengung, berganti dengan banyak sekali suara seperti roda gerigi yang berputar bersamaan. "Apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Sebenarnya aku ada di mana?" Pikiranku semakin kacau saat menyadari bahwa ruang hitam ini bergerak perlahan. Cahaya samar-samar muncul dari kejauhan, tepatnya pada sisi kiri dan kanan. Aku mengamati hal itu, dan menyadari kalau ruangan ini benar-benar dalam fase runtuh. Cahaya itu bergerak, mendekatiku dan melenyapkan setiap sisi ruang hitam yang dilewatinya.

"Tidak. Tidak, tidak tidak." Aku mencoba sekuat tenaga untuk menggerakkan diri. Tetapi tetap tidak bisa. Keringat mulai bercucuran, pandanganku semakin kabur. Cahaya itu semakin dekat, hanya beberapa langkah lagi-karena ku tidak tahu bagaimana menyebutkannya-akan mengenai tubuhku. Aku tidak kuat lagi. Seberapa keras ku mencoba, tubuh ini tidak dapat digerakkan. Dan lagi, hampir tidak ada ruang untuk bergerak. Semua sudah lenyap terhapus oleh cahaya itu.

"HUH! TIDAK. PERGI. JANGAN LENYAPKAN KEBERADAANKU." Aku semakin panik saat kakiku perlahan berubah menjadi debu lalu melayang entah ke mana saat cahaya itu mengenainya.

Aku berteriak sekuat-kuatnya, mencoba memberitahu siapapun atau apapun itu bahwa ini sangat menyakitkan. Tetapi percuma, karena kenyataannya ini sama sekali tidak sakit yang membuatku kurang bisa mendalami teriakan yang ku keluarkan dan memang tidak ada yang mendengar seberapa kuat ku mencoba. Kakiku sudah lenyap seutuhnya. Ku tidak lagi mempunyai kaki, tetapi anehnya tidak ada darah yang mengalir ke luar. Sebenarnya apa yang terjadi pada tubuhku? Cahaya itu semakin naik, menuju perut, lalu dada. Aku tidak berani melihat. Ku memejamkan mata, berharap kalau memang ini adalah akhir kematianku, maka aku tidak harus melihat bagaimana tubuhku akan dibawa pergi. Dapat ku rasakan cahaya itu di leherku. Ia bergerak, sedikit melambat tetapi tetap saja ia bergerak. Perlahan menyentuh dagu, relung pipi, dan sampai pada kantung mata. Dapat ku rasakan mataku tidak lagi merespon saat kucoba untuk membukanya. Apa artinya ku tidak lagi memiliki mata? Lalu berarti tak lama lagi aku akan lenyap sepenuhnya? Dalam perasaan yang tidak menentu menjelang akhir, aku mendengar suara Anna samar-samar. Suaranya sayup, sangat kecil, dan perlahan menghilang. Atau mungkin karena telingaku yang sudah lenyap? Entahlah. Ku tidak bisa memikirkan apapun.

"K-kina, ma—" Belum sempat mendengar keseluruhan isinya, cahaya itu berhasil melenyapkanku sepenuhnya. Satu hal yang ku ingat hanyalah Anna. Aku yakin sekali suara itu miliknya.

"HUH!" Aku terbangun di sebuah ruangan berwarna putih, dengan beberapa lampunya redup mendekati padam. Mengalihkan pandangan ke sekitar, berusaha menangkap objek yang familiar dan ya ... Anna adalah objek yang pertama kali ku lihat. Ya, kalian tidak salah lihat. Gadis ini, Anna, sekarang tengah memeluk tangan kananku, menyandarkan kepalanya, berbalut selimut dan tertidur diikuti dengan dengkuran kecil.

Aku melihatnya. Terlepas dari peristiwa yang membuatku malu dan sempat membencinya, Anna sangatlah cantik. Wajahnya yang bundar sangatlah menenangkan, terlebih dengan kacamata hitam bulatnya yang masih sempat ia kenakan bahkan saat ia tertidur seperti ini. Kalau aku diberi kesempatan untuk mengatakan sesuatu secara hiperbola, maka aku akan mengatakan bahwa Anna mungkin adalah satu-satunya perempuan di alam semesta ini yang mempunyai kekuatan untuk membuat orang tidak dapat membencinya. Ingin ku elus rambut hitam panjangnya yang masih saja ia ikat twintail, tetapi tidak mungkin. Bergerak sedikit saja, ku yakin dia akan langsung terbangun, dan aku tidak ingin itu terjadi, walaupun ingin sekali melihat wajahnya yang berubah merah karena malu. Tetapi ini aneh bukan? Maksudku, bagaimana kami bisa berada di sini? Dan aku masih bertanya sebenarnya tempat apa ini?

