webnovel

Rencana

**Bab 005 Rencana**

Salju putih terus berjatuhan, satu per satu menyelimuti kepala Atthy yang tertunduk. Ia berusaha sekuat tenaga untuk melangkahkan kaki di atas tumpukan salju yang mengubur jalan setapak hingga lutut.

Hembusan angin dingin menggigit kulitnya, bahkan menembus mantel tebal yang membungkus tubuh rapuhnya. Napasnya memburu, berpadu dengan uap hangat yang sekejap hilang dikecup udara dingin.

''Ke mana aku harus pergi?'' pikir Atthy dengan putus asa, langkahnya semakin berat, seolah bumi sendiri menolak keberadaannya.

Sudah tiga bulan ia tinggal di Skythia, tetapi suasana luar Manor baginya hanyalah misteri. Ia hanya tahu jalan-jalan yang dilalui kereta kuda, dan bahkan itu kini tampak asing dalam lautan salju yang menyamarkan segalanya. Hutan yang mengelilingi wilayah itu hanya menambah kengerian dalam kesunyian malam. Pepohonan menjulang tinggi, seperti raksasa hitam yang mengawasinya dalam diam.

Atthy terus melangkah, meski tidak tahu ke mana arah yang dituju. Salju yang menutupi jalan seakan mencabut segala petunjuk, membuat dunia di sekitarnya tampak seperti labirin putih tanpa akhir. Tubuhnya yang terbiasa dengan gurun pasir panas dan sabana luas kini merasakan penderitaan baru—dingin yang mengiris, menelanjangi kekuatan terakhir yang tersisa dalam dirinya.

Angin bersiul, menciptakan suara yang menyerupai jeritan hantu. Tubuhnya mulai menggigil hebat. Ujung jarinya yang semula terasa ngilu kini berangsur mati rasa. Ketika akhirnya ia tak lagi sanggup melangkah, ia terjatuh di bawah sebuah pohon besar yang akarnya mencuat dari tanah beku.

Duduk bersandar, napasnya tersengal. Atthy memandangi langit kelabu yang perlahan mulai ditelan malam. Pandangannya kosong, seperti memutar kembali nasibnya yang tragis. Dari seorang cucu bangsawan rendah yang bersahaja, menjadi Duchess dengan kekuasaan besar, hingga kini ia hanyalah seorang perempuan yang kehilangan identitas—bukan lagi seorang Galina, apalagi seorang Griffith.

Suhu dingin tanpa belas kasihan terus menyerangnya, membuat setiap serat tubuhnya seolah berteriak meminta kehangatan yang tak pernah datang. Pelayan-pelayan yang dulu setia melayaninya, perapian hangat di Manor, semuanya terasa seperti mimpi yang mustahil terulang.

Perlahan, tubuhnya mulai kehilangan rasa. Rasa sakit yang menusuk tulang saat ia berjalan tadi kini berubah menjadi kehampaan. Ia tahu persis apa yang sedang terjadi—hipotermia. Kepalanya terasa berat, tapi pikirannya mulai melayang, mengembara di antara kenangan yang menyakitkan.

Wajah keluarganya melintas di benaknya. Kakek yang berwibawa tapi juga ramah, ayahnya yang tegas tapi penuh kasih, suara tawa adik-adiknya di pada sabana. Air mata menggenang di sudut matanya, membeku sebelum sempat jatuh.

Namun, bayangan itu tiba-tiba tergantikan oleh sosok lain—matanya yang tajam, sikap dingin yang penuh wibawa, suara yang memanggil namanya dengan nada datar namun begitu memikat.

"Duke Hugh Griffith..." bisiknya lemah, hampir tanpa suara.

Sekelebat rasa sakit yang membara muncul di dadanya, bercampur dengan kerinduan yang menyesakkan. Apakah ini akhir dari segalanya? Apakah ia akan mati sendirian di tempat asing ini tanpa sempat menuntaskan luka yang membebani hatinya?

