"Memang kamu mau menikah sama aku?"
"Hmm... " Hanya itu jawaban Banyu.
⭐⭐⭐⭐
"Ibu mau berangkat sekarang? Ayo, biar Banyu antar. Sekalian Banyu mau ketemu Mila. Biar ibu nggak terlalu terlambat ke sekolah."
"Nggak usah, Nyu. Ibu hari ini sudah ijin masuk setengah hari. Ada urusan sama tante Syifa. Kamu duluan saja."
"Biar aku antar ke rumah tante Syifa."
"Arahnya berbeda dengan kampusmu. Biar nanti ibu minta antar sama bang Malih. Sana kamu buruan berangkat biar Mila nggak ngomel."
"Aku mau ikut mas Banyu." Ucap Gladys tiba-tiba. Aminah dan Banyu saling berpandangan dengan heran. Ada apa ini?
"Ngapain kamu ikut sama aku? Memangnya kamu nggak kerja?" tanya Banyu heran.
"Aku bebas mau ke butik jam berapa saja. Ada asistenku yang akan menghandle pekerjaanku." jawab Gladys keras kepala.
"Tapi aku tuh mau ketemu ... "
"Justru itu aku mau ikut. Aku mau tahu kamu ketemu sama siapa." Gladys bersikeras.
"Sudahlah Nyu, ajak saja. Daripada nanti Mila marah dan urusan kamu nggak selesai. Ini sudah jam 6.45. Kalau kamu nggak buru-buru, nanti kamu ditinggal Mila. Malah makin panjang urusannya. Lagipula setelah mencuci piring kotor, ibu juga akan langsung ke rumah tante Syifa."
"Nanti ribet bu urusannya kalau bawa gadis manja ini. Lagipula memangnya kamu mau naik motor?"
"Pakai mobilku saja."
"Nggak mau."
"Kenapa?"
"Jalanan macet. Kalau pakai mobil, nggak mungkin setengah jam bisa sampai. Aku lebih senang naik motor, bisa ngebut dan lebih cepat sampai. Kalau kamu memaksa ikut, ya kamu harus mau naik motor." tantang Banyu. Ia berharap Gladys akan menyerah bila tahu harus naik motor. Gadis manja ini pasti nggak pernah naik motor.
"Ayo. Mana motor kamu?" Gladys balik menantang.
"Beneran kamu mau ikut naik motor? Nanti rambut kamu berantakan. Belum lagi kalau nanti bau asap kendaraan." Banyu menakut-nakuti Gladys. "Baju kamu juga nggak nyaman untuk naik motor. Masa pakai rok span mau naik motor. Paha kamu bisa jadi tontonan orang. Bikin dosa saja."
"Banyak alasan banget sih. Kalau nggak boleh ikut, bilang saja langsung. Nggak usah pakai banyak alasan begitu." balas Gladys
"Memangnya kalau aku bilang kamu nggak boleh ikut, kamu akan menuruti omonganku?" Gladys menggeleng sambil tersenyum jahil. Banyu memandang Aminah meminta pertolongan. Bukannya menolong anaknya, Aminah malah tertawa.
"Nggak. Aku akan tetap memaksa ikut."
"Dys, kamu beneran mau naik motor pakai baju kayak begitu?" Bukannya menjawab, Gladys keluar rumah menuju mobilnya. Tak lama kemudian ia masuk kembali dengan membawa sebuah paper bag ukuran besar.
"Bu, boleh Gladys menumpang ganti baju?" tanya Gladys pada Aminah.
"Boleh. Ayo, kamu ganti baju di kamar ibu." Gladys mengikuti langkah Aminah. Banyu mengikuti dari belakang. "Eh, kamu ngapain ikut? Kamu tunggu saja di depan."
"Mas Banyu, jangan pergi duluan ya. Awas saja kalau mas Banyu pergi tanpa Gladys," ancam Gladys. Banyu hanya bisa menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Tak lama kemudian Gladys keluar dari kamar Aminah dengan menggunakan celana jeans ketat dan kaos turtle neck lengan pendek yang melekat di tubuh mungilnya.
"Kamu mau ikut aku pakai baju seperti ini?" tanya Banyu tak suka. "Aku kan sudah pernah bilang sama kamu ... "
"Jaga aurat." potong Gladys. Sambil tersenyum manis ia mengeluarkan jaket Banyu dari paper bag yang dibawanya. "Tenang saja, kan ada jaket ini."
Mau tak mau Aminah tergelak melihat tingkah Gladys. "Rupanya kamu cukup well-prepared ya."