Tak sengaja aku bergerak saat terkejut melihat tanganku yang terpasang sebuah infus. Bukannya panik akan keadaan diri sendiri, aku berfokus pada Anna yang untung saja masih tertidur. Aku tidak ingin membangunkannya, terlebih dia terlihat sangat menikmati waktunya.

Jadi aku sakit? Tetapi sakit apa? Luka? Kalau benar memang luka, apa yang terjadi sampai ku seperti ini? Tunggu dulu. Kalau ku memang terluka, berarti tempat ini adalah ....

Aku menyandarkan tubuh pada ranjang. Benar saja, aku berada di antara dua kemungkinan. Unit Kesehatan Asrama atau rumah sakit. Aku melihat ke arah sekitar, berharap hal yang ku takutkan tidak terjadi. Ya ... rumah sakit. Itu adalah hal yang ku takutkan. Bukan karena takut suntikan atau semacamnya, tetapi biaya yang sangat ku pikirkan. Aku memindahkan tangan Anna dari tanganku, dan mulai melihat infus yang terpasang di sana. Pada masa kini, semua teknologi kesehatan dan juga obat-obatan akan mendapatkan sebuah label khusus yang memberitahu bahwa teknologi dan obat-obatan tersebut sudah menjadi milik dari instansi resmi yang bersangkutan. Semua rumah sakit dan juga lembaga pendidikan memilikinya. Sementara untuk konsumsi rumah tangga, mereka tidak mendapatkan label tersebut. Badan ditegakkan, terasa sakit di bagian kepala dan juga pinggang, tetapi aku harus menahannya. Hanya sebentar saja, ku hanya ingin memastikannya. Berhasil meraih infus yang berada di tangan tetapi rasanya sangat berat. Tanganku seperti diberi sesuatu yang sangat berat. Dengan sekuat tenaga, bahkan ku sampai menggunakan tangan kiriku yang terasa lebih ringan untuk mengangkatnya dan hatiku menjadi sangat tenang saat melihat infus tersebut bertuliskan Purral Noima. Itu artinya, kami masih berada di lingkungan asrama, tepatnya di UKA. 

Untung saja bukan rumah sakit. 

Saat ku meletakkan tanganku kembali, Anna terbangun. Dia melenguh, tangannya terangkat ke atas seperti reflek melakukan sedikit peregangan tanpa berdiri dari kursinya. Ya ... benar sekali. Anna tertidur di kursi dengan memeluk tanganku. Entahlah, aku tidak mengerti mengapa ia tidak tidur di salah satu sofa yang berada tak jauh dari ranjangku, tetapi tidak dapat aku pungkiri, aku sangat senang. Melihatnya yang perhatian seperti ini membuatku ingin untuk terbaring di sini selamanya.

"A-ah. Kau sudah bangun." Anna berusaha berdiri namun terlihat kesulitan. Mungkin saja dia tidak tidur dengan posisi yang biasa ia lakukan. Dan aku yakin sekali tidur dengan posisi seperti itu sangat tidak menenangkan. "Maaf, semalaman aku tiba-tiba saja tertidur sampai lupa kalau kamu yang seharusnya aku jaga, Kina."

"Sudah semalam? Maksudku, sekarang sudah berganti hari?" Anna hanya mengangguk mendengar pertanyaanku.

"H-hei. Jangan memaksakan diri. Kamu tertidur dengan posisi duduk loh." Aku berusaha untuk menuntunnya kembali duduk, tetapi dia tetap tidak mau. Huh, inilah kenapa ku tidak suka bersosialisasi, terutama dengan perempuan. Mereka sangat keras kepala. "Aku tidak apa. Bukankah aneh? Seharusnya aku yang merawatmu, bukan kamu yang merawatku seperti ini." Pada akhirnya, dia tetap bersikeras untuk berdiri, berjalan menjauhi ranjang ku menuju salah satu sofa yang ada di ruangan ini. Ia meletakkan selimut yang telah ia lipat sambil berjalan dan menaruhnya bersama dengan dua bantal yang ada di sana.