Ketika pikirannya hampir tenggelam sepenuhnya, dari kejauhan terdengar derap langkah berat. Sesuatu mendekat—entah itu keajaiban atau kehancuran. Atthy memejamkan mata, membiarkan dirinya menyerah pada takdir yang akan datang.

Suara langkah itu semakin jelas, memecah kesunyian hutan yang mencekam. Atthy tidak tahu lagi apakah ia harus merasa takut atau berharap.

"Seseorang... tolong aku..." gumamnya lemah, sebelum kesadaran sepenuhnya lepas dari genggamannya.

---

Di waktu yang lain, jauh sebelum pernikahan Atthy.

---

Di dalam kediaman pribadi Ratu Silvia, suasana terasa berat, penuh perhitungan dan intrik yang tidak terucapkan. Ruangan besar yang dipenuhi furnitur kayu tua berwarna gelap ini jarang sekali menyambut pengunjung luar, hanya mereka yang memiliki peran signifikan dalam kerajaan yang diizinkan melangkah ke dalamnya. Hari ini, hanya ada tiga orang yang memenuhi ruangan tersebut. Grand Duke Margrave, Pangeran Davion, dan Ratu Silvia, wanita bangsawan yang memiliki pemikiran tajam dan ambisi yang besar.

Kursi yang terbuat dari kayu hitam, dengan ukiran yang rumit, seakan menyembunyikan usia panjang dan sejarah kelam yang tak pernah tersingkap. Di atas meja tergeletak peta kerajaan yang terlipat dengan rapi, beserta beberapa dokumen menyertainya.Di luar jendela besar yang menghadap ke arah ibu kota yang ramai.

"Skythia telah jatuh," kata Silvia, suaranya dalam dan berat, seolah mengandung beban yang terlalu besar untuk ditanggung sendirian. "Kemenangan Hugh Griffith adalah masalah yang tidak bisa kita abaikan. Kita tahu bahwa ini hanya permulaan. Skythia sudah dikuasainya, dan dia tidak akan berhenti di sana."

Pangeran Davion duduk dengan tenang di kursi sebelah kanan kakeknya, memandangi Margrave dengan mata yang tajam. "Griffith semakin kuat," jawabnya, suara tegas namun terkendali. "Dengan Skythia dalam genggamannya, dia tak hanya menambah kekuasaannya di luar, tetapi juga di dalam kerajaan. Jika kita tidak bergerak cepat, dia akan menjadi ancaman yang lebih besar."

"Keberhasilan di Skythia ini hanya awal. Semakin banyak mata yang tertuju pada tahta ini," lanjut Silvia, suaranya semakin dalam. "Dan kita tahu siapa yang memimpin kerajaan ini."

"Putra Mahkota," Davion menyahut, namun wajahnya menunjukkan ketidakpuasan. "Tapi siapa yang kita sebut sebagai Putra Mahkota? Cavero? Pangeran Cavero adalah orang yang tidak memiliki pengaruh. Meskipun dia Putra Mahkota secara teknis, darahnya lebih rendah daripada darah kita. Tak ada dukungan politik yang bisa mengimbanginya."

Silvia yang duduk di ujung meja menyipitkan matanya, menambahkan, "Dan itulah masalahnya. Putra Mahkota yang lemah akan membuat kerajaan ini rentan terhadap siapa saja yang berani mengambil kesempatan. Dengan Cavero yang tak memiliki kekuatan politik, kita semua dalam bahaya."

Margrave mengangguk perlahan, ekspresinya tetap serius. "Davion, kamu tahu posisimu sendiri. Kita perlu lebih dari sekadar klaim kekuasaan. Kita membutuhkan pengaruh yang jauh lebih besar. Griffith sedang membangun kekuasaannya di luar, tetapi kita yang berada di dalam istana, kita yang mengendalikan alur sejarah. Kita tak bisa membiarkan mereka merebut itu."