"Iya bu, Gladys tau mas Banyu pasti bakal memprotes pakaian Gladys. Makanya sebelum diprotes, Gladys sudah siap-siap. Lagipula Gladys suka pakai jaket mas Banyu."
"Tapi jaket itu pasti bau, nak Gladys."
"Nggak bau kok bu. Gladys suka bau mas Banyu yang menempel di jaket ini," ucap Gladys blak-blakan. Aminah hanya bisa geleng-geleng kepala sambil terkekeh mendengar jawaban Gladys.
"Ya sudah sana kalian buruan berangkat. Ini sudah mau jam tujuh. Kalau kelamaan ngobrol nanti Banyu malah terlambat. Nyu, hati-hati ya bawa motornya. Nggak usah ngebut. Kasihan nak Gladys."
"Baik bu. Banyu berangkat dulu, ya." Banyu memeluk dan mencium tangan Aminah. "Doain supaya urusan Banyu hari ini lancar ya bu."
Gladys mengikuti perbuatan Banyu. Ia menyalami dan mencium tangan Aminah, lalu ia berbisik, "Bu, kapan-kapan ajarin Gladys masak nasi goreng yang tadi ya. Kata mas Banyu, Gladys harus bisa masak."
Mereka sudah duduk di atas motor. Setelah mengenakan helm, Gladys bingung harus berpegangan kemana. Seumur hidupnya ia tak pernah naik motor. Entah kenapa tadi ia nekat ingin ikut Banyu. Mungkin karena tadi ia mendengar nama Mila disebut-sebut. Siapa sih si Mila ini? tanya Gladys dalam hati. Entah kenapa ia tak suka mendengar Banyu mau bertemu dengan si Mila ini.
"Kamu sudah siap? Oh iya, kamu yang pakai tas ranselku ya." Banyu memberikan tas ranselnya kepada Gladys. "Sorry agak berat karena ada laptopnya"
"Ooh... "
"Pegangan yang kuat biar nggak jatuh."
"Pegangan kemana?" tanya Gladys bingung. "Aku nggak tau musti pegangan kemana."
Tanpa banyak bicara Banyu menarik tangan Gladys dan meletakkan di pinggangnya. "Kamu pegangan sama aku."
"Kayak gini?" Gladys memegang pinggang Banyu dengan canggung. "Nggak enak, aku pegangan bahu kamu saja ya."
"Peluk aku," perintah Banyu.
"Apa?! Peluk kamu? Nggak mau!!" tolak Gladys. "Kamu mau modus ya."
"Ya sudah terserah kamu." Tiba-tiba tanpa aba-aba Banyu menjalankan motornya dengan sedikit menghentak sehingga Gladys hampir jatuh. Mau tak mau Gladys memeluk pinggang Banyu.
"Kamu jahat. Sengaja ya?" tanya Gladys sambil berteriak karena saat itu mereka sudah dalam perjalanan. Banyu hanya tertawa tanpa menjawab. "Kita mau kemana?"
"Kenapa baru tanya sekarang, bukannya tadi sebelum kamu memaksa ingin ikut."
Setengah jam kemudian mereka sampai di parkiran kampus. Banyu memarkirkan motornya di tempat yang agak rindang. Walau mesin motor telah dimatikan, Gladys masih memeluk erat pinggang Banyu sambil memejamkan matanya. Banyu menahan tawanya saat melihat hal itu dari kaca spion. Ia tadi memang agak ngebut membawa motornya. Kebetulan tadi jalanan lebih padat dari biasanya karena ada iring-iringan mobil pejabat melintas. Banyu berusaha mengejar waktu karena khawatir terlambat tiba di kampus. Meskipun Mila itu teman baiknya, namun untuk urusan kampus, Mila terkenal sangat disiplin. Semua mahasiswa bimbingannya tahu kalau mereka diharuskan sampai di depan ruangannya 15 menit sebelum jadwal bimbingan. Telat 5 menit dari waktu tersebut, bisa berakibat batal bimbingan dan harus mengatur jadwal lagi.
"Dys, kita sudah sampai." Banyu menyentuh perlahan tangan Gladys yang masih memeluk pinggangnya. Gladys membuka matanya lalu melepaskan pelukannya. Ia melihat sekelilingnya.
"Ini kampus kamu?" Banyu mengangguk lalu turun dari motor. Dibantunya Gladys membuka helmnya. Diambilnya tas ransel yang dipakai oleh Gladys. Kemudian dibantunya Gladys turun dari motor. Saat Gladys hendak membuka jaketnya, Banyu mencegahnya.
"Jangan dibuka."
"Gerah."