Ia kembali berjalan ke arahku. Wajah bangun tidurnya sangat lucu. Seandainya kalian bisa melihatnya secara langsung. Pantulan mata tidurnya terlihat jelas di balik kacamata yang masih ia kenakan. Rambutnya yang tidak lagi dikuncir dua sekarang tergerai dan terlihat sangat cantik, walaupun harus ku akui rambutnya itu bahkan lebih berantakan bila dibandingkan dengan seikat jerami. Anna kembali duduk di kursinya, lantas ia mendekat lalu menggenggam tanganku erat. Ia usap kedua tanganku dengan lembut, sentuhannya sangat dingin. Sensasi ini pun pernah ku rasakan sebelumnya, tetapi kali ini lebih dingin. 

"Kamu sangat berani, Kina. Kamu sangat berani," ucap Anna dengan sedikit linangan air mata. Aku bingung dengan keadaan ini. ku coba untuk mendekat dan mengusap air matanya, ia semakin menangis. "Kamu kenapa, Anna? Hei. Anna. Jangan membuatku merasa bersalah seperti ini." Aku mencoba untuk menenangkan dia kembali, kali ini dengan cara menggenggam tangannya. Anna membalas tindakan ku, tetapi linangan air mata itu semakin besar dan berubah menjadi aliran air mata.

"KINA ... AKU TIDAK MAU KAMU MELAKUKAN HAL SEPERTI ITU LAGI." Anna mendekatkan tubuhnya padaku lalu menangis sekuat-kuatnya. Aku yakin sekali, suara tangisnya dapat didengar dari luar sana.

Bagaimana cara untuk menenangkan gadis ini ya? Jangan sampai orang lain mengira aku sedang berbuat yang aneh dengan Anna.

"Hei Anna," ucapku yang sepertinya berhasil mengundang atensi darinya. Matanya menatapku dalam, seperti berusaha mengatakan 'Jangan marahi aku.' Rasa penasaranku seperti hilang saat ditatap olehnya, tetapi aku sangat penasaran. Apa yang terjadi sampai Anna menjadi seperti ini? "K-kenapa Kina? J-jangan marahi aku ya. Aku ...." Anna menggantungkan ucapannya. Kali ini, aku benar-benar kesal. Maksudku ayolah, apa menggantungkan ucapan itu sedang naik daun belakangan ini? Dan kalau boleh ku perbaiki, rasanya bukan naik daun melainkan naik pitam yang akan terjadi nantinya saat melakukan hal seperti ini kepada orang lain dengan tingkat kesabaran rendah. Aku contohnya.

"Apa Anna? Kamu tahu, aku sama sekali tidak memahami mengapa kamu meminta maaf dan bertingkah seperti ini seolah-olah ku akan kesal. Tetapi untuk menggantungkan kalimat seperti itu? Aku benar-benar kesal." Dia masih tidak mau menjawab. Wajahnya ia tundukkan ke bawah, sangat sulit untuk melihat apakah dia semakin menangis, atau lebih tenang dan bersiap menjawab pertanyaanku. "Wajahmu menakutkan Kina." Hah? Serius? Apa itu salah satu cara yang terlintas di pikirannya untuk menghindari menjawab pertanyaanku? Memang sejak pertama kami bertemu, jawaban yang diberikan oleh Anna sangat diluar logika manusia normal pada umumnya.

"Hei Anna." Aku mendekatkan wajah padanya. Ini satu-satunya cara yang dapat ku pikirkan karena Anna yang sangat keras kepala. Lagipula sebelumnya ia telah menyebut wajahku menakutkan, mengapa tidak aku gunakan untuk menakutinya? "Kau tahu? Aku bisa membuat wajah ini menjadi lebih menakutkan kalau kau tidak mau menjawab pertanyaanku Anna." Ku semakin mendekatkan wajahku padanya. Wajahnya memerah, rona pipinya semakin terlihat saat hidungku bersentuhan dengan hidungnya.