Silvia menatap Margrave dengan penuh perhatian. "Dan kita tahu siapa yang mengendalikan takhta saat ini. Hanya kita yang bisa memutuskan apa yang terjadi selanjutnya."

Davion menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, berpikir sejenak. "Skythia hanyalah bagian dari rencana mereka. Hugh Griffith tidak hanya akan berhenti sampai di sini. Kemenangan ini akan membuka jalan baginya untuk memperkuat posisinya di dalam kerajaan. Dan dengan tahta yang kosong, kekuatan semakin bergeser ke luar, menuju mereka."

Margrave menatap cucunya dengan tajam, seolah ingin memastikan bahwa anak muda ini memahami situasi yang sebenarnya. "Betul. Skythia adalah langkah awal. Tapi ini bukan hanya soal teritori, ini soal siapa yang memegang pengaruh di dalam kerajaan. Jika kita tidak bisa mengendalikan Hugh Griffith, maka kekuasaan akan terlepas dari kita."

"Tapi kita masih memiliki satu kesempatan," Silvia menambahkan dengan suara dingin yang mengandung perhitungan. "Jika kita bisa mengubah arah permainan ini, kita bisa mengendalikan siapa yang duduk di tahta. Namun kita perlu langkah yang lebih tajam."

Margrave menatapnya, senyum tipis muncul di wajahnya. "Dan langkah itu ada di luar kerajaan. Langkah itu datang dari orang yang bisa kita kendalikan. Dari luar, kita bisa mengarahkan siapa yang harus menikah dengan siapa, siapa yang bisa kita gunakan sebagai bidak."

"Seorang 'tumbal'," kata Silvia pelan, seolah menemukan kata yang tepat. "Seseorang yang cukup berani untuk memasuki wilayah Griffith, namun cukup naif untuk tidak mengetahui bahayanya."

"Betul," Margrave mengangguk, "Seorang yang cukup ambisius, cukup besar untuk menarik perhatian, namun cukup lemah untuk dimanipulasi."

"Namun siapa yang bisa kita pilih?" Davion bertanya, suaranya mengandung keraguan. "Siapa yang bisa kita manfaatkan tanpa menimbulkan masalah bagi kita sendiri?"

Margrave menyandarkan tubuhnya ke belakang, berpikir sejenak. "Mereka harus orang yang memiliki koneksi yang tepat, cukup berharga untuk memasuki lingkaran kekuasaan, namun tidak akan menjadi ancaman bagi kita. Kita butuh seseorang yang bisa kita kendalikan dari dalam."

Silvia mengangguk, "Kita perlu seseorang dengan potensi politik, namun bukan orang yang sudah memiliki kekuasaan. Seseorang yang bisa diperalat, yang tak tahu bahaya yang mengintainya."

"Dan seseorang yang cukup dekat dengan mereka. Cukup dekat untuk menarik perhatian Hugh," lanjut Margrave, suara tegasnya penuh perhitungan. "Kita harus menemukan 'tumbal' yang tepat."

"Silvia," Margrave berkata dengan suara rendah, namun penuh perintah, "Mulailah pencarianmu. Temukan seseorang yang bisa kita manfaatkan. Pastikan mereka tidak tahu apa yang sesungguhnya sedang kita rencanakan."

Davion menatap kakeknya dengan keseriusan yang tidak bisa disembunyikan. "Kita akan memastikan semuanya berjalan lancar. Kita harus hati-hati dalam memilih. Tidak ada ruang untuk kesalahan."

Silvia bangkit dari kursinya, wajahnya dipenuhi tekad. "Aku akan segera mengatur segala sesuatu yang diperlukan. Kita tak bisa membiarkan Griffith mengatur jalannya kerajaan."

Dengan itu, ketiga sosok itu beranjak dari meja. Langkah mereka tak terdengar, namun keputusan yang telah dibuat di dalam ruang ini akan mengguncang kerajaan dalam waktu yang tak lama. Mereka tidak tahu bahwa pernikahan yang mereka rencanakan akan menjadi titik awal dari sebuah permainan yang jauh lebih berbahaya daripada yang mereka bayangkan.