"Biarin gerah, daripada kamu membuat banyak orang berdosa." Terpaksalah Gladys menuruti perintah Banyu. "Kamu tunggu aku di kantin ya."
"Nggak, aku mau ikut kamu ketemu Mila." jawab Gladys bandel.
"Nggak mungkin dan nggak boleh Dys. Kamu hanya akan mengganggu kami."
"Mila itu siapanya kamu?" tanya Gladys menyelidik. "Pacar kamu?"
"Dys, waktuku benar-benar sempit. Nanti setelah urusanku selesai aku akan jelaskan kepadamu. Kalau kamu terus bersikap seperti ini kamu hanya akan menghambat masa depanku."
"Tapi... " Wajah Gladys tampak memelas.
"Oke, kamu boleh ikut aku tapi please jangan komentar apapun dan turuti perkataanku." Banyu pada akhirnya tak tega meninggalkan Gladys sendiri. Wajah Gladys langsung cerah. Dengan patuh ia menuruti Banyu. Karena diburu waktu, tanpa sadar Banyu setengah menyeret Gladys.
"Pas." Tepat jam 7.40 mereka sampai di depan ruangan Mila. Banyu melepaskan jaketnya dan mengeluarkan dasi dari dalam tasnya. Saat hendak memakai dasi, Gladys mengambil alih dan memakaikan dasi di leher Banyu. Mereka melakukan itu tanpa ada satupun yang berbicara. Mata Banyu memandang bagian atas kepala Gladys, sementara itu mata Gladys fokus memandang leher Banyu. Tak ada yang tahu isi hati atau apa yang mereka rasakan saat itu.
"Cieee mas banyu, ditemenin pacar nih?" terdengar ledekan dari beberapa mahasiswa yang melewati mereka. Banyu hanya tersenyum dan melambai pada mereka.
"Kamu mau ketemu Mila ribet banget sih pake dasi segala. Kayak mau interview pekerjaan aja." komentar Gladys setelah selesai memakaikan dasi. "Baru kali ini lihat cowok mau ketemu pacar aja harus pakai dasi."
"Terima kasih ya." ucap Banyu singkat. "Kata siapa aku mau ketemu pacar, cemburu ya?"
"Nggak."
"Terus ngapain ikut?"
"Penasaran aja pengen tau yang namanya Mila." jawab Gladys acuh sambil menuju deretan kursi yang ada di dekat mereka.
"Hai, saya yang bernama Mila. Siapa yang penasaran ingin berkenalan sama saya?" tanya seorang wanita cantik yang tiba-tiba hadir di antara mereka. "Banyu, ini siapa?"
"Kenalkan, saya calon istri mas Banyu," Gladys langsung memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan mengajak bersalaman.
"Benar Nyu?" tanya wanita cantik itu lagi.
"Eh.. selamat pagi Mil... eh, bu Mila." sapa Banyu tergagap karena tak menyangka Gladys akan berkata seperti itu di depan Mila.
Mila menatap penuh selidik ke arah Gladys. Kemudian ia menatap Banyu seolah meminta penjelasan. Banyu bingung bagaimana harus bereaksi.
"Oh, ini yang namanya Mila..... bu Mila? Kok panggil pacarnya pakai panggilan bu sih? Memangnya dia lebih tua dari kamu, mas?" tanya Gladys penasaran. Banyu langsung menarik Gladys menjauhi Mila sebelum gadis itu mengucapkah sesuatu yang absurd.
"Tadi aku bilang apa? Jangan berkomentar atau mengucapkan sesuatu yang aneh seperti itu. Kalau kamu nggak bisa menuruti kata-kataku, lebih baik kamu pulang saja."
"Ya sudah, perpustakaan dimana?" tanya Gladys.
"Mau ngapain ke perpustakaan?" Banyu balik bertanya.
"Mau tidur. Aku ngantuk." jawab Gladys singkat. "Sudah sana kamu temui Mila-mu itu. Dari tadi dia ngeliatin gitu."
"Aku kesana dulu ya. Nanti aku kabari kalau sudah selesai." Banyu meninggalkan Gladys setelah mengacak lembut rambut Gladys. Ya tuhan, aku ini kenapa sih? Apakah aku sakit jantung. Kenapa akhir-akhir ini debarannyaa tak menentu, tanya Gladys dalam hati.
"Nyu, itu beneran calon istri lo?" tanya Mila saat mereka sudah berdua di dalam ruangan Mila.
"Nggak usah bahas itu. Gue sudah cukup pusing dengan urusan skripsi. Jangan ditambah lagi dengan masalah itu."