"K-kina ... jangan terlalu dekat. A-aku—" Aku tidak peduli. Jujur saja, aku pun ingin merasakan hal ini. Merasakan kulit wajahnya yang putih dan halus, mencium aroma lavender dari rambutnya, dan juga merasakan kulitnya. Ia menutup matanya. Bibir merahnya merekah, sedikit terbuka menampakkan deretan gigi putihnya yang bahkan lebih rapi dibandingkan milikku. Entah mengapa, tetapi udara yang ia keluarkan dari mulutnya perlahan membuat pikiranku melayang. Napasnya tidak terasa panas seperti pada umumnya, melainkan dingin seperti es. Pikiranku semakin kosong, aku bahkan tidak lagi bisa menyeimbangkan gerak badanku dan akhirnya wajahku mendarat di bahunya.

"H-hei. Kina. Bangun Kina, kau ini kenapa? Hei." Aku tau Anna. Aku tahu tubuhku berat. Tetapi entah mengapa, rasanya kepalaku sangat berat sampai tidak bisa digerakkan. Rasanya seperti seluruh tubuhku mati rasa seketika. Anna berusaha keras untuk meletakkan tubuhku kembali ke atas ranjang. Perlahan dan pasti, ia mengangkat kepalaku dari bahunya, lalu ia letakkan kembali pada bantal yang sebelumnya telah ia kembalikan posisinya. Setelahnya, ia mengangkat kakiku kembali ke atas ranjang, lalu ia selimuti tubuhku dengan selimut yang sebelumnya telah ia letakkan di sofa.

"Terimakasih Anna. Maaf aku merepotkanmu." Anna mendekat padaku, mengelus rambutku dan menciumku tepat di kening. Wajahku memerah seketika mendapat perlakuan seperti itu. "Tidak apa Kina. Seharusnya aku yang meminta maaf membuatmu seperti ini." Tunggu dulu. Kalau aku tidak salah mengartikan kalimat ini, itu artinya Anna yang membuatku menjadi seperti ini? Tetapi mengapa? Aku tidak percaya Anna melakukan itu padaku, 

"Apa maksudmu Anna?" Tidak. Aku tidak boleh menuding orang tanpa alasan dan sebab yang jelas. Tetapi perkataannya tadi? Apa maksudnya? Dia akan menceritakan kejadian sebenarnya? "Ya Kina. Aku yang membuatmu seperti ini." Aku terkejut mendengarnya. Jadi benar kalau Anna yang membuatku seperti ini. Tetapi mengapa? Tiba-tiba saja bayangan tentang kejadian itu terulang lagi. Tidak terlalu jelas, terlihat seperti beberapa keping dari keseluruhan memori yang dapat dilihat.

Anna.

Pria itu.

Patung beku itu.

Ruang hitam.

Semua itu seketika masuk ke dalam kepalaku, berusaha mengisi setiap kemungkinan ruang kosong yang ada di sana. Sakit sekali.Semua memori itu, tidak jelas. Aku tidak bisa mengingatnya. Rasanya seperti ... tidak. Aku sungguh tidak bisa mengingatnya. Semakin keras ku mencoba untuk mengingatnya, rasanya kepalaku semakin sakit. "KINA. KAU KENAPA KINA." Anna terserang panik melihatku kini tengah merintih dengan memegang kepala. Rasanya sangat sakit. Rintihan ku semakin kuat. Anna pun memanggil seorang perawat untuk datang melalui tombol yang terdapat di bawah ranjang yang sedang aku gunakan. "Tidak apa Kina, aku akan segera memanggilkan perawat untuk membantumu.

"A-anna. Kamu harus menjelaskan s-semuanya padaku," ucapku sebelum akhirnya kesadaran milikku hilang sepenuhnya setelah mencoba bertahan dari serangan memori yang masuk ke dalam secara tiba-tiba. Perawat pun masuk ke dalam dengan membawa peralatan medis yang sekiranya mereka butuhkan. Satu diantara mereka memiliki suara yang sangat familiar bagi telingaku, suaranya seperti … aku tidak bisa mengingatnya, yang sepertinya ingin membawa Anna menjauh dari ruangan. Mungkin saja ia ingin memberitahu Anna tentang apa yang terjadi padaku dan apa yang seharusnya aku lakukan untuk segera sembuh.