---

---

**Viscount Darius Malenor Mencari Peluang**

Viscount Darius Malenor mendekati Silvia, matanya penuh perhitungan. Ia tahu bahwa Ratu tengah mencari peluang untuk memperkuat posisinya, dan itu adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan.

"Permaisuri, saya mendengar Anda sedang mencari seseorang yang dapat memberikan dukungan strategis," katanya, berbicara dengan nada hati-hati, namun langsung ke inti. "Saya rasa saya bisa menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar dukungan."

Silvia mengangkat alis, tidak terkejut, meskipun ia memperhatikan setiap gerakan Viscount dengan teliti. "Apa yang Anda tawarkan, Viscount?"

Viscount menundukkan kepala dengan hormat. "Saya tahu situasi politik di ibu kota cukup rumit, dengan persaingan yang terus berkembang. Namun, saya juga tahu bahwa tidak semua orang bisa melihat kesempatan di balik kabut ini. Klan Griffith dan Klan Margrave terjebak dalam pertarungan yang tak berkesudahan, dan saya yakin ada cara untuk memanfaatkan kekosongan ini."

Silvia tetap tenang, menimbang kata-kata Viscount. "Anda pikir saya butuh seseorang seperti Anda untuk memanfaatkan itu?" jawabnya datar.

"Saya hanya ingin memberi tahu Anda bahwa saya memiliki koneksi yang bisa berguna bagi Anda, Permaisuri," jawab Viscount. "Dan saya tahu bagaimana bergerak tanpa menarik terlalu banyak perhatian... baik bagi saya maupun bagi Anda."

Silvia mengamati Viscount sejenak, menilai apakah kata-katanya hanya permainan atau sesuatu yang lebih serius. "Tunggu sebentar," jawabnya akhirnya, "Saya tidak tertarik pada permainan yang berisiko. Apa yang Anda tawarkan lebih dari sekadar bisikan kosong, Viscount?"

Viscount tersenyum tipis. "Kita semua tahu bahwa Anda tidak bermain dengan risiko, Permaisuri. Tetapi saya yakin, jika kita bermain dengan hati-hati, kesempatan itu akan menjadi milik kita."

---

---

**Diskusi Margrave, Davion, dan Silvia: Waspada terhadap Viscount Darius Malenor**

Di ruang pertemuan, ketiganya duduk dengan sikap elegan. Margrave memulai dengan nada sarkastis, "Viscount Darius Malenor—burung pipit yang terbang lebih tinggi dari anginnya. Hanya soal waktu sebelum dia lelah dan jatuh."

Davion menyeringai, "Terlalu kecil untuk langit ini. Dia hanya burung yang ingin terbang, tapi sayapnya terlalu rapuh."

Silvia, lebih berhati-hati, menambahkan, "Tapi kadang burung pipit bisa mematuk jika kita lengah. Kita tahu dia baru, tapi mulut manisnya sudah berhasil menjangkau telinga yang lebih berpengaruh."

Margrave tertawa pelan, "Dia bisa berbicara sepanjang hari, tapi tak akan mengubah apa pun. Biarkan dia mengepakkan sayap, kita punya angin yang jauh lebih kuat."

Davion mengangguk, "Benar, dia tak lebih dari tikus yang mencoba menjadi singa. Kita bisa mengabaikannya... sampai dia mencoba menggigit."

Silvia menatap mereka dengan tajam, "Tikus atau bukan, kita tak bisa terlena. Kadang yang tersembunyi yang menggerogoti kita."

Margrave menyudahi pembicaraan dengan senyum dingin, "Kita tahu tempat kita di langit ini. Biarkan si pipit itu terbang rendah. Jika dia terlalu berani, kita akan menghancurkan sayapnya."

---