webnovel

My Freak CEO

Nadira berpacaran dengan Rei sudah satu yang lalu. Awalnya, hubungan mereka baik-baik saja. Namun, masalah datang ketika Mario--kakak Rei--menjadi CEO dan menugaskan Nadira menjadi sekretaris pribadi dan memintanya untuk tinggal bersama di rumah Mario. Hingga suatu hari, Mario menginginkan Nadira sepenuhnya. Tanpa disangka, perasaan itu mulai tumbuh di dalam hati Nadira. Ketika benci berubah menjadi cinta, Nadira ingin menolaknya. Namun, hatinya meninginkannya. Siapa yang akan Nadira pilih? Rei, atau Mario?

Lovayudia · สมัยใหม่
เรตติ้งไม่พอ
1 Chs

Mario, CEO Aneh

"Kamu, saya pecat!"

What?

Demi apapun lelaki ini membuatku malu setengah mati. Dia memecatku di depan seluruh karyawan dengan tidak berperasaan. Berbicara dengan nada tinggi, sehingga seluruh orang yang berada di ruangan ini menoleh.

Sejak kedatangannya tiga hari yang lalu, kenyamananku terusik. Entah apa sebabnya, tapi seolah sedang mencari-cari letak kesalahan. Dan merasa puas setelah menendangku seperti ini.

Mario, namanya. Lelaki berkulit pucat, bibir merah ranum, dan matanya yang sipit menegaskan bahwa dia seorang keturunan Tionghoa. Dia ditugaskan menjadi CEO oleh ayahnya--yang pergi ke luar negeri--untuk memimpin perusahaan ini. Oleh sebab ini, aku tak habis pikir, bisa-bisanya ayahnya mempercayakan sebuah perusahaan besar pada seseorang yang memiliki kepribadian buruk.

"Kamu tak mendengar apa yang saya katakan?"

Aku mengerjap, tersadar dari lamunan. Banyak pasang mata menatapku iba. Jelas saja, sudah lebih dari dua tahun aku bekerja di sini, tiba-tiba dipecat begitu saja dengan cara yang sama sekali tidak terhormat.

Hanya karena lupa menguncir rambutku yang tergerai. Konyol, bukan?

"Ya, Pak, saya dengar," ucapku dengan dagu terangkat, mencoba tegar di hadapannya. Padahal, sudah tak mampu lagi untuk menahan air mata yang hendak menetes.

"Bereskan barang-barangmu, dan pergi dari sini!" tambahnya sesaat sebelum berlalu.

Aku menatapnya sinis punggungnya yang semakin menjauh, gemuruh dalam dada terasa akan meledak. Ingin sekali mulut ini mencaci dan memaki lelaki itu dengan kasar. Namun, aku sadar, dialah rajanya.

Barang-barang di atas meja kumasukkan ke dalam kotak berukuran sedang. Berat rasanya harus meninggalkan pekerjaan ini. Walau terkadang kepenatan melanda, tapi aku menyukainya.

Setelah semuanya rapi, aku bergegas pergi. Melewati beberapa karyawan yang menatap prihatin kepadaku. Aku tahu arti sorot mata yang terpancar itu, seolah mereka meminta maaf tak bisa membantuku dalam situasi ini.

Saat di ambang pintu, langkah terhenti ketika seseorang menghadang jalanku.

Aku mendongak. "Rei?"

"Mario?" tanya Rei dengan wajah memerah.

Aku mengangguk ragu.

"Keterlaluan!"

Aku mencekal lengan Rei saat hendak mengejar Mario. Dia menatapku. "Biarkan, Rei," bisikku.

"Tapi, Dir-"

"Rei, aku mohon ...."

Melihatku memelas, akhirnya Rei mengangguk. Dia menemaniku berjalan. Dengan membawa kotak seperti ini, tentu saja semua orang tahu aku dipecat. Dan Rei tak ingin menghilangkan kepercayaan diriku dengan cara merangkul dan membuatku tersenyum, menghindari tatapan penuh tanda tanya dari orang-orang yang melihatnya.

"Kamu tenang aja, kolegaku udah lumayan banyak. Nanti aku rekomendasikan kamu ke salah satu perusahaan terbaik," ucap Rei seraya mengusap rambutku dengan sayang.

Seperhatian itu Rei padaku. Kami berpacaran satu tahun yang lalu. Tak ada satu hari pun tanpa bersikap manis dan romantis. Tentu saja membuat hati meleleh dan jantung berdebar tak beraturan.

"Sampe sini aja, Rei. Kamu, 'kan, harus kerja," ucapku setelah kami sampai di lobi.

Sebelum Rei menjawab, ponselnya berdering. Dia mengisyaratkan agar aku memberi waktu untuknya menerima telepon. Aku mengangguk.

"Hallo, Pa."