"APA YANG KAU LAKUKAN PADA KINA, MRS. A," geram Anna. Ia tidak menyangka kalau salah satu perawat terbaik di asrama ini membuat kesalahan yang tampak cukup fatal kalau melihat bagaimana respon tindakan atas rasa sakit yang ku terima.

"Aku tidak tahu Anna. Sebelumnya tidak pernah seperti ini." Anna semakin geram dengan jawaban itu. Jawaban pasrah tidak ingin mencari jalan keluar adalah salah satu hal yang sangat ia benci.

"Jangan jawab seperti itu Mrs. A. Kau pasti memiliki cara untuk memperbaiki ini bukan?" Mrs. A hanya diam tidak berbicara. Anna semakin geram. Apa maksudnya keheningan ini? Jangan katakan kalau Mrs. A tidak memiliki rencana untuk memperbaiki ini.

"Tenang saja Anna. Aku mempunyai jalan keluarnya. Kau tidak perlu khawatir. Cukup bermain dengan sandiwara kecilmu itu, dan aku akan menjaga 'hartamu' dengan baik."

"Apa ini salah satu perintah darinya?"

"Siapa yang kau maksud Anna?" Anna melepas kacamatanya, lantas mendekat pada Mrs. A, menggenggam kerah kemejanya dan perlahan bunga-bunga es bermunculan. Mrs. A dilanda panik. Bagaimana kalau Anna serius dengan ucapannya.

"Jawab aku atau nyawamu akan menjadi taruhannya." Ancam Anna. Ia tidak main-main dengan ucapannya.

"Apa ini? Kau melepas kacamata? Matamu sangat cantik Anna." Mrs. A berusaha tampak tenang meskipun ia tahu nyawanya tengah terancam. Melepas kacamata adalah salah satu tanda bahwa Anna serius dengan ucapannya.

"Jawab aku Mrs. A. Jangan mengalihkan topik."

"Memangnya kenapa? Kalau aku bilang ya atau tidak, bukannya respon tindakanmu akan sama saja Anna? Apa aku benar?" Anna terdiam. Tangannya perlahan melepaskan kerah kemeja Mrs. A. Bunga es pun perlahan menghilang.

"Bahkan setelah semua ini mencapai sesuatu yang baru, yang bahkan tidak terpikirkan olehnya, sikapmu akan tetap sama, Anna." Anna hanya terdiam mendengarnya. "Aku akan diperintah olehnya, menghapus semua yang sudah terjadi dari memori seseorang, dan memberikan waktu kepada orang lain untuk memasukkan memori baru yang bahkan bertentangan dengan apa yang sebenarnya terjadi."

"Lakukan saja apa yang diperintahkan olehnya."

"Satu hal Anna, aku tidak berbohong tentang apa yang terjadi. Jarang sekali kemampuanku mengalami kegagalan, dan sangat sedikit orang yang mampu untuk mengingat bahkan sedikit saja tentang memori yang sudah aku hapus. Sebaiknya jangan membuat cerita yang terlalu jauh dari apa yang sebenarnya terjadi, atau kau akan berada dalam masalah yang mungkin saja bisa membahayakan nyawamu, Anna."

"Aku terima simpati yang kau berikan padaku, Mrs. A."

Sial. Sudah ku duga. Awas saja. Aku akan membuat perhitungan denganmu nanti. Dasar lelaki tidak tahu diri.

"Mrs. A," sahut seseorang setelah membuka pintu. Tangannya penuh dengan berkas yang Anna pikir adalah data dari Kina. "Pasien telah sadarkan diri. Ia meracau ingin bertemu dengan Anna." Perawat itu meliriknya. Anna yang mengerti pun masuk, meninggalkan mereka berdua di depan ruangan. "Panggil yang lain ke luar. Kita tinggalkan mereka berdua di dalam." Perawat itu pun mengangguk paham, lantas masuk dan tak lama beberapa perawat lainnya mengikuti langkahnya ke luar ruangan. "Ayo kita kembali. Ada beberapa yang perlu saya bicarakan tentang murid bernama Kina Harasawa ini pada kalian."

Sementara itu, di dalam ruangan, Anna melihatku yang kini terbaring lemah, menatapnya kosong dengan menepuk tepian ranjang, aku berusaha memberitahu pada Anna untuk mendekat dan duduk, menceritakan semua padanya.

"Aku mengerti Kina."