"Tapi gue lebih senang membahas masalah 'calon istri lo' daripada masalah skripsi lo yang baik-baik saja."
"Please Mil, nggak usah ngegodain deh. Gue sudah bela-belain nggak jualan buat datang ke kampus, ketemu elo buat bahas skripsi ini. Eh elo malah pengen bahas masalah tuh cewek."
"Tapi skripsi lo memang nggak ada masalah. Lo sudah bisa ajukan untuk sidang. Sudah nggak ada masalah dengan skripsi lo, Nyu." ucap Mila yang tampaknya lebih tertarik membahas masalah Gladys daripada skripsi.
"Lo serius skripsi gue sudah siap buat sidang?" tanya Banyu tak percaya. Mila mengangguk meyakinkan temannya itu. "Alhamdulillah. Makasih ya Mil, elo nggak mempersulit gue. Ibu pasti senang banget mendengar kabar ini."
"Beres masalah skripsi. Sekarang lo cerita sama gue, siapa tuh cewek?" tanya Mila penasaran. "Elo sudah bisa ngelupain Senja?"
"Dia anak bungsu keluarga Praditho Hadinoto," jawab Banyu menyerah pada kekepoan Mila. "Adiknya Gibran."
"Serius? Itu Gladys yang dulu jadi idola kakak kelas?" Banyu mengangguk. "Lo harus ceritain semuanya ke gue. Sekarang."
"Hah?! Serius tuh cewek minta elo jadi suaminya hanya gara-gara elo nyium dia? Ah, gila!! Benar-benar gila. Gibran tau soal ini?" tanya Mila setelah mendengar cerita itu. Banyu menggeleng. "Menurut lo apa pendapat Gibran kalau tau soal ini?"
"Nggak tau deh, Mil. Pusing gue. Elo tau kan kalau gue masih belum mau mikir soal pernikahan." Jawab Banyu. " Gue juga yakin keluarga mereka nggak akan setuju dengan pilihan Gladys. Apalah gue ini dibandingkan keluarga mereka. Gue cukup tahu diri, Mil."
"Elo jangan suka memandang rendah diri lo sendiri. Keluarga lo, walau nggak setajir keluarga mereka, juga berkecukupan kok."
"Jangan kaitkan gue dengan lelaki itu, Mil."
"Nyu, ini saatnya elo berdamai dengan masa lalu. Elo nggak bisa terus menerus menyimpan sakit hati dan dendam terhadap bokap lo."
"Entahlah Mil. Buat gue lelaki itu sudah mati." ucap Banyu dingin. "Sudahan ah konsultasinya. Ini mah banyakan ngebahas masalah pribadi daripada masalah skripsi."
"Elo pikirin baik-baik deh saran gue. Mungkin tuhan mengirim dia supaya elo mau berdamai dengan masa lalu lo." Banyu tak berkomentar terhadap analisa Mila.
"Mil, gue balik dulu. Kasihan sudah hampir satu jam dia nungguin gue di perpustakaan. Terima kasih ya untuk advice lo. See you saat sidang bu Mila." Banyu pamit meninggalkan Mila.
Banyu langsung menuju perpustakaan saat dilihatnya Gladys tak ada di depan ruangan Mila. Benarlah di perpustakaan dilihatnya Gladys sedang asyik mengobrol dengan beberapa mahasiswa. Terlihat mereka mentertawakan sesuatu. Sepertinya ada hal lucu yang mereka bicarakan. Ada sedikit rasa tak suka di sudut hati Banyu saat melihat Gladys dikelilingi para pria. Apalagi Banyu tahu salah satu dari mereka adalah mahasiswa yang diidolakan para mahasiswi karena terkenal ganteng, ramah, pintar dan kaya.
"Ehem.. Dys, ayo pulang." ajak Banyu setelah sampai di dekat Gladys. Para mahasiswa lain memperhatikan Banyu.
"Nah, ini calon suami gue. Nggak kalah ganteng sama elo kan Ndre." Pria bernama Andre itu memperhatikan Banyu dari atas sampai bawah, lalu membisikkan sesuatu kepada Gladys. "It's okay with me. Gue balik dulu ya. Makasih kalian sudah mau nemenin gue ngobrol. Ngantuk gue jadi hilang."
"Dys, jangan lupa nanti wa gue ya," ucap pria bernama Andre sebelum mereka meninggalkan perpustakaan.
Banyu diam saja sambil berusaha menekan rasa tak enak di sudut hatinya. Ah, wajarlah bila Gladys merasa nyaman bergaul dengan Andre. Mereka berasal dari strata sosial yang sama.
⭐⭐⭐⭐