"Secepat itu sampai di telinga Papa?"

"Baru tiga hari di sini, sikapnya udah keterlaluan."

"Nadira, Pa. Pacar Rei."

Aku sudah bisa menebak arah pembicaraan mereka. Mario, tentu saja.

Mario dan Rei adalah kakak beradik dengan jarak usia yang tidak terlalu jauh. Jika Rei sudah lama bekerja di perusahaan ini, sedangkan Mario baru tiga hari terakhir. Jika Rei meniti karier dari nol, Mario dengan gampangnya menjadi CEO.

Perbedaan yang cukup kontras. Dua kakak beradik dengan sifat khas masing-masing. Rei berhati lembut, ramah, dan manis. Sedangkan Mario, kasar, arogan dan tempramental.

Soal wajah, tentu saja mereka memiliki paras yang serupa. Namun, wajah Mario lebih tegas dari Rei. Postur tubuhnya pun lebih tinggi dan berisi.

Selama berpacaran dengan Rei, aku tak pernah sekali pun bertemu dengan Mario. Kabarnya, dia baru pulang dari Australia seminggu yang lalu. Oleh sebab itu aku sedikit terkejut saat mengetahui CEO baru yang menyebalkan ini ternyata kakak kandung Rei.

"Dir, kamu nggak apa-apa pulang sendiri?" tanya Rei setelah mengakhiri pembicaraan di telepon.

Aku tersenyum dan mengangguk.

"Nadira Andriana!" teriak seseorang di belakang kami.

Kami menoleh.

Ternyata Mario sedang melangkah ke arah kami. Aku dan Rei berpandangan. Menerka-nerka apa yang akan dilakukan Mario setelah ini.

"Mulai hari ini, kamu jadi asisten pribadi saya," ucap Mario setelah kami berhadapan.

What?

Baru beberapa menit yang lalu dia memecatku dengan kasar karena sebuah alasan yang tidak masuk akal. Sekarang, dia menginginkanku untuk menjadi asisten pribadinya.

Lelucon macam apa ini?

"Nggak bisa! Lo nggak bisa seenaknya kayak gitu," sahut Rei geram.

"Ikut saya!" perintah Mario tanpa mempedulikan perkataan Rei.

Aku hanya mematung. Kesal, juga bingung atas sikapnya. Aku merasa sedang dipermainkan. Entah apa yang diinginkan bos gila seperti Mario.

"Nadira!" Dia kembali memanggil namaku dengan nada tinggi.

Melihatku yang hanya mematung, Mario segera menarik tanganku dengan kasar. Dia menyeretku masuk ke dalam lift, meninggalkan Rei dengan wajah memerah penuh amarah.

Lalu, di sini aku berada. Kursi dan meja lengkap dengan peralatan kantor yang lain, sudah tersedia tepat di depan ruangan Mario.

"Tolong jelaskan apa maksud Bapak!" pintaku dengan nada tegas.

Mario menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Wajahnya sedikit menunduk agar sejajar denganku. Dia menatapku dengan pandangan yang ... entah.

"Ini tempat kerjamu yang baru. Dan setiap harinya keperluan dan kepentinganku harus kamu yang siapkan," jelasnya dengan nada santai.

Aku mencebik. Apakah tugas seorang sekretaris memang seperti itu? Kukira, Mario sedang mengada-ada.

Mario mengambil secarik kertas di meja, dan menyerahkannya padaku. Di atasnya tertulis sebuah perjanjian kerja selama satu tahun penuh.

"Cepat, tanda tangan," perintahnya dengan tatapan tak beralih sedikit pun dari mataku.

Isi kepalaku penuh dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Mario. Tentang apa yang sebenarnya dia inginkan dariku, yang jelas-jelas dia mengetahui bahwa aku adalah kekasih Rei--adiknya.

Satu tahun penuh bekerja dengannya di atas perjanjian khusus macam ini tentu aku harus berpikir keras. Tentang apa yang akan terjadi ke depannya. Menguntungkan, atau tertekan?

Namun, terlintas di benakku perihal masalah yang sedang kualami saat ini. Papa mengalami kebangkrutan, sehingga mama memilih bercerai dan menikah lagi dengan pria kaya. Semua itu menyebabkan papa terbaring tak berdaya di tempat tidur karena menderita stroke. Tentu saja aku sedang membutuhkan banyak uang. Tak selamanya aku terus-terusan menerima bantuan dari Rei.

Ah, kepalaku seperti ingin meledak. Andai seorang CEO di hadapanku ini berhati malaikat seperti Rei ... tentu aku tak akan menolaknya.

Aku menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya perlahan. Dengan tangan bergetar dan hati tak menentu, kutanda-tangani perjanjian itu dengan perasaan yang sulit digambarkan, tepat saat Rei datang.