"Apa kamu ingat tentang perkelahian yang terjadi di ruang ujian kita sebelumnya? Kita melihatnya setelah makan berdua di kantin dan kembali untuk melakukan sesi ujian selanjutnya." Aku hanya bisa diam mendengarkan. Setiap kata yang ia ucapkan hanya ku balas dengan beberapa anggukan pertanda mengerti. "Kamu melihat perundung, seorang pria, dan ingin mengatakan padaku kalau kamu ingin untuk menghentikan perundungan itu." Aku kembali mengangguk.

"Jujur saja, aku tidak mengerti apa yang ingin kau lakukan saat menghadapinya. Tetapi aku hanya mengangguk paham dan mengerti. Atau lebih tepatnya, pura-pura mengerti." Anna tertunduk saat ini. Air matanya perlahan turun, aku dapat mendengarnya walaupun harus ku akui dia sangat baik menyembunyikan hal itu. "Dan hal itu terjadi."

"Itu?" Apa yang sebenarnya Anna maksud saat ini? Bahkan setelah semua yang terjadi, aku masih tidak mengerti bagaimana urutan tentang kejadian ini.

"Aku sangat takut saat itu. Takut kalau kau akan terkena tinjunya, tetapi saat itu kau berhasil menghindar. Setiap tinju yang ia arahkan berhasil kau hindari. Semua orang di ruangan itu tidak bisa membantu, tetapi aku sangat yakin mereka kagum dengan kemampuan tubuhmu dalam menghindar Kina." Anna sedikit tertawa walaupun isak tangisnya sama sekali tidak bisa ia sembunyikan. "Aku tidak ingat bagaimana kejadian sebenarnya, karena beberapa kali ku menutup mata saat beberapa pukulannya seperti ingin mengenaimu. Tetapi kau mampu bertahan dengan sangat baik Kina, kamu harus bangga akan hal itu. Namun tetap saja, dengan tubuhnya yang besar, kamu tidak bisa menang darinya. Pada akhirnya, kamu pun terkena beberapa pukulan telak yang membuatmu harus tersungkur."

"Melihatmu yang tersungkur seperti itu, pria itu pun pergi. Tetapi kau berhasil Kina. Tujuan kita untuk menyelamatkan lelaki kecil itu berhasil." Anna menggenggam tanganku erat. Ia seperti sangat ketakutan saat menceritakannya. Tetapi yang masih tidak ku ingat adalah, mengapa aku bisa melupakan bagian di mana ku bertarung dengan lelaki itu?

"Lalu bagaimana aku bisa berada di sini?"

"Murid yang kau tolong, dan juga aku membawamu ke sini. Lukamu cukup parah Kina. Aku sangat khawatir." Wajahnya kembali sayu. Apa aku terluka separah itu?

"Apa itu yang membuatmu tertidur di sampingku semalaman?"

"T-tentu saja. Tetapi aku tidak apa. Melihatmu kembali sadar membuatku sangat senang." Anna tersenyum sembari membelai rambutku. Bahkan pada saat ini, rasanya aku tidak seperti berada di dalam belenggu rasa sakit, tetapi berada di dalam belenggu kebahagiaan. Anna sangat baik dan juga perhatian. "Terimakasih. Aku tidak dapat memikirkan bagaimana nasibku kalau kamu tidak membawaku ke sini."

"Aku hanya berusaha memperbaiki kesalahan yang ku buat. Tidak perlu berterimakasih." Aku perhatikan lagi wajahnya, dan terkejut saat rambut yang sejak kemarin ia ikat kini menjadi tergerai seperti itu. Ia sangat cantik, mengapa dia menyembunyikannya?

"Rambutmu sangat cantik saat tergerai seperti itu Anna."

"Terimakasih."

"Sejak kapan?"

"Apa kamu tidak ingat? Sedari tadi aku sudah melepasnya kau tahu." Aku hanya mengangguk paham. Berusaha mencari topik lain agar kami dapat semakin dekat. Setelah semua ini, aku dapat meningkatkan rasa percayaku padanya dan membuang julukan menyebalkan yang ku buat untuknya.

"Mengapa kamu mengikat dua rambutmu membentuk twintail saat ujian?"

"Kamu tahu, rambut panjang seperti ini sangatlah panas. Kalau tidak ku kuncir, entah seberapa banyak keringat yang muncul nantinya."

"Twintail?"

"Supaya lebih lucu," jawab Anna malu. Aku yang mendengarnya berusaha untuk tidak tertawa atau dia akan marah dan pergi. Aku tidak ingin hal itu terjadi. Sungguh, aku tidak menginginkannya. "Kamu masih ingin memakai itu?" Tunjuk Anna mengalihkan topik pada selimut yang sebenarnya sama sekali tidak melindungiku dari hawa dingin ruangan ini.

"Tidak. Aku akan merapihkannya." Saat ku mencoba berdiri untuk merapihkannya, Anna menahan tanganku. Ia kembali memerintahkanku untuk berbaring di ranjang sampai lukaku sembuh.

"Aku saja. Kamu lebih baik beristirahat." Anna pun mengambil selimut itu, merapihkannya lalu meletakkannya kembali di sofa. Aku menyadari sesuatu. Anna tidak memakai kacamata miliknya. Mengapa ku tahu? Karena gerakan dia sangat kaku, seperti tidak yakin dengan apa yang ada di hadapannya. Aku terkejut baru menyadari hal itu. Tetapi sejak kapan? Dan mengapa saat aku menyadari tentang rambutnya, ku tidak menyadari tentang kacamatanya? Tetapi ini bagus. Aku jadi memiliki topik lain untuk mengobrol dengannya. "Anna," panggilku. Ia pun menoleh dan segera menghampiriku. "Ada apa Kina?"

"Di mana kacamatamu?" Anna nampak terkejut. Ia meraba pakaiannya, dan mendapati kacamata berada di salah satu kantong dress putih panjang yang ia kenakan. "A-ah. Pantas saja ku merasa sulit untuk melihat." Anna terlihat gugup saat mengatakannya. Atau mungkin hanya perasaanku saja? Entahlah. Tetapi dia sangat lucu saat malu seperti itu.

"Memangnya kamu tidak sadar?"

"Tidak. Bahkan kalau kamu mau tahu, terkadang aku lupa kalau sudah memakai kacamata dan tetap mencarinya sampai orang lain yang memberitahu kalau kacamataku sudah kupakai."

"Lucu sekali. Ternyata kamu memang anak yang ceroboh." Anna tampak malu dengan perkataanku. Ia pun ingin memakainya tetapi ku tahan. Anna terkejut saat tanganku bersentuhan dengan tangannya. Tubuhnya tersentak, matanya menutup diiringi desahan ringan. Wajahnya merekah merah. "Berikan padaku."

"Huh?" Anna membuka matanya kembali, netranya membulat, menampakkan ekspresi bingung yang sangat lucu dan menggemaskan.

"Berikan saja." Anna pun memberikan kacamatanya padaku. "Mendekat Anna." Ia pun terduduk di tepian ranjangku. Perlahan aku memakaikan kacamata itu padanya, ia tersenyum menahan malu. Wajahnya memerah, begitupun denganku saat ini. 

"Terimakasih sudah membawaku ke sini Anna. Aku sangat berterimakasih." Mendengar itu, Anna hanya bisa tersenyum. Ia menutupi kedua mata dengan tangannya, yang dapat ku pastikan ia kembali menangis.

Tidak peduli apa yang terjadi, aku tidak bisa memarahinya. Dia yang menjagaku semalaman dengan semua kesulitan yang mungkin saja tidak aku ketahui. Bahkan jika apa yang diceritakannya adalah bukan kejadian sebenarnya karena aku tidak bisa menngingat apapun tentang kejadian itu selain dari apa yang dikatakan oleh Anna, aku tetap berterimakasih padanya yang sampai seperti ini menjagaku.

"Hei, jangan menangis."

"Apa itu artinya kau tidak marah padaku?"

"Tentu tidak Anna. Tidak mungkin ku marah pada seseorang yang sudah menyelamatkan hidupku." Bersamaan dengan kalimat yang berakhir, Anna menangis sekuat-kuatnya. Ia memeluk diriku, melampiaskan segala tangisnya di sana. Akupun membalas pelukannya, berusaha untuk menenangkan gejolak emosinya yang nampak tidak stabil setelah mengetahui aku tidak jadi marah padanya, dan aku memang tidak memiliki alasan untuk marah karena dialah yang sudah menolongku dengan membawaku ke tempat ini.